Syahdan suatu ketika dalam
hingar-bingar peperangan, Richard yang dikenal dalam sejarah Inggris sebagai
pahlawan, kala itu jatuh sakit. Alangkah buruk dalam masa peperangan yang
berlangsung kian sengit, kondisi jasmaninya justru melemah. Hal ini tentu
mengancam keselamatan jiwanya. Kemudian pada suatu malam, ketika para prajurit
muslim dan salib telah terbuai alam mimpi, seorang panglima Islam yang agung
secara sembunyi-sembunyi berjalan mengendap-endap mendekati tenda pembaringan
Richard. Sang lawan yang pernah membantai 3000 muslim mayoritas anak-anak dan
wanita di Kastil Acre itu. Kala sampai, sang panglima mendapati Richard yang
lunglai tak berdaya. Bukannya memanfaatkan situasi untuk membalas dendam
perbuatan pimpinan pasukan Salib yang keji itu, sang panglima justru mengobati
Richard dengan ilmu kedokterannya yang mumpuni. Richard yang terkenal dengan
hati singa, begitu terenyuh mendapati kebesaran hati panglima. Berkat
pengobatan dari salah satu panglima Islam yang ditakuti oleh seluruh kalangan
bangsa Barat, terkhusus orang-orang Kristen, ia pulih dari penyakit yang telah
sekian lama merantainya di pembaringan. Richard kemudian bersedia damai dengan
pasukan kaum muslimin dan berjanji segera menarik tentara salib kembali ke
Eropa.
Siapakah panglima itu? Dialah
Shalahuddin Yusuf Al Ayyubi pendiri daulah Ayyubiyah, yang merupakan putra dari
Najmuddin bin Ayyub. Beliau lahir di Tikrit Irak pada tahun 1138 M. Besar di
Mosul, membuat Shalahuddin tumbuh tidak jauh berbeda dengan umumnya remaja
lain. Beliau aktif menghafal hadist-hadist dan alquran, begitu senang
berdiskusi terutama mengenai ilmu kalam. Dunia mengenalnya sebagai sosok
pejuang keadilan dan ajaran Islam sejati. Hidupnya identik dengan peperangan
demi tercapainya kejayaan umat Islam kala itu.
Kendati demikian, pada masa mudanya
Shalahuddin kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat. Namanya mulai
menonjol dan terlibat dalam pemerintahan menjelang keberangkatan dirinya
menyertai sang paman Asaduddin Syirkukh dalam sebuah ekspedisi militer di
Mesir. Kehidupannya berubah kala sang ayah memperkenalkannya dengan Nurrudin
Zangi, penguasa Damaskus kala itu. Shalahuddin diangkat sebagai kepala Garnisan
Baalbaek ketika Nurrudin menjabat sebagai Gubernur Suriah dari Daulan Bani
Abbasiah. Kalau demi tegaknya Islam, Shalahuddin seperti seolah tak pernah mau
berhenti berjuang hingga sampai titik darah penghabisan terakhir sekali pun.
Beliau menelan banyak kemenangan di sebagian besar peperangan melawan pasukan
Salib yang dilakoninya. Perang pertama melawan pasukan Yerusalem pimpinan Raja
Amalrie I, peperangan yang tak kunjung berhenti hingga Amalrie II putra Almarie
I mengantikan posisi ayahnya. Perang selanjutnya melawan pengusaha Benteng
Karak, sebelah Timur Laut Mati, Raynald de Chatillon, dan melawan Baldwin V
hingga Gaza, Yerusalem, Bethlehem, dan kota-kota lain berhasil dikuasai Islam.
Setelah 88 tahun lamanya Baitul Maqdis
berada di bawah cengkraman nasrani, Shalahuddin dengan mudahnya memukul mundur
tentara salib dan berhasil merebut kembali tempat suci itu. Ketika Baitul
Maqdis telah berada di bawah kendali umat Islam, tidak sedikit pun ada benih
dendam di hati Shalahuddin. Dengan kemurahan hatinya, beliau masih tetap
membiarkan orang-orang nasrani berziarah dan selalu menjamin keamanan dan
perlindungan bagi mereka yang tidak bersenjata. Bahkan Shalahuddin menangis
tersedu ketika menyaksikan mereka yang menjadi korban peperangan terpecah-belah
keluarganya dan menderita. Jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pasukan salib
ketika menguasai Yerusalem, orang-orang muslim dibantai tanpa ampun, dipanah
dari jarak dekat, dibakar, dan diperlakukan secara keji. Hal ini membuat tanah
Yerusalem banjir darah, mayat-mayat menyumbat jalan, jiwa anak dan wanita
terkapar dengan anyir darah.
Panglima yang Berhati Lembut
Dalam sejarah Islam, Asma Shalahuddin
Yusuf Al Ayyubi diukir dengan tinta emas. Bukan karena keberhasilannya dalam
melakoni banyak peperangan, tetapi justru karena kelembutan hatinya yang mampu
melumpuhkan hati banyak orang termasuk si Raja Inggris Richard. Hal ini diakui
oleh banyak kalangan, tidak hanya orang-orang muslim tetapi juga para nonmuslim
dari kalangan Barat. Dalam peperangan melawan pasukan Salib, tentara muslim
acapkali diam-diam menyelinap ke wilayah musuh dan menculik tawanan. Salah di
antara mereka juga merampas bayi yang masih menyusu dari dekapan ibunya, tak
ayal ibunya begitu kehilangan dan menangis tersedu-sedu. Sang ibu menginginkan
buah hatinya kembali dalam pelukannya. Tak ada yang mampu ibu itu lakukan
selain mengadu kepada para panguasa dan panglima pasukan Salib ihwal perampasan
anaknya oleh prajurit muslim. Jawaban mereka di luar dugaan sang ibu, mereka
tidak bisa melakukan apa-apa. Justru malah merekomendasikan ibu itu memohon
pertolongan kepada panglima musuh Shalahuddin Yusuf Al Ayyubi. Dengan langkah
gemetar dan hati yang dipenuhi ketakutan, sang ibu memberanikan diri untuk
meminta Shalahuddin membebaskan dan mengembalikan buah hatinya. Mendengar
pengaduan sang ibu, hati Shalahuddin terguncang hebat hingga mengalir air mata
sang panglima itu membasahi jenggotnya. Dengan senang hati, Shalahuddin
berjanji untuk memerintahkan agar bayi itu segera dicari dan dikembalikan
kepada pelukan sang ibu. Betapa bahagia dan terkesan sang ibu dengan panglima
itu. Namun rupanya bayi itu telah dijual, Shalahuddin mengupayakan cara lain.
Beliau bersedia mengganti uang tebusan kepada seseorang yang telah membeli bayi
itu. Sekian lamanya Shalahuddin berdiri menanti menunggu sang bayi didatangkan
dan segera di serahkan kembali kepada ibunya. Akhirnya, penantiannya tak
sia-sia. Sang pembeli bersedia mengembalikan bayi yang telah dibelinya itu.
Setelah bayi diserahkan kepada sang ibu, mereka dinaikkan kuda dan dikawal
secara hormat hingga mereka sampai dengan selamat ke tempat tinggalnya.
Gigih Demi Islam
Beliau merupakan pekerja keras dan
menghabiskan masa hidupnya untuk berjuang siang malam demi tegaknya ajaran
Allah SWT. Hidupnya begitu sederhana, mulai dari rumah, makanan hingga
pakaiannya yang terbuat dari kain kasar. Kemuliaan hatinya tidak akan pernah
dilupakan oleh ahli sejarah mana pun. Brilian, tawadu’, cerdas, lincah,
pemaaf, pemurah, khusyuk, demikian sebagian kecil dari sifat yang menghiasi
perjalanan hidup beliau. Lima waktu yang tak pernah tertinggal, bahkan ketika
sakit dan menjelang kepergiannya menuju pangkuan Ilahi beliau masih bersikeras
untuk mengerjakan sholat berjamaah. Hingga janji Allah tiap-tiap jiwa yang
hidup pasti akan kembali telah sampai, Shalahuddin wafat pada 4 Maret 1193
dalam usia 57 tahun di Damaskus.
Duhai, umat muslimin telah begitu
kehilangan sosok panglima yang dihormati dan disayangi. Seluruh dunia berkabung
dan tertunduk wajahnya mengantarkan sang panglima yang Agung menemui menemui
sang Ilahi. Bahkan salah seorang penulis sejarah mengatakan :
“Hari kematiannya merupakan kehilangan
besar bagi agama Islam dan kaum muslimin karena mereka tidak pernah menderita
sejak kehilangan Khulafaur Rasyidin. Istana, kerajaan, dan dunia diliputi oleh
wajah-wajah yang tertunduk, seluruh kota terbenam dalam duka cita, dan rakyat
dengan khidmat mengantarkan jenazahnya sambil diiringi dengan tangisan dan
ratapan.”
Sepanjang hidupnya, beliau acapkali
menyandang sebuah peti yang ditutup rapat. Orang-orang menyangka peti itu
berisi permata atau benda berharga lain. Namun, kala Shalahuddin telah wafat
petinya dibuka dan ternyata hanya berisi helaian kain kafan, segumpal darah dan
secarik surat wasiat. Dalam suratnya Shalahuddin berpesan,
“Kafankanlah aku dengan kain kafan
yang pernah dibasahi air zam-zam ini, yang pernah mengunjungi Ka’bah yang mulia
dan makam Rasulullah. Tanah ini adalah sisa-sisa perang. Buatlah kepalan untuk
alas kepalaku di dalam kubur.”
Berkat kiprahnya, kini sejarah sering
mengelu-elukan namanya, bahkan beliau juga dikenal di kalangan Kristen Eropa
sebagai pahlawan Islam yang mulia. Reputasinya begitu besar dan dihormati oleh
dunia Barat. Semoga kita dapat meneladani sifat beliau.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...