Taman rindang itu dipenuhi beraneka
tanaman. Bunga-bunga mewangi, sementara buah ranum menyembul disela-sela
dahannya yang rimbun. Disatu pojok, sebatang tunas tumbuh dan berkembang dengan
segarnya. Batangnya kokoh, rantingnya dihiasi pucuk-pucuk daun lebat dengan
akar terhujam kebumi. Tunas itu khas. Ia berada ditempat yang khas. Jika fajar
menyingsing sinar mentari menerpa pucuk-pucuknya. Ketika siang menjelang ia
dipayungi rimbunan dahan di sekitarnya. Dan saat petang beranjak, sang raja
siangpun sempat menyapa selamat tinggal melalui sinarnya yang lembut. Sang
tunas tumbuh dalam suasana hangat. Maka tak heran jika ia tumbuh dalam, berbuah
lebat, berbatang kokoh dan berdahan rindang. Tunas itu adalah Taqiyyudin Ahmad
bin Abdilhalim bin Taymiyyah.
Ia berasal dari keluarga taqwa.
Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah. Seorang Syaikh, hakim, khatib, 'alim dan
wara'. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah
Al-Harrani. Syaikhul Islam, Ulama fiqih, ahli hadits, tafsir, Ilmu Ushul dan
hafidz.
Lahir di harran, 10 Rabiul Awwal 661 H
di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam. Ketika
berusia enam tahun, Taymiyyah kecil dibawa ayahnya ke Damaskus.
Di Damaskus ia belajar pada banyak
guru. Ilmu hitung, khat, Nahwu, Ushul fiqih merupakan bagian dari ilmu yang
diperolehnya. Di usia belia ia telah mereguk limpahan ilmu utama dari manusia
utama. Dan satu hal ia dikaruniai Allah Ta'ala kemampuan mudah hafal dan sukar
lupa. Hingga dalam usia muda , ia telah hafal Al-qur'an.
Tak hanya itu, iapun mengimbangi
ketamakannya menuntut ilmu dengan kebersihan hatinya. Ia amat suka menghadiri
majelis-majelis mudzakarah (dzikir). Pada usia tujuh belas tahun kepekaannya
terhadap dunia ilmu mulai kentara. Dan umur 19, ia telah memberi fatwa.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai rijalul
Hadits (perawi hadits) dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah,
cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus
Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah, ia memiliki
kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan
para mufassir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil
mengomentari para filosof . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah
(buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul
Wardi menuturkan dalam Tarikul Ibnul Warid bahwa karangan beliau mencapai lima
ratus judul.
Al-Washiti mengemukakan: "Demi
Allah, syaikh kalian (Ibnu Taymiyyah) memiliki keagungan khuluqiyah, amaliyah,
ilmiyah dan mampu menghadapi tantangan orang-orang yang menginjak-injak hak
Allah dan kehormatanNya."
Mujahid Dan
Mujaddid
Dalam perjalanan hidupnya, beliau juga
terjun ke masyarakat menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Ia tak mengambil
sikap uzlah melihat merajalelanya kema'syiyatan dan kemungkaran. Suatu saat,
dalam perjalanannya ke Damaskus, disebuah warung yang biasa jadi tempat
berkumpulnya para pandai besi, ia melihat orang bermain catur. Ia langsung
mendatangi tempat itu untuk mengambil papan catur dan membalikkannya. Mereka
yang tengah bermain catur hanya termangu dan diam.
Beliau juga pernah mengobrak-abrik
tempat pemabukkan dan pendukungnya. Bahkan, pernah pada suatu jum'at, Ibnu
Taymiyyah dan pengikutnya memerangi penduduk yang tinggal digunung jurdu dan
Kasrawan karena mereka sesat dan rusak aqidahnya akibat perlakuan tentara
tar-tar yang pernah menghancurkan kota itu. Beliau kemudian menerangkan hakikat
Islam pada mereka.
Tak hanya itu, beliau juga seorang mujahid
yang menjadikan jihad sebagai jalan hidupnya. Katanya: "Jihad kami dalam
hal ini adalah seperti jihad Qazan, jabaliah, Jahmiyah, Ittihadiyah dan
lain-lain. Perang ini adalah sebagian nikmat besar yang dikaruniakan Allah
Ta'ala pada kita dan manusia. Namun kebanyakan manusia tak banyak mengetahuinya."
Tahun 700 H, Syam dikepung tentara
tar-tar. Ia segera mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala kemungkinan
yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat Alqur'an ia bangkitkan keberanian
membela tanah air menghalau musuh. Kegigihannya itu membuat ia dipercaya untuk
meminta bantusan sultan di Kairo. Dengan argumentasi yang matang dan tepat, ia
mampu menggugah hati sultan. Ia kerahkan seluruh tentaranya menuju Syam
sehingga akhirnya diperoleh kemenangan yang gemilang.
Pada Ramadhan 702 H, beliau terjun
sendiri kemedan perang Syuquq yang menjadi pusat komando pasukan tar-tar.
Bersama tentara Mesir, mereka semua maju bersama dibawah komando Sultan. Dengan
semangat Allahu Akbar yang menggema mereka berhasil mengusir tentara tar-tar.
Syuquq dapat dikuasai.
Pandangan
Dan Jalan Fikiran
Pemikiran Ibnu Taymiyyah tak hanya
merambah bidang syar'I, tapi juga mengupas masalah politik dan pemerintahan.
Pemikiran beliau dalam bidang politik dapat dikaji dari bukunya Minhaj
as-Sunnah an-Nabawiyah fi naqdh Kalam as-Syi'ah wal Qadariyah (Jalan Sunnah
Nabi dalam pemyangkalan terhadap keyakinan kalangan Syi'ah dan Qadariyah),
As-Siyasah as-Syar'iyah (Sistem Politik Syari'ah), Kitab al-Ikhriyaratul
'Ilmiyah (Kitab aturan-aturan yuridis yang berdiri sendiri) dan Al-Hisbah fil
Islam (Pengamat terhadap kesusilaan masyarakat dalam Islam)
Sebagai penganut aliran salaf, beliau
hanya percaya pada syari'at dan aqidah serta dalil-dalilnya yang ditunjukkan
oleh nash-nash. Karena nash tersebut merupakan wahyu yang berasal dari Allah
Ta'ala. Aliran ini tak percaya pada metode logika rasional yang asing bagi
Islam, karena metode semacam ini tidak terdapat pada masa sahabat maupun
tabi'in. Baik dalam masalah Ushuludin, fiqih, Akhlaq dan lain-lain, selalu ia
kembalikan pada Qur'an dan Hadits yang mutawatir. Bila hal itu tidak dijumpai
maka ia bersandar pada pendapat para sahabat, meskipun ia seringkali memberikan
dalil-dalilnya berdasarkan perkataan tabi'in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
Menurut Ibnu Taymiyyah, akal pikiran
amatlah terbatas. Apalagi dalam menafsirkan Al-Qur'an maupun hadits. Ia
meletakkan akal fikiran dibelakang nash-nash agama yang tak boleh berdiri
sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan qur'an,
kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan
oleh hadits. Akal fikiran hanyalah saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil
Al-Qur'an.
Bagi beliau tak ada pertentangan
antara cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal
tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada
pertentangan antara aqal dan pendengaran (sam'i) maka harus didahulukan dalil
qath'i, baik ia merupakan dalil qath'i maupun sam'i.
Polemik Ibnu
Taymiyah
Pribadi Ibnu Taymiyyah memiliki banyak
sisi. Sebuah peran yang sering terlihat adalah kegiatannya menentang segala
bid'ah, khurafat dan pandangan-pandangan yang menurutnya sesat. Tak heran jika
ia banyak mendapat tantangan dari para ulama.
"Sesungguhnya saya lihat
ahli-ahli bid'ah, orang-orang yang besar diombang-ambingkan hawa nafsu seperti
kaum mufalsafah (ahli filsafat), Bathiniyah (pengikut kebathinan), Mulahadah
(mereka yang keras menentang Allah) dan orang-orang yang menyatakan diri dengan
wihdatul wujud (bersatunya hamba dengan khaliq), Dahriyah (mereka yang
menyatakan segalanya waktu yang menentukan), Qadhariyah (manusia berkehendak
dan berkuasa atas segala kemauannya), Nashiriyah, Jamhiyah, Hulliyah,
mu'thilah, Mujassamah, Musyibihah, Rawandiyah, Kilabiyah, Salimiyah dan
lain-lain yang terdiri atas orang-orang yang tenggelam dalam kesesatan, dan
mereka yang telah tertarik masuk kedalamnya penuh sesat. Sebagian besar mereka
bermaksud melenyapkan syari'at Muhammad yang suci, yang berada diatas segala
agama. Para pemuka aliran sesat tersebut menyebabkan manusia berada dalam
keraguan tentang dasar-dasar agama mereka. Sedikit sekali saya mendengan mereka
menggunakan Al-qur'an dan hadits dengan sebenarnya. Mereka adalah orang-orang
zindiq yang tak yakin dengan agama. Setelah saya melihat semua itu, jelaslah
bagi saya bahwa wajib bagi setiap orang yang mampu untuk menentang kebathilan
serta melemahkan hujjah-hujjah mereka, untuk mengerahkan tenaganya dalam
menyingkap keburukkan-keburukkannya dan membatalkan dalil-dalilnya."
Demikian diantara beberapa pendapatnya yang mendapat tantangan dari mereka yang
merasa dipojokkan dan disalahkan.
Tahun 705 H, kemampuan dan keampuhan
Ibnu Taymiyyah diuji. Para Qadhi berkumpul bersama sultan di istana. Setelah
melalui perdebatan yang sengit antara mereka, akhirnya jelah bahwa Ibnu
Taymiyyah memegang aqidah sunniyah salafiyah. Banyak diantara mereka menyadari
akan kebenaran Ibnu Taymiyyah.
Namun, upaya pendeskriditan terhadap
pribadi Ibnu Taymiyyah terus berlangsung. Dalam sebuah pertemuan di Kairo
beliau dituduh meresahkan masyarakat melalui pendapat-pendapatnya yang
kontroversial. Sang qadhi yang telah terkena hasutan memutuskan Ibnu Taymiyyah
bersalah. Beliau diputuskan tinggal dalam penjara selama satu tahun beberapa
bulan.
Dalam perjalanan hidupnya, ia tak
hanya sekali merasakan kehidupan penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta yang
diputar balikkan, Sultan megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar ini ia
berujar, "Saya menunggu hal itu. Disana ada masalah dan kebaikkan banyak
sekali."
Kehidupan dalam penjara ia manfaatkan
untuk membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya tetap mengesankan kekuatan hujjah
dan semangat serta pendapat beliau. Sikap itu malah mempersempit ruang gerak
Ibnu Taymiyyah. Tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, semua buku, kertas, tinta dan
pena-nya dirampas. Perampasan itu merupakan hantaman berat bagi Ibnu Taymiyyah.
Setelah itu ia lebih banyak membaca ayat suci dan beribadah. Memperbanyak
tahajjud hingga keyakinanya makin mantap.
Setelah menderita sakit selama dua
puluh hari, beliau menghadap Rabbnya sesuai dengan cita-citanya: mati membela
kebenaran dalam penjara.
Hari itu, tanggal 20 Dzulqaidah 728 H
pasar-pasar di Damaskus sepi-sepi. Kehidupan berhenti sejenak. Para Emir,
pemimpin, ulama dan fuqaha, tentara, laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil
semuanya keluar rumah. Semua manusia turun kejalan mengantar jenazahnya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...