Menu Bar 1

Monday, 17 April 2017

Makalah Ulumul Hadist "Orientalisma Hadis"

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Hadist adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi Muhammad saw. Baik berupa perkataan,perbuatan,ataupun ketetapan setelah beliau diangkat menjadi nabi dan rasul. Sedangkan segala perbuatannya sejak sebelum bi’tshah disebut dengan sunnah. 
Hadits atau merupakan sumber pokok kedua dalam setelah Alqur’an.apa yang terdapat dalam Alqur’an akan diperjelas di dalam hadist,karena hadist atau sunnah berfungsi sebagai bayan dari Alqur’an.
Namun perlu diketahui hadist sampai ini masih menjadi perdebatan dikalangan para ulama’ tentang kesahihannya. Bahkan dari kaum orientalis pun ikut membahas atau menelusuri tentang hadist.
Kaum  orientalis menganggap bahwa semua hadist tidak otentik,karena di dalamnya banyak mengandung kepalsuan belaka.kaum orientalis di sini adalah sarjana barat yang notabennya non muslim,namun mereka sibuk dengan mengkaji seluk beluk islam. Terutama pada Alqur’an dan hadist. Yang termasuk tokoh-tokoh orientalis disini adalah seperti Ignaz Goldziher,joseph Schacht, G.H.A.Juyn Boll,dan lain-lain.  

B.   Rumusan Masalah

1.   Apa pengertian dari orientalis ?
2.   Bagaimana pendapat kaum orientalis terhadap hadits dan pengaruhnya pada pemikiran islam ?
3.   Bagaimana tanggapan dari para ulama’ terhadap sikap orientalis?

C.   Tujuan

1.   Untuk mengetahui pengertian dari orientalis.
2.   Untuk mengetahui pendapat kaum orientalis terhadap hadits dan pengaruhnya pada pemikiran islam.
3.   Untuk mengetahui tanggapan dari para ulama’ terhadap sikap orientalis.

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Orientalis

Orientalisme berasal dari dua kata,orient dan isme diambil dari bahasa latin oriri yang berarti terbit. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur.sedangkan istilah isme berasal dari bahasa belanda atau isme dalam bahasa latin atau ism dalam bahasa inggris yang berarti a doctrine,theory of system,atau pendirian,ilmu,paham kepercayaan dan system. Jadi menurut bahasa orientalisme diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur. Adapula yang berpendapat bahwa orientalisme adalah faham yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur dan lainnya. Faham ini berfokus pada dunia islam. Dengan demikian para orientalis mempunyai harapan dalam mengkaji biografi nabi Muhammad seperti merembetnya tuduhan dusta dan pernah mendapat julukan sebagai ahli sihir,kekerasan,menyiarkan agama dengan pedang. Sedangkan orientalis adalah orang-orang barat yang menganut paham orientalisme.
Secara terminologis, Edward Said memberikan 3 pengertian tentang orientalisme, yaitu: (1) sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan bangsa-bangsa timur berdasarkan tempat khusus timur dan pengalaman barat Eropa; (2) sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontology dan epistomologi barat pada umumnya;dan (3) sebuah gaya barat untuk mendominasi, membangun kembali, dan mempunyai kekuasaan terhadap timur. Dari beberapa pengertian ini agaknya pengertian orientalisme dapat disederhanakan menjadi kajian tentang dunia timur. Dengan pengertian ini, maka orientalis berarti orang yang mengkaji tentang dunia ketimuran, yang dalam perkembangannya mengalami penyempitan menjadi dunia islam. Dalam hal ini, ada pendapat yang membatasi pengertiann orientalis itu pada orang- orang barat saja, disamping pendapat lain yang tidak membatasinya pada kelompok tertentu.[1]
Pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis terhadap islam bersifat umum. Namun, dalam perkembangannya kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahir berbagai kajian tentang islam seperti Alqur’an, hadits, hukum, dan sejarah.  

B.     Otoritas Sunnah Menurut Kaum Orientalis dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Islam.

Sunnah merupakan bagian dari wahyu Allah, yang isi dan kandungannya dilafadzkan oleh Rasulullah saw. Yang dimaksud sunnah di sini adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapannya. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah memiliki otoritas yang sama pentingnya dengan Alqur’an yaitu sebagai sumber penjelas isi kandungan ajaran islam. Oleh karena itu jumhur ulama’ menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang menempati posisi kedua seetelah Alqur’an. Yang memiliki posisi dominan dan peran yang sangat urgent dalam perkembangan wacana islam wabil khusus adalah yang bersinggungan dengan hukum.[2]
Namun pada saat ini banyak sekali dari kaum orientalis yang mencoba untuk menela’ah tentang Alqur’an dan sunnah. Alqur’an adalah misi pertama mereka dalam proses penelitian. Tampaknya terdapat beberapa pintu gerbang yang digunakan sebagai penyerangan terhadap teks Alqur’an. Diantaranya yaitu para orientalis dari Toledo yang membentuk sebuah komunitas penerjemah yang terdiri dari Kristen katolik yang tidak memandang netral terhadap islam. Sejalan dengan pengubahan kebijaksanaan yunani kuno kedalam ilmu pengetahuan Eropa abad pertengahan. Mereka ingin mengubah kaum muslim menjadi nasrani. Komunitas tersebut dipimpin oleh seorang ahli bahsa, Robert Of Ketton. Dia mencoba membuat versi bahasa latin pertama dari Alqur’an suci. Ya, tidak sepenuhnya “suci” karena di mata Robert, Muhammad adalah seorang tukang obat, bukan seorang nabi yang sesungguhnya dan kitab yang dibawanya bukanlah berupa titah ilahi. Robert menghasilkan sebuah bunga rampai tulisan tentang Muhammad dalam bahasa latin dengan judul “ kisah atau kebohongan arab dan cerita konyol dari jazirah Arab”. Itulah salah satu usaha kaum orientalis untuk menghancurkan pemikiran muslim.[3]
Dalam bidang hadits dan sunnah, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas dari sikap dan pencintraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan tentang hadits akan selalu berhubungan dengan perkataan, perbuatan, dan ketetapan Muhammad. Dalam konteks ini, pencintraan Muhammad di mata orientalis dapat dipandang dua sisi. Satu sisi Muhammad dipandang sebagai nabi dan  rasul tang telah membebaskan manusia dari kedzaliman. Pandangan ini dikemukakan oleh De Boulavilliers dan Savary.[4]
Di sisi lain Muhammad dipandang sebagai paganis, penganut kristen dan yahudi yang murtad yang akan menghancurkan ajaran kristen dan yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seorang tukang sihir yang berpenyakit ayan. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh D’Herbelot, Dante Alighieri, Washington Irving, Hamilton Gibb, Goldziher, dan Joseph Scahcht. Kesimpulannya mereka juga berpandangan negatif terhadap hadits.
Dalam pandangan kebanyakan orientalis, hadits hanya merupakan hasil karya ulama’ dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam sebagai agama yang multidimentasional, mereka juga memandang bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki kapasitas dan otoritas dalam menetapkan hukum. Mereka menolak adanya penetapan hukum yang sistematis dari Nabi, yang konsekuensinya mengarah pada penolakan sunnah sebagai sumber hukum islam. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Muhammad sangat menyadari betapa kurang memen bahwa hadits tidak lebih dari sekedar ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran Yahudi dan kristen. Hamilton Gibb menyatakan bahwa hadits hanya merupakan jiblakan Muhammad dan pengikutnya dari ajaran yahudi dan kristen. Sementara Ignaz Golziher dan Joseph Schactch, dua pemuka orientalis ini menyatakan bahwa hadits tidak bersumber dar Nabi Muhammad melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai akibat dari perkembangan islam.[5]
Menurut G.H.A. Joynboll sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown, sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian skeptic terhadap hadits adalah Alois Sprenger kemudian diikuti oleh Sir Willian Muir dalam karyanya “life of muhammet” dan mencapai puncaknya pada karya Ignaz goldziher. Menurut M Mustofa Azami orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadist adalah Ignaz Goldziher.
Penyandaran suatu hadits secara isnad menurut mereka baru muncul pada zaman Abbasyiah. Semua usaha kaum orientalis tersebut tidak lain hanya agar kaum muslim membuang tuntunan Rasulullah sebagaimana orang Kristen meragukan dan mencampakan Yesus.   

C.     Diantara tokoh-tokoh orientalis tersebut adalah :

1.    Ignaz Goldziher lahir pada 22 juni 1850 di sebuah kota di hongaria. Berasal dari keluarga yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas. Dia sempat nyantri di universitas Al-azhar kairo mesir selama kurang lebih satu tahun. Goldziher memaparkan sejarah dan perkembangan hadits serta mengungkapkan urgensi hadits bukan dalam arti yang sebenarnya menurut islam. Menurutnya hadits merupakan sumber utama untuk mengetahui tentang perbincangan politik,keagamaan,dan mistisme dalam islam. Hadist dipakai sebagai senjata oleh masing-masing mazhab baik kelompok politik maupun paham fiqh berupaya menggunakan hadits sebagai alat untuk menguai persoalan kehidupan di tengah umat islam. Jadi hadits tidak digunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku nabi, tetapi lebih untuk kepentingan tiap kelompok aliran baik politik maupun keagamaan. Dia juga menyatakan bahwa begitu Nabi Muhammad tampil maka segala perbuatan dan tingkah lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat muslim yang masih baru dan idealitas sunnah dari orang-orang arab sebelum islam.[6]
Pada kesempatan lain, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa perbedaan antara sunnah dan hadits bukan saja dari maknanya, tetapi melebar pada adanya pertentangan dalam materi hadits dan sunnah. Menurutnya, hadits bercirikan berita lisan yang dinilai bersumber dari nabi, sedangkan sunnah berdasar kebiasaan yang lazim digunakan di kalangan umat islam awal yang menunjuk pada permaslahan hukum, baik ada atau tidak ada berita lisan tentang kebiasaan itu. Dengan demikian menurut goldziher sunnah bukanlah suatu yang  berasal dari Nabi tetapi merupakan kebiasaan yang sudah berkembang di kalangan bangsa Arab yang direvisi dan dilanjutkan oleh umat islam sebagai sebuah tradisi.
2.    Joseph Schacht (1902-1969). Orientalis jerman spesialis dalam bidang fiqh islam, Lahir pada 15 maret 1902 di Rottbur, Jerman. Dia memulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik,teologi,serta bahasa-bahasa timur di universitas Prusla dan Leipzig. Pada tahun 1923 dia mendapatkan gelar sarjana tingkat pertama di universitas Prusla.
Schacht mendefinisikan sunnah sebagai konsepsi arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran dalam islam. Dia menilai bahwa sunnah lebih berarti pada praktik ideal dari komunitas setempat. Konsep islam tentang kehidupan dipandangnya hanya sebagai sebuah pelestarian adat istiadat tradisi masyarakat arab pra islam,yang bercirikan dengan profane dan magis. Berciri magis maksudnya mengingat kaidah-kaidah hukum yang muncul dalam penyelidikan dan pembuktian dikuasai oleh prosedur-prosedur sacral,seperti ramalan,sumpah,dan kutuk. Dan profane mengingat bahwa hukum dipersempit menjadi masalah ganti rugi dan pembayaran seperti contoh metode pembelajaran.
 Joseph Scahcht  juga menyatakan bahwa sunnah merupakan konsep bangsa Arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran islam. Dalam konteks ini Fazlur Rahman menyimpulkan makna sunnah menurut Scahcht sebagai tradisi dari nabi yang tidak ada sama sekali sampai abad kedua hijriyah atau kedelapan masehi. Kebiasaan sebelum waktu itu tidak dipandang sebagai sunnah nabi, tetapi sebagai sunnah masyarakat karena sunnah tersebut terutama sekali adalah hasil penalaran bebas orang-orang.  Dia juga berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadits adalah palsu. Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriyah. Dia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama’ abad kedua hijriyah dalam menyandarkan sebuah hadits kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadits tersebut.
3.    Prof. Rev. Mingana, yang dianggap oleh sementara pihak sebagai ilmuwan ulung dalam bahasa Arab sebenarnya masih memiliki pemahaman yang rapuh serta belum memadai. Ketika menerbitkan Naskah Penting Hadith Bukhari (An Important Manuscript of the Traditions of Bukhari,) dalam beberapa alinea, telah membuat beberapa kekacauan sebagai berikut: ketidaktepatan dalam menyalin wa haddathani (ia malah menyalin wa khaddamani);  Abu al-Fadl bin dibaca dengan Abu al-Muzaffar, membuang perkataan muqabalah; ketidakmampuan membaca sebagian kata-kata seperti al-ijazah (dengan semau gue dihapus seluruhnya); menambah huruf waw; salah dalam menerjemahkan istilah thana dan  ana, dan banyak lagi, dengan sederet kesalahan yang ia lakukan, hanya menempatkan kedudukannya sebagai seorang ilmuwan tanggung.[7]
4.    Snouck Hurgronje, Ia adalah seorang Orientalis penggagas agenda penipuan terhadap komunitas Muslim Indonesia untuk menerima sistem eksploitasi pemerintah jajahan Belanda, "Islam adalah agama damai," menurut seruannya, "dan kewajiban orang-orang Islam menurut syariat adalah mematuhi pemerintah Belanda. Dia juga menyatakan bahwa sunnah semata-mata sebagai karya-karya orang Arab baik sebelum datangnya islam ataupun sesudahnya.
Gugatan para orientalis dan misionaris yahudi dan Kristen itu telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan yang diterbitkan dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat islam.maka muncullah gerakan anti hadits di india, Pakistan, Mesir,dan Asia tenggara. Dalam propagandanya, gerakan ini mengklaim bahwa Al-qur’an saja sudah cukup untuk menjelaskan semua perkara agama. Propaganda anti hadits ini belakangan diteruskan oleh Ghulam Ahmad Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi mendapatkan serangan balik dari para ulama’ setempat. Wabah anti hadits juga merebak di timur tengah. Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq shidqi yang dimuat dalam majalah al-manar kairo mesir. Menurutnya perilaku Muhammad SAW,tidak dimaksudkan untuk ditiru seratus persen, umat islam semestinya berpegang cukup dengan al-qur’an saja.
Terkait dengan kerancuan metodologi tersebut adalah sikap paradox (berpendirian ganda) dan ambivalen(menganut nilai kebenaran ganda) yang tak terelakkan. Di satu sisi mereka meragukan dan bahkan mengingkari kebenaran sumber-sumber yang berasal dari orang islam, sementara di sisi lain mereka menggunakan hukum-hukum islam sebagai bahan referensi tanpa mereka sadari. Sikap paradox ini merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari dilemma metodologis antara merujuk atau tidak merujuk,antara mempercayai atau mengingkari sumber-sumber islam. Meskipun semua tendensi yang ada berseberangan dengan tradisi keislaman, para ilmuwan Barat tetap berusaha meyakinkan bahwa mereka sedang memberi pelayanan terhadap kaum Muslimin dengan menyajikan kajian murni, tidak setengah-setengah, dan berlaku jujur. Implikasinya adalah, seorang ilmuwan Muslim yang, katanya, dikelabui oleh keimanan tidak dapat memahami mana yang salah dan yang benar ketika menganalisis keyakinan mereka.[8]

D.     Tanggapan Para Ulama’ Terhadap Kriktikan Kaum Orientalis

Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang keabsahan dan autentisitas hadits diatas banyak mendapatkan jawaban dari ulama’ hadits, sebagai upaya meluruskan kritik dan tuduhan tersebut.  Diantara ulama’  yang melakukan koreksi terhadap pendapat orientalis tersebut adalah Musthafa al Siba’i, Muhammad ‘Ajjaj al Khatib, Shubhi al Shalih dan Muhammad Musthafa Azami.
Mengenai tuduhan mereka tentang adanya larangan penulisan hadits oleh Nabi dan tidak adanya peninggalan tertulis, Shubhi al Shahih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut disampaikan secara umum pada masa  awal turunnya Alqur’an karena Nabi khawatir hadits tercampur dengan Alqur’an. Namun setelah sebagian besar Alqur’an telah diturunkan, maka Nabi memberikan izin penulisan hadits secara umum kepada para sahabat.  Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadits merupakan rekayasa umat islam pada abad pertam, kedua, dan ketiga hijriyah, oleh Musthafa Azami dibantah sebagai berikut.[9]
1.    Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majelis nabi untuk menyampaikan hadits kepada yang tidak hadir.
2.    Mayoritas pemalsuan hadits terjadi pada tahun keempat puluh hijriyah yang dipicu oleh persoalan politik, karena diantara umat islam pada saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadits untuk faksi politik atau golongan mereka.
3.    Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadits melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah.
4.    Teori “ projecting back” (al qadhf al khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-contoh hadits yang dijadikan sampel. 
Dalam kaitannya dengan tuduhan Ignaz Golziher tentang pemalsuan Al Zuhri terhadap hadits : yang artinya (janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga masjid), menurut Azami tidak ada bukti historis yang memeprkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadits tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk Az Zuhri, dan ia tidak pernah bertemu dengan Abd malik ibn Marwan sebelum tahun 81 hijriyah. Karena itu tidak mungkin Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat islam berhaji dari Mekkah ke Palestina dan tidak mungkin Az Zuhri membuat hadits palsu dalam usia antara 10 sampai 18 tahun. Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadits Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadits-hadits ritual. Sebagai contoh dari 47 hadits yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.
Terhadap tuduhan A.J. wensinck tentang kepalsuan hadits mengenai syahadat sebagai salah satu rukun islam, menurut Azami terlalu mengada-ada, karena Wensick tahu persis bahwa dua kalimat syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjama’ah oleh umat islam semenjak masa Nabi . Dan kalimat tersebut dikumandangkan dalam adzan. Dengan demikian tuduhan dan pendapat orientalis tentang islam tidak mesti didasari oleh ketidaktahuan mereka tentang islam yang sebenarnya, tetapi didasari oleh pretensi dan faktor-faktor tertentu yang menyebabkan mereka berpendapat demikian.


BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

1.      Pengertian dari orientalis adalah sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur. Adapula yang berpendapat bahwa orientalisme adalah faham yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur dan lainnya.
2.      Pendapat kaum orientalis terhadap hadits dan pengaruhnya pada pemikiran islam adalah hadits hanya merupakan hasil karya ulama’ dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam sebagai agama yang multidimentasional, mereka juga memandang bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki kapasitas dan otoritas dalam menetapkan hukum.
3.      Tanggapan dari para ulama’ terhadap sikap orientalis adalah
a.    Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majelis nabi untuk menyampaikan hadits kepada yang tidak hadir.
b.    Mayoritas pemalsuan hadits terjadi pada tahun keempat puluh hijriyah yang dipicu oleh persoalan politik, karena diantara umat islam pada saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadits untuk faksi politik atau golongan mereka.
c.    Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadits melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah.
d.      Teori “ projecting back” (al qadhf al khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-contoh hadits yang dijadikan sampel. 

B.     Saran

Setelah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, penulis mengharapkan saran dan kritik dari Bapa pembimbing dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Dan Diharapkan bagi para pembaca sekalian agar bisa mencari referensi lain untuk menambah pengetahuan tentang layanan bimbingan kelompok. semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

Shaffat,Idri. 2010. Studi Hadits. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Bin Madi,Faisol Nasar. 2011. Isu-isu Seputar Sunnah; Studi Perbandingan Ahl al sunnah  dan Imamiyah. Jember: Pustaka Radja.
Hujair.A.H Sanaky. 2006. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Hadits dan Sunnah. Al Mawarid Edisi XVI.
Al A’zami,M,M. 2005. The History Of Qur’anic Text-From Revelation to Complication. Gema Insani Press.
Lawrence, Bruce. 2008. The Qur’an A Biography. Bandung: Karya Kita.



[1] Dr. Idri Shaffat, M.Ag. Studi Hadits. Jakarta: Kencana. 2010. Hlm 305
[2] Faisol Nasar B.M. Isu-isu Seputar Sunnah Studi Perbandingan Al Sunnah dan Imamiyah. Jember: Pustaka Radja. 2011. Hlm 1-2
[3] Bruce Lawrence. The Qur’an A Biography. Bandung: Karya Kita.2008. hlm 75
[4] Dr. Idri Shaffat, M.Ag. Studi Hadits. Jakarta: Kencana. 2010. Hlm 309
[5] Ibid. hlm 319
[6] Hujair A.H. sanaky.Pemikiranfazlurrahmantentangmetodologhaditsdansunnah. Almawaridedisi XVI. 2006 hlm 264
[7] Prof. Dr. M.M Al A’zami. The History Of Qur’anic Text-From Revelation to Complication. Gema Insani Press.2005. Hlm 128
[8] Ibid. 117
[9] Dr. Idri Shaffat, M.Ag. Studi Hadits. Jakarta: Kencana. 2010. Hlm 320- 321

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...