BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadist adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi
Muhammad saw. Baik berupa perkataan,perbuatan,ataupun ketetapan setelah beliau
diangkat menjadi nabi dan rasul. Sedangkan segala perbuatannya sejak sebelum
bi’tshah disebut dengan sunnah.
Hadits atau merupakan sumber pokok kedua dalam setelah
Alqur’an.apa yang terdapat dalam Alqur’an akan diperjelas di dalam
hadist,karena hadist atau sunnah berfungsi sebagai bayan dari Alqur’an.
Namun perlu diketahui hadist sampai ini masih menjadi
perdebatan dikalangan para ulama’ tentang kesahihannya. Bahkan dari kaum
orientalis pun ikut membahas atau menelusuri tentang hadist.
Kaum orientalis menganggap bahwa semua
hadist tidak otentik,karena di dalamnya banyak mengandung kepalsuan belaka.kaum
orientalis di sini adalah sarjana barat yang notabennya non muslim,namun mereka
sibuk dengan mengkaji seluk beluk islam. Terutama pada Alqur’an dan hadist.
Yang termasuk tokoh-tokoh orientalis disini adalah seperti Ignaz
Goldziher,joseph Schacht, G.H.A.Juyn Boll,dan lain-lain.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian dari orientalis ?
2. Bagaimana pendapat kaum orientalis terhadap hadits dan
pengaruhnya pada pemikiran islam ?
3. Bagaimana tanggapan dari para ulama’ terhadap sikap
orientalis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari orientalis.
2. Untuk mengetahui pendapat kaum orientalis terhadap
hadits dan pengaruhnya pada pemikiran islam.
3. Untuk mengetahui tanggapan dari para ulama’ terhadap
sikap orientalis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Orientalis
Orientalisme berasal dari dua kata,orient dan
isme diambil dari bahasa latin oriri yang berarti terbit. Secara geografis kata
orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa
timur.sedangkan istilah isme berasal dari bahasa belanda atau isme dalam bahasa
latin atau ism dalam bahasa inggris yang berarti a doctrine,theory of
system,atau pendirian,ilmu,paham kepercayaan dan system. Jadi menurut bahasa
orientalisme diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia
timur. Adapula yang berpendapat bahwa orientalisme adalah faham yang
berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur dan lainnya.
Faham ini berfokus pada dunia islam. Dengan demikian para orientalis mempunyai
harapan dalam mengkaji biografi nabi Muhammad seperti merembetnya tuduhan dusta
dan pernah mendapat julukan sebagai ahli sihir,kekerasan,menyiarkan agama
dengan pedang. Sedangkan orientalis adalah orang-orang barat yang menganut
paham orientalisme.
Secara terminologis, Edward Said memberikan 3
pengertian tentang orientalisme, yaitu: (1) sebuah cara kedatangan yang berhubungan
dengan bangsa-bangsa timur berdasarkan tempat khusus timur dan pengalaman barat
Eropa; (2) sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontology dan epistomologi barat
pada umumnya;dan (3) sebuah gaya barat untuk mendominasi, membangun kembali,
dan mempunyai kekuasaan terhadap timur. Dari beberapa pengertian ini agaknya
pengertian orientalisme dapat disederhanakan menjadi kajian tentang dunia
timur. Dengan pengertian ini, maka orientalis berarti orang yang mengkaji
tentang dunia ketimuran, yang dalam perkembangannya mengalami penyempitan
menjadi dunia islam. Dalam hal ini, ada pendapat yang membatasi pengertiann orientalis itu pada orang- orang barat saja,
disamping pendapat lain yang tidak membatasinya pada kelompok tertentu.[1]
Pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis terhadap
islam bersifat umum. Namun, dalam perkembangannya kajian itu mengalami
spesifikasi sehingga lahir berbagai kajian tentang islam seperti Alqur’an,
hadits, hukum, dan sejarah.
B. Otoritas
Sunnah Menurut Kaum Orientalis dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Islam.
Sunnah merupakan bagian dari wahyu Allah, yang isi dan
kandungannya dilafadzkan oleh Rasulullah saw. Yang dimaksud sunnah di sini
adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi Muhammad baik berupa perkataan,
perbuatan, dan penetapannya. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah memiliki otoritas
yang sama pentingnya dengan Alqur’an yaitu sebagai sumber penjelas isi
kandungan ajaran islam. Oleh karena itu jumhur ulama’ menegaskan bahwa sunnah
merupakan hujjah yang menempati posisi kedua seetelah Alqur’an. Yang memiliki
posisi dominan dan peran yang sangat urgent dalam perkembangan wacana islam
wabil khusus adalah yang bersinggungan dengan hukum.[2]
Namun pada saat ini banyak sekali dari kaum orientalis
yang mencoba untuk menela’ah tentang Alqur’an dan sunnah. Alqur’an adalah misi
pertama mereka dalam proses penelitian. Tampaknya terdapat beberapa pintu
gerbang yang digunakan sebagai penyerangan terhadap teks Alqur’an. Diantaranya
yaitu para orientalis dari Toledo yang membentuk sebuah komunitas penerjemah
yang terdiri dari Kristen katolik yang tidak memandang netral terhadap islam.
Sejalan dengan pengubahan kebijaksanaan yunani kuno kedalam ilmu pengetahuan
Eropa abad pertengahan. Mereka ingin mengubah kaum muslim menjadi nasrani.
Komunitas tersebut dipimpin oleh seorang ahli bahsa, Robert Of Ketton. Dia
mencoba membuat versi bahasa latin pertama dari Alqur’an suci. Ya, tidak
sepenuhnya “suci” karena di mata Robert, Muhammad adalah seorang tukang obat,
bukan seorang nabi yang sesungguhnya dan kitab yang dibawanya bukanlah berupa
titah ilahi. Robert menghasilkan sebuah bunga rampai tulisan tentang Muhammad
dalam bahasa latin dengan judul “ kisah atau kebohongan arab dan cerita konyol
dari jazirah Arab”. Itulah salah satu usaha kaum orientalis untuk menghancurkan
pemikiran muslim.[3]
Dalam bidang hadits dan sunnah, sikap para orientalis
tersebut tidak terlepas dari sikap dan pencintraan mereka terhadap Nabi
Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan tentang hadits akan selalu
berhubungan dengan perkataan, perbuatan, dan ketetapan Muhammad. Dalam konteks
ini, pencintraan Muhammad di mata orientalis dapat dipandang dua sisi. Satu
sisi Muhammad dipandang sebagai nabi dan rasul tang telah
membebaskan manusia dari kedzaliman. Pandangan ini dikemukakan oleh De
Boulavilliers dan Savary.[4]
Di sisi lain Muhammad dipandang sebagai paganis,
penganut kristen dan yahudi yang murtad yang akan menghancurkan ajaran kristen
dan yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong,
serta seorang tukang sihir yang berpenyakit ayan. Pandangan ini dikemukakan
antara lain oleh D’Herbelot, Dante Alighieri, Washington Irving, Hamilton Gibb,
Goldziher, dan Joseph Scahcht. Kesimpulannya mereka juga berpandangan negatif
terhadap hadits.
Dalam pandangan kebanyakan orientalis, hadits hanya
merupakan hasil karya ulama’ dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam sebagai
agama yang multidimentasional, mereka juga memandang bahwa Nabi Muhammad tidak
memiliki kapasitas dan otoritas dalam menetapkan hukum. Mereka menolak adanya
penetapan hukum yang sistematis dari Nabi, yang konsekuensinya mengarah pada
penolakan sunnah sebagai sumber hukum islam. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa
Muhammad sangat menyadari betapa kurang memen bahwa hadits tidak lebih dari
sekedar ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran Yahudi dan kristen. Hamilton
Gibb menyatakan bahwa hadits hanya merupakan jiblakan Muhammad dan pengikutnya
dari ajaran yahudi dan kristen. Sementara Ignaz Golziher dan Joseph Schactch,
dua pemuka orientalis ini menyatakan bahwa hadits tidak bersumber dar Nabi
Muhammad melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriyah
sebagai akibat dari perkembangan islam.[5]
Menurut G.H.A. Joynboll sebagaimana dikutip oleh
Daniel W. Brown, sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian skeptic
terhadap hadits adalah Alois Sprenger kemudian diikuti oleh Sir Willian Muir
dalam karyanya “life of muhammet” dan mencapai puncaknya pada karya Ignaz
goldziher. Menurut M Mustofa Azami orientalis yang pertama kali melakukan
kajian hadist adalah Ignaz Goldziher.
Penyandaran suatu hadits secara isnad menurut mereka
baru muncul pada zaman Abbasyiah. Semua usaha kaum orientalis tersebut tidak
lain hanya agar kaum muslim membuang tuntunan Rasulullah sebagaimana orang
Kristen meragukan dan mencampakan Yesus.
C. Diantara
tokoh-tokoh orientalis tersebut adalah :
1. Ignaz Goldziher lahir pada 22 juni 1850 di sebuah kota
di hongaria. Berasal dari keluarga yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh
luas. Dia sempat nyantri di universitas Al-azhar kairo mesir selama kurang
lebih satu tahun. Goldziher memaparkan sejarah dan perkembangan hadits serta
mengungkapkan urgensi hadits bukan dalam arti yang sebenarnya menurut islam.
Menurutnya hadits merupakan sumber utama untuk mengetahui tentang perbincangan
politik,keagamaan,dan mistisme dalam islam. Hadist dipakai sebagai senjata oleh
masing-masing mazhab baik kelompok politik maupun paham fiqh berupaya
menggunakan hadits sebagai alat untuk menguai persoalan kehidupan di tengah
umat islam. Jadi hadits tidak digunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku
nabi, tetapi lebih untuk kepentingan tiap kelompok aliran baik politik maupun
keagamaan. Dia juga menyatakan bahwa begitu Nabi Muhammad tampil maka segala
perbuatan dan tingkah lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat muslim yang
masih baru dan idealitas sunnah dari orang-orang arab sebelum islam.[6]
Pada kesempatan lain, Ignaz Goldziher menyatakan bahwa
perbedaan antara sunnah dan hadits bukan saja dari maknanya, tetapi melebar
pada adanya pertentangan dalam materi hadits dan sunnah. Menurutnya, hadits
bercirikan berita lisan yang dinilai bersumber dari nabi, sedangkan sunnah
berdasar kebiasaan yang lazim digunakan di kalangan umat islam awal yang
menunjuk pada permaslahan hukum, baik ada atau tidak ada berita lisan tentang
kebiasaan itu. Dengan demikian menurut goldziher sunnah bukanlah suatu
yang berasal dari Nabi tetapi merupakan kebiasaan yang sudah
berkembang di kalangan bangsa Arab yang direvisi dan dilanjutkan oleh umat
islam sebagai sebuah tradisi.
2. Joseph Schacht (1902-1969). Orientalis jerman
spesialis dalam bidang fiqh islam, Lahir pada 15 maret 1902 di Rottbur, Jerman.
Dia memulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi
klasik,teologi,serta bahasa-bahasa timur di universitas Prusla dan Leipzig.
Pada tahun 1923 dia mendapatkan gelar sarjana tingkat pertama di universitas
Prusla.
Schacht mendefinisikan sunnah sebagai konsepsi arab
kuno yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat pemikiran dalam islam. Dia
menilai bahwa sunnah lebih berarti pada praktik ideal dari komunitas setempat.
Konsep islam tentang kehidupan dipandangnya hanya sebagai sebuah pelestarian
adat istiadat tradisi masyarakat arab pra islam,yang bercirikan dengan profane
dan magis. Berciri magis maksudnya mengingat kaidah-kaidah hukum yang muncul
dalam penyelidikan dan pembuktian dikuasai oleh prosedur-prosedur
sacral,seperti ramalan,sumpah,dan kutuk. Dan profane mengingat bahwa hukum
dipersempit menjadi masalah ganti rugi dan pembayaran seperti contoh metode
pembelajaran.
Joseph Scahcht juga menyatakan bahwa
sunnah merupakan konsep bangsa Arab kuno yang berlaku kembali sebagai salah
satu pusat pemikiran islam. Dalam konteks ini Fazlur Rahman menyimpulkan makna
sunnah menurut Scahcht sebagai tradisi dari nabi yang tidak ada sama sekali
sampai abad kedua hijriyah atau kedelapan masehi. Kebiasaan sebelum waktu itu
tidak dipandang sebagai sunnah nabi, tetapi sebagai sunnah masyarakat karena
sunnah tersebut terutama sekali adalah hasil penalaran bebas
orang-orang. Dia juga berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad
hadits adalah palsu. Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa sanad pada
mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat
kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriyah. Dia menyatakan bahwa
sanad merupakan hasil rekayasa para ulama’ abad kedua hijriyah dalam
menyandarkan sebuah hadits kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai
kepada nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadits tersebut.
3. Prof. Rev. Mingana, yang dianggap oleh sementara pihak
sebagai ilmuwan ulung dalam bahasa Arab sebenarnya masih memiliki pemahaman
yang rapuh serta belum memadai. Ketika menerbitkan Naskah Penting Hadith
Bukhari (An Important Manuscript of the Traditions of Bukhari,) dalam beberapa
alinea, telah membuat beberapa kekacauan sebagai berikut: ketidaktepatan dalam
menyalin wa haddathani (ia malah menyalin wa khaddamani); Abu
al-Fadl bin dibaca dengan Abu al-Muzaffar, membuang perkataan muqabalah;
ketidakmampuan membaca sebagian kata-kata seperti al-ijazah (dengan semau gue
dihapus seluruhnya); menambah huruf waw; salah dalam menerjemahkan istilah
thana dan ana, dan banyak lagi, dengan sederet kesalahan yang ia
lakukan, hanya menempatkan kedudukannya sebagai seorang ilmuwan tanggung.[7]
4. Snouck Hurgronje, Ia adalah seorang Orientalis
penggagas agenda penipuan terhadap komunitas Muslim Indonesia untuk menerima
sistem eksploitasi pemerintah jajahan Belanda, "Islam adalah agama
damai," menurut seruannya, "dan kewajiban orang-orang Islam menurut
syariat adalah mematuhi pemerintah Belanda. Dia juga menyatakan bahwa sunnah
semata-mata sebagai karya-karya orang Arab baik sebelum datangnya islam ataupun
sesudahnya.
Gugatan para orientalis dan misionaris yahudi dan
Kristen itu telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Melalui tulisan yang
diterbitkan dan dibaca luas, mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni
pemikiran sebagian kalangan umat islam.maka muncullah gerakan anti hadits di
india, Pakistan, Mesir,dan Asia tenggara. Dalam propagandanya, gerakan ini
mengklaim bahwa Al-qur’an saja sudah cukup untuk menjelaskan semua perkara
agama. Propaganda anti hadits ini belakangan diteruskan oleh Ghulam Ahmad
Parwez dan Sayyid Rafi’uddin Multan, akan tetapi mendapatkan serangan balik
dari para ulama’ setempat. Wabah anti hadits juga merebak di timur tengah.
Pemicunya adalah artikel Muhammad Tawfiq shidqi yang dimuat dalam majalah al-manar
kairo mesir. Menurutnya perilaku Muhammad SAW,tidak dimaksudkan untuk ditiru
seratus persen, umat islam semestinya berpegang cukup dengan al-qur’an saja.
Terkait dengan kerancuan metodologi tersebut adalah
sikap paradox (berpendirian ganda) dan ambivalen(menganut nilai kebenaran
ganda) yang tak terelakkan. Di satu sisi mereka meragukan dan bahkan
mengingkari kebenaran sumber-sumber yang berasal dari orang islam, sementara di
sisi lain mereka menggunakan hukum-hukum islam sebagai bahan referensi tanpa mereka
sadari. Sikap paradox ini merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari
dilemma metodologis antara merujuk atau tidak merujuk,antara mempercayai atau
mengingkari sumber-sumber islam. Meskipun semua tendensi yang ada berseberangan
dengan tradisi keislaman, para ilmuwan Barat tetap berusaha meyakinkan bahwa
mereka sedang memberi pelayanan terhadap kaum Muslimin dengan menyajikan kajian
murni, tidak setengah-setengah, dan berlaku jujur. Implikasinya adalah, seorang
ilmuwan Muslim yang, katanya, dikelabui oleh keimanan tidak dapat memahami mana
yang salah dan yang benar ketika menganalisis keyakinan mereka.[8]
D. Tanggapan
Para Ulama’ Terhadap Kriktikan Kaum Orientalis
Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis
tentang keabsahan dan autentisitas hadits diatas banyak mendapatkan jawaban
dari ulama’ hadits, sebagai upaya meluruskan kritik dan tuduhan
tersebut. Diantara ulama’ yang melakukan koreksi terhadap
pendapat orientalis tersebut adalah Musthafa al Siba’i, Muhammad ‘Ajjaj al
Khatib, Shubhi al Shalih dan Muhammad Musthafa Azami.
Mengenai tuduhan mereka tentang adanya larangan
penulisan hadits oleh Nabi dan tidak adanya peninggalan tertulis, Shubhi al
Shahih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut disampaikan secara umum
pada masa awal turunnya Alqur’an karena Nabi khawatir hadits
tercampur dengan Alqur’an. Namun setelah sebagian besar Alqur’an telah
diturunkan, maka Nabi memberikan izin penulisan hadits secara umum kepada para
sahabat. Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadits merupakan
rekayasa umat islam pada abad pertam, kedua, dan ketiga hijriyah, oleh Musthafa
Azami dibantah sebagai berikut.[9]
1. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan
pemakaian sanad adalah sejak masa nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat
yang menghadiri majelis nabi untuk menyampaikan hadits kepada yang tidak hadir.
2. Mayoritas pemalsuan hadits terjadi pada tahun keempat
puluh hijriyah yang dipicu oleh persoalan politik, karena diantara umat islam
pada saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadits untuk faksi
politik atau golongan mereka.
3. Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak
dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadits melainkan
kitab-kitab fiqh dan sirah.
4. Teori “ projecting back” (al qadhf al khalfi) yang
dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-contoh hadits yang dijadikan
sampel.
Dalam kaitannya dengan tuduhan Ignaz Golziher tentang
pemalsuan Al Zuhri terhadap hadits : yang artinya (janganlah melakukan
perjalanan kecuali pada tiga masjid), menurut Azami tidak ada bukti historis
yang memeprkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadits tersebut
diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk Az Zuhri, dan ia tidak pernah bertemu
dengan Abd malik ibn Marwan sebelum tahun 81 hijriyah. Karena itu tidak mungkin
Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat islam berhaji dari Mekkah ke
Palestina dan tidak mungkin Az Zuhri membuat hadits palsu dalam usia antara 10
sampai 18 tahun. Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan
orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadits Nabi
yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum,
mereka malah memasukkan hadits-hadits ritual. Sebagai contoh dari 47 hadits
yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan
tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik
yang didiskusikan.
Terhadap tuduhan A.J. wensinck
tentang kepalsuan hadits mengenai syahadat sebagai salah satu rukun islam,
menurut Azami terlalu mengada-ada, karena Wensick tahu persis bahwa dua kalimat
syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjama’ah oleh umat islam
semenjak masa Nabi . Dan kalimat tersebut dikumandangkan dalam adzan. Dengan demikian tuduhan dan pendapat orientalis
tentang islam tidak mesti didasari oleh ketidaktahuan mereka tentang islam yang
sebenarnya, tetapi didasari oleh pretensi dan faktor-faktor tertentu yang
menyebabkan mereka berpendapat demikian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian
dari orientalis adalah sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia
timur. Adapula yang berpendapat bahwa orientalisme adalah faham yang
berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur dan
lainnya.
2.
Pendapat
kaum orientalis terhadap hadits dan pengaruhnya pada pemikiran islam adalah hadits
hanya merupakan hasil karya ulama’ dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam
sebagai agama yang multidimentasional, mereka juga memandang bahwa Nabi
Muhammad tidak memiliki kapasitas dan otoritas dalam menetapkan hukum.
3.
Tanggapan
dari para ulama’ terhadap sikap orientalis adalah
a. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan
pemakaian sanad adalah sejak masa nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat
yang menghadiri majelis nabi untuk menyampaikan hadits kepada yang tidak hadir.
b. Mayoritas pemalsuan hadits terjadi pada tahun keempat
puluh hijriyah yang dipicu oleh persoalan politik, karena diantara umat islam
pada saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadits untuk faksi
politik atau golongan mereka.
c. Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak
dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadits melainkan
kitab-kitab fiqh dan sirah.
d.
Teori
“ projecting back” (al qadhf al khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi
beserta contoh-contoh hadits yang dijadikan sampel.
B. Saran
Setelah
Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, penulis mengharapkan saran dan kritik
dari Bapa pembimbing dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini.
Dan Diharapkan bagi para pembaca
sekalian agar bisa mencari referensi lain untuk menambah pengetahuan tentang
layanan bimbingan kelompok. semoga makalah ini
bermanfaat bagi yang membacanya. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Shaffat,Idri.
2010. Studi Hadits. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Bin Madi,Faisol Nasar. 2011. Isu-isu Seputar
Sunnah; Studi Perbandingan Ahl al sunnah dan Imamiyah. Jember:
Pustaka Radja.
Hujair.A.H Sanaky. 2006. Pemikiran Fazlur
Rahman tentang Metodologi Hadits dan Sunnah. Al Mawarid Edisi XVI.
Al A’zami,M,M. 2005. The History Of Qur’anic
Text-From Revelation to Complication. Gema Insani Press.
Lawrence, Bruce.
2008. The Qur’an A Biography. Bandung: Karya Kita.
[2] Faisol Nasar B.M. Isu-isu Seputar Sunnah Studi
Perbandingan Al Sunnah dan Imamiyah. Jember: Pustaka Radja. 2011. Hlm 1-2
[6] Hujair A.H.
sanaky.Pemikiranfazlurrahmantentangmetodologhaditsdansunnah. Almawaridedisi
XVI. 2006 hlm 264
[7] Prof. Dr. M.M Al A’zami. The History Of Qur’anic
Text-From Revelation to Complication. Gema Insani Press.2005. Hlm 128
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...