Menu Bar 1

Tuesday, 18 November 2014

Makalah Mawaris

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh Al-Qur’an adalah kewarisan. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian nyang tidak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran islam yang pokok.
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangaterat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hokum merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beranekaragam sistem hukum terutama hukum kewarisan.
Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al-ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan.
System waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan setelah yang bersangkutan wafat, kepada para penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini, tentunya setelah memenuhi hak-hak yang terkait dengan harta peninggalan si mayit.
Dengan demikian persoalan warisan menurut syariat islam didasarkan atas “kekerabatan”, sesuai keterangan yang telah terperinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, serta pembagian yang telah ditetapkan oleh hukum islam. Golongan yang masuk dalam kategori bisa menerima warisan adalah kaum perempuan dan anak kecil. Dengan demikian, islam telah menghapus tradisi atau system waris orang-orang Arab Jahiliyah yang mengharamkan penerimaan warisan kepada kaum perempuan dan anak. Disamping Karena kekerabatan, islam juga menetapkan “perkawinan” sebagai salah satu sebab terjadinya pewarisan, dengan demikian suami-istri dapat saling mewarisi.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja Sebab-sebab kewarisan dan sebab terhalangnya?
2.      Siapa saja ahli waris dari golongan laki-laki dan perempuan?
3.      Siapa yang disebut ashabul furud dan berapakah bagian yang diperolehnya?
4.      Apa saja metode yang digunakan dalam pembagian harta warisan?

C.    Tujuan Masalah
1.      Dapat memahami dan menjelaskan sebab-sebab kewarisan dan sebab terhalangnya.
2.      Dapat menyebutkan golongan orang-orang yang memperoleh warisan.
3.      Dapat menjelaskan mengenai ashabul furud dan berapa bagian yang diperoleh dari ashabul furud.
4.      Dapat mendeskripsikan metode-metode apa saja yang digunakan dalam pembagian harta warisan.




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Mawaris
Mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tungal miras yang artinya warisan. Dalam hukum islam dikenal dengan adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak manarima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerima warisan. Istilah fiqih mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang memepelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, dan barang siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqih mawaris disebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal faraid artinya ketentuan-ketentuan bagi ahli waris yang diatur secara rinci didalam Al-Qur’an.
Secara terminologis, fqih mawaris adalah fiqih atau ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya. Al-Syarbini dalam kitab Mugni al-Muhtaj jus 3 mengatakan bahwa fiqh mawaris adalah “fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui pembagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap ang berhak’. Dari pada itu Prof.Hasby al-Shiddieqy mendefinisikan fiqig mawaris sebagai “ilmu yang mempelajari tenang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang diterima setiap ahli waris dan cara-cara pembagianya”.
Dalam kontes yang lebih umum warisab berarrti perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam buku Hukum Warisan di Indonesia mendefinisikan, warisan adalah “soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

2.      Beberapa Istilah Dalam Mawaris
·         Waris adalah orang yang termasukahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya tetapi tidak berhak menerima warisan.  Dalam fiqh mawaris, ahli waris yang semacam ini disebut zawi al-arham. Waris bisa timbul karena hubungan darah, karena hubungan perkawinan, dank arena akibat memerdekakan hamba.
·         Mawaris, artinga orang yang diwarisi harta peninggalan, yaitu orang yang meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki, secara, secara taqdiry(perkiraan), atau memiliki keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-maqfud) dan tidak diketahui kabar berita dan domisilinya. Setelah melalui persaksiaan atau tenggang waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia.
·         Al-irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenajah (tajhiz al-janajah), pelumasan hutang, serta pelaksaan wasiat.
·         Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan harta pusaka yang dibeberapa daerah tertentu tidak dibagi, karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.
·         Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal duia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenajah, pembayaran utang, dan pelaksaan wasiat.

3.      Hukum Mempelajari Dan Mengerjakannya
Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Agama islam menghendaki prinsip adil dan keadilan adalah salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakkan. Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan baik dan efektif tanpa ditunjang oleh tenaga-tenaga ahli yang memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dengan baik.
Para ulam berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah. Artinya kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang memenuhinya, dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seoarang yang menjalani kewajiban itu, maka semua orang menanggung dosa.
Oleh karena itu, dilihat dari satu sisi, mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dapat berubah statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pemimpin, terutama pemimpin keagamaan.

4.      Syarat dan Pembagian Mawaris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan. Sebagaian mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri. Rukun pembagian warisan ada 3, yaitu:
a)      Al-mawaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalan atau orng yang mewarisi  meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukumy) atau secara taqdiry berdasarkan perkiraan.
·         Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seorang telah meninggal dunia.
·         Mati hukmy adalah seorang yang secara yuridis melalui keputusan kahim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini biasa terjadi seperti dalam seorang yang telah dinyaatakan hilang (maqfud) tanpa dikatahui dimana dan bagaimana keadaanya. Malalui keputusan hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal. Sebagai keputusa hakim mempunyai kekuasaan hokum yang mengikat.
·         Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya. Dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal, maka dapat dikatakan bahwa ia telah meninggal dunia.
b)      Al-waris, atau waris. Ahli waris adalah orang yang dinyatakan bahwa mepunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba sahaya. Syatanya, ahli waris pada saat meninggal al-muwaris dalam keadaan hidup. Termasuk kedalam pengertian ini adalah bayi yang ada didalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, malalui gerakan atau cara lainnya, baginya berhak mendapat warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai paling sedikit dan paling sedikit usia lama kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. Masalah ini akan dibahas tersendiri.
Ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu bahwa diantara al-muwaris tidak ada halangan (mawani ‘al-irs) untuk mewarisi.
c)      al-maurus al-miras yaitu peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat. Persoalannya adalah bagaimana jika si mati meninggalkan utang yang besarnya melebihi nilai harta peninggalnnya. Apakah ahli warisannya bertanggung jawab melunasinya sebesar hak-hak warisnya secara proposinal.

5.      Halangan Menerima Warisan
Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dan harta peninggalan al-muwarris. Adapun hal-hal yang menghalangi tersebut yaitu sebagai berikut:
·         Pembunuhan (Pembunuh) : Orang yang membunuh ahli warisnya, tidak berhak menerima pusaka dari yang dibunuhnya. SabdaRasulullahSAW :
Dari ‘Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari datuknya berkata :Rasulullah SAW. bersabda : “Bagiseorangpembunuhtidakadawarisansesuatuapapun”. (H.R. Nasa’I Daruquthni dan dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barri).
·         Berlainan agama : Orang Islam tidak dapat pusaka dari orang yang tidak beragama Islam, demikian sebaliknya. Sabda Nabi SAW : “Dari Usamah bin Zaidra, bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Tidaklah orang Islam mewarisi orang kafir dan tidaklah orang kafir mewarisi orang Islam”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
·         Perbudakan: Orang yang jadi budak tidak mendapat pusaka dari orang yang mereka.
·         Berlainan Negara.

6.      Sebab-Sebab Menerima Warisan
Dalam hukum islam, sebab-sebab menerima warisan ada 3 yaitu:
a.      Hubungan kekerabatan (al-qarabah)
Dalam ketentuan hukum jahiliyah, kekerabatan yang menjadi sebab mewarisis adalah terbatas pada anak laki-laki yang telah dewasa. Islam datang memperbaharui dan merevisinya. Laki-laki dan perempuan, termasuk didalamnya ana-anak, bahkan bay yang masih dalam kandungan diberikan untuk mewarisi, sepanjang hubungan kekerabatannya membolehkan. Artinya, ada etentuan bahwa kerabat yang dekat hubungannya, dapat menghalangi kerabat yang jauh. Adakalanya menghalangi (meng-hijab) sama sekali, atau hanya sekedar mengurangi bagian si terhijab. Yang pertama, seharusnya ahli waris bisa menerima bagian karena ada hajib (ahli waris yang menghalangi) berakibat tertutup sama sekali hak warisnya. Yang kedua, seperti suami, sedianya menerima bagian ½, tetapi karena ada anak atau cucu, berkurang bagiannya menjadi ¼.
b.      Hubungan Perkawinan (al-musabarah)
Perkawina yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan istri. Yaitu perkawinan, yang sarat dan rukunnya terpenuhi, baik secara agama maupun administrative. Tentang syarat administrative ini masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menyebutnya sebagai syarat yang apabila tidak dienuh berakibat tidak sah perkawinannya. Hukum perkawinan di Indonesia, memeberi kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan administrasi, tetapi ketentuan agama.
Termasuk didaalam status perkawinan adalah istri-istri yang di cerai raj’I yaitu cerai yang mana suami lebih berhak merujuknya, yaitu cerai pertama dan kedua selama dalam masa tunggu (‘iddah).
c.       Hubungan karena Sebab Al-Wala’
Al-wala’ yaitu hubngan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir, agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yanglain melalui suatu perjanjian perwalian.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari harta peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya, jawabnya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu kberhasilan misi I. karena memang imbalan warisan kepada al-mut’iq dan al-mut’iqah salah satu tujuannnya adalah merangsang siapa saja mampu agar memerdekakan hamba sahaya.



7.      Ahli Waris dan Macam-Macamnya
Kata ahli waris yang secara bahasa berarrti keluarga, tidak otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan saudaranya yang meninggal dunia. Ada dua macam ahli waris yaitu:
·         Ahli waris Nasabiyah, karena hubungan darah.
·         Ahli waris sababiyah, timbul karena:
Ø  Perkawinan yang sah (al-musaharah)
Ø  Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena perjanjian tolong menolong.
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan kepada:
·         Ahli Waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya, seperti 1/2, 1/3 dan 1/6.
·         Ahli Waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud.
·         Ahli Waris zawi al-arbam, yaitu ahli waris karena hubungan darah, tetapi menurut ketentuan Al-Qur’an tidak berhak mendapat warisan.
Apabila dilihat dari hubungan kekerabatan (jauh-dekat) nya sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan dari pada yang jauh dapat dibedakan:
·         Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh, atau karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain.
·         Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.
Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima warisan, baik ahli waris nasabiyah atau sababiyah, ada 17 orang yang terdiri dri 10 orang lai-laki dan 7 orang perempuan. Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Agar lebih mudah dipahami, uraian selanjutnya digunakan jumlah ahli waris 25 orang.
a.      Ahli waris nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada muwarris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini terdiri dari 13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 21 orang.
Ahli waris laki-laki, berdasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut:
·         Anak laki-laki (al-ibn)
·         Cucu laki-laki garis laki-laki (ibn al-ibn) dan seterusnya kebawah.
·         Bapak (al-ab)
·         Kakek dari bapak (al-jadd min jihad al-ab)
·         Saudara laki-laki sekandung (al-akh al-syaqiq)
·         Saudara laki-laki seayah (al-akh li al-ab)
·         Saudara laki-laki seibu (al-akh li al-umm)
·         Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ibn al-akh al-syaqiq)
·         Anak laki-laki saudara laki-laki seayah (ibn al-akh li al-ab)
·         Paman, saudara bapak sekandung (al-‘amm al-syaqiq)
·         Paman seayah (al-‘amm li al-ab)
·         Anak laki-laki paman sekandung (ibn al-‘amm al-syaqiq)
·         Anak laki-laki paman seayah (abn al-‘amm li al-ab)
Adapun ahli waris perempuan semuanya 8 orang, yang rinciannya sebagai berikut:
·         Anak perempuan (al-bint)
·         Cucu perempuan garis laki-laki (bint al-ibn)
·         Ibu (al-‘umm)
·         Nenek garis bapak (al-jaddidah min jihad al-ab)
·         Nenek garis ibu (al-jaddidah min jihad al-‘umm)
·         Saudara perempuan sekandung (al-ukht al-syaqiqah)
·         Saudara perempuan saeayah (al-ukht li al-ab)
·         Saudara perempuan seibu (al-ukht li al-‘umm)
b.      Ahli waris sababiyah
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan pewarisannya timbul sebab-sebab tertentu yaitu:
·         Sebab perkawinan yaitu suami dan isteri
·         Sebab memerdekakan hamba sahaya
Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerim warisan apabila perkawinan suami dan isteribtersebut sah. Begitu juga dengan hubungan yang timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum yang berlaku.
           
8.      Ahli Waris Ashab Al-furud dan Hak-Haknya
Pada penjelasan dibawah ini tidak dapat di pisahkan lagi antara ahli waris nasabiyah dan sababiyah. Pertimbangan mereka sama-sama sebagai ashab al-furud.
Pada umunya ahli waris ashab al-furud adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki yang menerima bagian tertentu adalah bapak atau kakek, dan suami. Selain itu, menerima bagian sisa (‘asabah). Adapun hak-hak yang menerima ahli waris asbab al-furud adalah:
·         Anak perempuan, berhak menerima bagian:
Ø  ½ jika sendirian tidak bersama anak laki-laki
Ø  2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki
·         Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
Ø  ½ jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub (tehalang)
Ø  2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub.
Ø  1/6 sebagai pelengkap  2/3 jika bersama anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau lebih ia tidak mendapat bagian.
·         Ibu berhak menerima bagian:
Ø  1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau lebih
Ø  1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih
Ø  1/3 x sisa, dalam masalah garrawin yaitu apabila ahli waris terdiri dari: suami atau isteri serta ibu atau bapak.
·         Bapak berhak menerima bagian:
Ø  1/6 jika anak laki-laki atau cucu perempuan garis laki-laki
Jika bapak bersama ibu:
Ø  Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara  dua orang atau lebih.
Ø  1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
Ø  Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami dan isteri.
·         Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
Ø  1/6 jika seorang
Ø  1/6 di bagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya
·         Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
Ø  1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
Ø  1/6 + sisa, jika bersama anak atau  cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki.
Ø  1/6 atau musaqamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.
Ø  1/3 ztzu musaqamah muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain.
·         Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak mnerima bagian:
Ø  ½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung
Ø  2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
·         Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
Ø  ½ seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
Ø  2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
Ø  1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3
·         Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama, apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
Ø  1/6 jika seorang diri
Ø  2/3 dua orang atau lebih
Ø  Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu (musyarakah)
·         Suami, berhak menerima bagian:
Ø  ½ jika tidak mempunyai anak atau cucu
Ø  ¼ jika bersama dengan anak atau cucu
·         Isteri, berhak menerima bagian:
Ø  ¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu
Ø  1/8 jika bersama anak atau cucu

9.      Ahli Waris ‘Asabah dan Macam-Macamnya
            ‘Asabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud. Sebagai penerima bagian sisa, ahli waris ‘asabah, terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena habis diambil alih oleh ahli waris ashab al-furud.
Didalam pembagian sisa harta warisan, ahli aris yang terdekatlah yang lebih dulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian ini, maka ahli waris ‘asabah yang peringkat kekerabatannya berada dibawahnya tidak mendapatkan bagian. Dasar pembagian ini adalah perintah Rasulullah SAW yang artinya “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang berhak, kemudian sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama” (Mutafaq ‘alaih). Adapun macam-macam ahli waris ‘asabah ada tiga macam yaitu:
1)      Asabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukannya dirinya sendiri berhak menerima bagian asabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu:
·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari garis laki-laki
·         Bapak
·         Kakek (dari garis bapak)
·         Saudara laki-laki sekandung
·         Saudara laki-laki seayah
·         Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
·         Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
·         Paman sekandung
·         Paman seayah
2)      Asabah bil al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang telah meneriam bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (tidak menerima ‘asabah). Ahli waris asabah bil al-gair tersebut itu adalah:
·         Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
·         Cucu perempuan garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
·         Saudara permpuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki garis laki-laki
·         Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki seayah
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘asabah, ahli waris laki-laki menerima bagian dua kali perempuan. Dasarnya firman Allah SWT yang artinya:”Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan…”(Q.S. An-Nisa’:11).
3)      Asabah ma al-gair, ialah ahli waris yang meneriam bagian asabah karena bersama ahli waris lain yang bukan menerima bagian asabah. Apabila ahli waris lai tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu. Asabah ma al-gair ini diterima ahli waris:
·         Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih), atau bersama dengan anak perempuan (seorabg auat lebih). Misalnya seorang meniggal ahli warisnya tersendiri dari seorang anak perempuan, saudara perempuan sekandung dan ibu. Maka bagian:
Ø  Anak perempuan ½
Ø  Saudara perempuan sekandung ‘asabah
Ø  Ibu 1/6
·         Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih). Misalnya, seorang meniggal ahli warisnya terdiri dari: anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka bagian masing-masing adalah:
Ø  Anak perempuan ½
Ø  Cucu perempuan garis laki-laki 1/6
Ø  2 saudara perempuan ‘asabah




10.  Ahli Waris Zawu Al-arham
Dalam pengertian umum istilah zawu al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan si mati.
Didalam pembahsan fiqh mawaris, termasuk zawu al-arham di gunakan untuk menunjuk ahli waris yang tidak termasuk ke dalam ahli waris ashab al-furud dan asahab al-asabah. Oleh karena itu menurut ketentuan al-qur’an, mereka tidak berhak menerima warisan sepanjang ada ahli waris asahab al-furud dan asahab al-asabah ada.
Menurut penelitian imam ibn rusyd, ahli waris yang termasuk zawu al-arham adalah:
·         Cucu (laki-laki atau perempuan) dari garis perempuan.
·         Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki (bint al-akh).
·         Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan (bint al-ukh).
·         Anak perempuan dan cucu perempuan paman (bint al-amm).
·         Paman seibu (al-amm li al-ammah).
·         Anak dan cucu saudara laki-laki seibu (aulad al-akh li al-umm).
·         Saudara perempuan bapak (al-ammah).
·         Saudara-saudara ibu (al-khal dan al-khalah).
·         Kakek dari pihak ibu (al-jadd min jihad al-umm).
·         Nenek dari pihak kakek (al-jaddah min jihad al-jadd).
Para ulama berbeda pendapat apakah dapat meneriam warisan atau tidak. Jika tidak, kepada siapa harta di serahkan, sementara tidak ahli waris yang mewarisinya.
Imam malik, Syafi’I, Zaid bin sabit dan mayoritas ulama amsar berpendapat bahwa waris Zawu al-arham tidak dapat menerima warisan. Dari kalangan sahabat dan Tabi’in, yang berpendapat demikian adalah Ibn Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab, Sa’ad ibn Jubair, Sufyan al-Sauri, Al-auza’I dan di ikuti Ibn Hazm. Harta peninggalan si mati di serahkan ke bait al-mal.







11.  Metode Pembagian Harta Warisan
Di dalam praktik pelaksanaan pembagian harta warisan sering di jumpai kasus kelebihan atau kekurangan harta, apabila di selesaikan menurut ketentuan furud al-muqadarrah. Kelebihan harta terjadi apabila ahli warisnya sedikit dan tidak ada ahli waris yang penerima ‘asabah. Sementara kekurangan harta, karena banyaknya ahli waris yang menerima bagian. Hal ini tetentunya akan menimbulkan persoalan di dalam penyelesaiannya. Untuk itu di perlukan metode perhitungan yang tepat.
1)      Metode ushul al-masail dan cara penggunaanya
Langkah pertama sebelum menetapkan ushul al-masail atau dalam bentuk tunggal dan lebih mudah asal masalah adalah menyeleksi:
·         Siapa ahli waris yang termasuk zawi al-arham
·         Siapa ahli waris yang asahab al-furud
·         Siapa ahli waris penerima asabah
·         Siapa ahli waris yang mahjub
·         Menetapkan bagian-bagian tertentu yang diterima oleh masing-masing asahab al-furud
Untuk kepentingan tersebut, seorang perlu mengetahui secara persis secara menyeluruh , ahli waris, furud al-muqadarrah, asahab al-furud, bagian asabah, hijab-manjub dan syarat seorang dapat menerima.
Dalam menetapkan ashal masalah setelah di ketahui bagian masing-masing ahli waris, adalah mencari angka (kelipatan persekutuan) terkecil yang dapat di bagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris. Misalnya ahli waris ½ dan 1/3. Angka asal masalahnya 6. Angka ini dapat di bag 2 dan dapat di bagi 3.
Apabila bagian yang mereka terima ½, 2/3 dan 1/6 , maka angka masalnya 12. Angka 12 dapat di bagi 4, 3, dan 6, tanpa menimbulkan pecahan. Begitu pula bagian yang mereka terima 1/8 dan 2/3, maka angka yang asal masahnya 24. Karena angka 24 adalah angka terkecil yang dapat di bagi 8 dan 3.
Maksud pengambilan angka terkecil sebagai angka asal masalah sudah barabg tentu untuk memudahkan perhitungan. Sebab bisa juga di gunakan angka yang lebih besar, yang dapat di bagi oleh masing-masing penyebut tetapt cara seperti ini tidak efektif. Kemudahan lain dalam perumusan angka asal masalah adalah cepat mengetahui apakah akan terjadi kelebihan atau kekurangan harta (radd atau aul). Dengan demikian tidak tidak perlu harus bertele-tele menghitung harta warisan, sementara belum diketahui adanya kekurangan atau kelebihan.

2)      Metode tashih al-masail dan penggunaannya.
Tasih al-masail adalah mencari angka asal masalah yang terkecil agar dapat di hasilkan bagian yang di terima ahli waris tidak berupa angka pecahan. Metode tashih al-masail ini hanya di pergunakan apabila bagian yang diterima ahli waris berupa angka pecahan. Dan oleh karena itu, langkah ini hanya semata-mata untuk memudahkan perhitungan dalam pembagian warisan. Persoalanya adalah, bagaimana penggunaan mesin hitung (kalkulator) yang lebi cepat dancermat ? apakah metode ini perlu di gunakan ? jawabnya, tentu saja penguunaanya alat hitung sangat membantu. Yang terpnting dalam pembagian warisan adalah mementukan bagian-bagian tertentu yang diterima ole ahli waris. Untuk ini metode tashih al-masail akan dikemukakan secukupnya.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam tashih al-masail adalah memperhatikan:
·         Pecahan pada angka bagian yang di terima oleh ahli waris (yang terdapat dalam satu kelompok ahli waris).
·         Pecahan pada angka bagian yang di terima oleh ahli waris, terdapat pada lebih dari satu kelompok ahli waris.
Selanjutnya untuk mendapatkan angka tashih al-masailnya ditempuh:
·         Mengetahui jumlah peresen (kepala) penerima warisan dalam satu kelompok ahli waris.
·         Mengetahui bagian yang kelompok tersebut.
·         Mengalikan jumlah persen bagian yang di terima kelompoknya.



           




BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
·        Mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tungal miras yang artinya warisan.dalam hukum islam dikenal dengan adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak manarima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerima warisan.
·        Dalam hukum islam, sebab-sebab menerima warisan ada 3 yaitu:
Ø  Hubungan kekerabatan (al-qarabah)
Ø  Hubungan Perkawinan (al-musabarah)
Ø  Hubungan karena Sebab Al-Wala’
·         Adapun hal-hal yang menghalangi seseorang tidak memeperoleh warisan yaitu sebagai berikut:
Ø  Pembunuhan (Pembunuh)
Ø  Berlainan agama
Ø  Perbudakan
Ø  Berlainan Negara.
·         Metode pembagian harta warisan ada 2 macam yaitu:
Ø  Metode Ushul al-Masail dan cara penggunaannya
Ø  Metode Tashih al-Masail dan penggunaannya



B.   Saran
Berdasarkan uraian di atas dapatlah diketahui bahwa perkembangan pemikiran ummat islam (juga realisasinya) amat beragam. Namun hal ini bukanlah alasan untuk tidak dapat menyelesaikan permasalahan mengenai harta warisan yang amat rumit dan penuh perhitungan.
Semoga apa yang telah dituliskan dalam makalah ini dapat membantu para pembaca yang budiman untuk dapat memahami dan dapat menerapkannya jika memang diperlukan. Kiranya hanya itu saja yang dapat penulis sajikan, penulis mengucapkan terima kasih.

2 comments:

Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...