BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu masalah
pokok yang banyak dibicarakan oleh Al-Qur’an adalah kewarisan. Kewarisan pada
dasarnya merupakan bagian nyang tidak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum
adalah bagian dari aspek ajaran islam yang pokok.
Syariat islam telah meletakkan
aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang
memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem
dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini
disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan
peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu
peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang
sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban
seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan
ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud
atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Dalam hal ini, bentuk
dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangaterat kaitannya dengan bentuk
masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hokum merupakan salah satu aspek
kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah
barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beranekaragam sistem hukum
terutama hukum kewarisan.
Hukum
Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan
(Al-ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam
pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat
dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan
Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan
dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan
disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan
demikian seseorang dapat terhindar dari
dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak
ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan.
System waris merupakan salah satu
sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta
benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan setelah yang bersangkutan
wafat, kepada para penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan
pada hukum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini, tentunya setelah memenuhi
hak-hak yang terkait dengan harta peninggalan si mayit.
Dengan demikian persoalan warisan
menurut syariat islam didasarkan atas “kekerabatan”, sesuai keterangan yang
telah terperinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, serta pembagian yang
telah ditetapkan oleh hukum islam. Golongan yang masuk dalam kategori bisa
menerima warisan adalah kaum perempuan dan anak kecil. Dengan demikian, islam
telah menghapus tradisi atau system waris orang-orang Arab Jahiliyah yang
mengharamkan penerimaan warisan kepada kaum perempuan dan anak. Disamping
Karena kekerabatan, islam juga menetapkan “perkawinan” sebagai salah satu sebab
terjadinya pewarisan, dengan demikian suami-istri dapat saling mewarisi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja Sebab-sebab kewarisan dan
sebab terhalangnya?
2. Siapa saja ahli waris dari golongan
laki-laki dan perempuan?
3. Siapa yang disebut ashabul furud dan
berapakah bagian yang diperolehnya?
4. Apa saja metode yang digunakan dalam
pembagian harta warisan?
C.
Tujuan Masalah
1. Dapat memahami dan menjelaskan
sebab-sebab kewarisan dan sebab terhalangnya.
2. Dapat menyebutkan golongan
orang-orang yang memperoleh warisan.
3. Dapat menjelaskan mengenai ashabul
furud dan berapa bagian yang diperoleh dari ashabul furud.
4. Dapat mendeskripsikan metode-metode
apa saja yang digunakan dalam pembagian harta warisan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Mawaris
Mawaris secara
etimologis adalah bentuk jamak dari kata tungal miras yang artinya warisan. Dalam hukum islam dikenal dengan adanya
ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak manarima
warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerima warisan. Istilah fiqih
mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang memepelajari siapa-siapa ahli waris yang
berhak menerima warisan, dan barang siapa yang tidak berhak menerima, serta
bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqih mawaris disebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal
faraid artinya ketentuan-ketentuan bagi ahli waris yang diatur secara rinci
didalam Al-Qur’an.
Secara terminologis,
fqih mawaris adalah fiqih atau ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang
yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan
bagaimana cara menghitungnya. Al-Syarbini dalam kitab Mugni al-Muhtaj jus 3
mengatakan bahwa fiqh mawaris adalah “fiqh yang berkaitan dengan pembagian
harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui pembagian
harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan
untuk setiap ang berhak’. Dari pada itu Prof.Hasby al-Shiddieqy mendefinisikan
fiqig mawaris sebagai “ilmu yang mempelajari tenang orang-orang yang mewarisi dan
tidak mewarisi, kadar yang diterima setiap ahli waris dan cara-cara
pembagianya”.
Dalam kontes yang
lebih umum warisab berarrti perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam buku Hukum
Warisan di Indonesia mendefinisikan, warisan adalah “soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
2.
Beberapa Istilah
Dalam Mawaris
·
Waris adalah
orang yang termasukahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang
dekat hubungan kekerabatannya tetapi tidak berhak menerima warisan. Dalam fiqh mawaris, ahli waris yang semacam
ini disebut zawi al-arham. Waris bisa timbul karena hubungan darah, karena
hubungan perkawinan, dank arena akibat memerdekakan hamba.
·
Mawaris, artinga
orang yang diwarisi harta peninggalan, yaitu orang yang meninggal dunia, baik
meninggal secara hakiki, secara, secara taqdiry(perkiraan), atau memiliki keputusan
hakim. Seperti orang yang hilang (al-maqfud) dan tidak diketahui kabar berita
dan domisilinya. Setelah melalui persaksiaan atau tenggang waktu tertentu hakim
memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia.
·
Al-irs, artinya
harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk
kepentingan pemeliharaan jenajah (tajhiz al-janajah), pelumasan hutang, serta
pelaksaan wasiat.
·
Warasah, yaitu
harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan harta
pusaka yang dibeberapa daerah tertentu tidak dibagi, karena menjadi milik
kolektif semua ahli waris.
·
Tirkah, yaitu
semua harta peninggalan orang yang meninggal duia sebelum diambil untuk
kepentingan pemeliharaan jenajah, pembayaran utang, dan pelaksaan wasiat.
3.
Hukum
Mempelajari Dan Mengerjakannya
Islam mengatur
ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara
sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Agama islam
menghendaki prinsip adil dan keadilan adalah salah satu sendi pembinaan
masyarakat dapat ditegakkan. Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan baik dan
efektif tanpa ditunjang oleh tenaga-tenaga ahli yang memahami dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan dengan baik.
Para ulam berpendapat
bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah. Artinya
kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang memenuhinya, dapat
menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seoarang yang
menjalani kewajiban itu, maka semua orang menanggung dosa.
Oleh karena itu,
dilihat dari satu sisi, mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dapat berubah
statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi orang-orang yang oleh masyarakat
dipandang sebagai pemimpin, terutama pemimpin keagamaan.
4.
Syarat
dan Pembagian Mawaris
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan. Sebagaian
mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri. Rukun pembagian warisan ada 3,
yaitu:
a) Al-mawaris,
yaitu orang yang diwarisi harta peninggalan atau orng yang mewarisi meninggal secara hakiki, secara yuridis
(hukumy) atau secara taqdiry berdasarkan perkiraan.
·
Mati hakiki
artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seorang
telah meninggal dunia.
·
Mati hukmy
adalah seorang yang secara yuridis melalui keputusan kahim dinyatakan telah
meninggal dunia. Ini biasa terjadi seperti dalam seorang yang telah dinyaatakan
hilang (maqfud) tanpa dikatahui dimana dan bagaimana keadaanya. Malalui
keputusan hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal.
Sebagai keputusa hakim mempunyai kekuasaan hokum yang mengikat.
·
Mati taqdiry
yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya karena ia ikut
ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya.
Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya. Dan melahirkan dugaan
kuat bahwa ia telah meninggal, maka dapat dikatakan bahwa ia telah meninggal
dunia.
b) Al-waris,
atau waris. Ahli waris adalah orang yang dinyatakan bahwa mepunyai hubungan
kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan, atau akibat
memerdekakan hamba sahaya. Syatanya, ahli waris pada saat meninggal al-muwaris
dalam keadaan hidup. Termasuk kedalam pengertian ini adalah bayi yang ada
didalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat
dipastikan hidup, malalui gerakan atau cara lainnya, baginya berhak mendapat
warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai paling sedikit
dan paling sedikit usia lama kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada
siapa janin tersebut akan dinasabkan. Masalah ini akan dibahas tersendiri.
Ada
syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu bahwa diantara al-muwaris tidak ada
halangan (mawani ‘al-irs) untuk mewarisi.
c) al-maurus
al-miras yaitu peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah,
pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat. Persoalannya adalah bagaimana jika si
mati meninggalkan utang yang besarnya melebihi nilai harta peninggalnnya.
Apakah ahli warisannya bertanggung jawab melunasinya sebesar hak-hak warisnya
secara proposinal.
5.
Halangan
Menerima Warisan
Halangan
untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang
menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dan harta
peninggalan al-muwarris. Adapun hal-hal yang menghalangi tersebut yaitu sebagai
berikut:
·
Pembunuhan
(Pembunuh) : Orang yang membunuh ahli warisnya, tidak berhak menerima pusaka dari
yang dibunuhnya. SabdaRasulullahSAW :
Dari
‘Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari datuknya berkata :Rasulullah SAW. bersabda
: “Bagiseorangpembunuhtidakadawarisansesuatuapapun”. (H.R. Nasa’I Daruquthni dan
dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barri).
·
Berlainan agama
: Orang Islam tidak dapat pusaka dari orang yang tidak beragama Islam, demikian
sebaliknya. Sabda Nabi SAW : “Dari Usamah bin Zaidra, bahwasanya Nabi SAW bersabda
: “Tidaklah orang Islam mewarisi orang kafir dan tidaklah orang kafir mewarisi
orang Islam”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
·
Perbudakan:
Orang yang jadi budak tidak mendapat pusaka dari orang yang mereka.
·
Berlainan Negara.
6.
Sebab-Sebab
Menerima Warisan
Dalam
hukum islam, sebab-sebab menerima warisan ada 3 yaitu:
a.
Hubungan
kekerabatan (al-qarabah)
Dalam
ketentuan hukum jahiliyah, kekerabatan yang menjadi sebab mewarisis adalah
terbatas pada anak laki-laki yang telah dewasa. Islam datang memperbaharui dan
merevisinya. Laki-laki dan perempuan, termasuk didalamnya ana-anak, bahkan bay
yang masih dalam kandungan diberikan untuk mewarisi, sepanjang hubungan
kekerabatannya membolehkan. Artinya, ada etentuan bahwa kerabat yang dekat
hubungannya, dapat menghalangi kerabat yang jauh. Adakalanya menghalangi (meng-hijab) sama sekali, atau hanya sekedar
mengurangi bagian si terhijab. Yang pertama, seharusnya ahli waris bisa
menerima bagian karena ada hajib (ahli
waris yang menghalangi) berakibat tertutup sama sekali hak warisnya. Yang
kedua, seperti suami, sedianya menerima bagian ½, tetapi karena ada anak atau cucu,
berkurang bagiannya menjadi ¼.
b.
Hubungan
Perkawinan (al-musabarah)
Perkawina
yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan
istri. Yaitu perkawinan, yang sarat dan rukunnya terpenuhi, baik secara agama
maupun administrative. Tentang syarat administrative ini masih terdapat
perbedaan pendapat. Ada yang menyebutnya sebagai syarat yang apabila tidak
dienuh berakibat tidak sah perkawinannya. Hukum perkawinan di Indonesia,
memeberi kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya
perkawinan bukan administrasi, tetapi ketentuan agama.
Termasuk
didaalam status perkawinan adalah istri-istri yang di cerai raj’I yaitu cerai
yang mana suami lebih berhak merujuknya, yaitu cerai pertama dan kedua selama
dalam masa tunggu (‘iddah).
c.
Hubungan
karena Sebab Al-Wala’
Al-wala’
yaitu hubngan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau
melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir, agaknya jarang
dilakukan jika malah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala’ yang timbul akibat
kesediaan seseorang tolong menolong dengan yanglain melalui suatu perjanjian
perwalian.
Adapun
bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari harta peninggalan.
Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya, jawabnya
adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu kberhasilan misi I.
karena memang imbalan warisan kepada al-mut’iq
dan al-mut’iqah salah satu tujuannnya
adalah merangsang siapa saja mampu agar memerdekakan hamba sahaya.
7.
Ahli
Waris dan Macam-Macamnya
Kata
ahli waris yang secara bahasa berarrti keluarga, tidak otomatis ia dapat
mewarisi harta peninggalan saudaranya yang meninggal dunia. Ada dua macam ahli
waris yaitu:
·
Ahli waris
Nasabiyah, karena hubungan darah.
·
Ahli waris
sababiyah, timbul karena:
Ø Perkawinan
yang sah (al-musaharah)
Ø Memerdekakan
hamba sahaya (al-wala’) atau karena perjanjian tolong menolong.
Apabila
dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan kepada:
·
Ahli Waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang
menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya, seperti 1/2, 1/3 dan 1/6.
·
Ahli Waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang menerima
bagian sisa setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud.
·
Ahli Waris zawi al-arbam, yaitu ahli waris karena
hubungan darah, tetapi menurut ketentuan Al-Qur’an tidak berhak mendapat
warisan.
Apabila
dilihat dari hubungan kekerabatan (jauh-dekat) nya sehingga yang dekat lebih
berhak menerima warisan dari pada yang jauh dapat dibedakan:
·
Ahli waris
hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh, atau
karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain.
·
Ahli waris
mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan
kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya
tidak ada.
Jumlah
keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima warisan, baik ahli
waris nasabiyah atau sababiyah, ada 17 orang yang terdiri dri 10 orang lai-laki
dan 7 orang perempuan. Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang, 15 orang
laki-laki dan 10 orang perempuan. Agar lebih mudah dipahami, uraian selanjutnya
digunakan jumlah ahli waris 25 orang.
a.
Ahli
waris nasabiyah
Ahli waris nasabiyah
adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada muwarris berdasarkan
hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini terdiri dari 13 orang laki-laki dan 8
orang perempuan, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 21 orang.
Ahli waris laki-laki,
berdasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut:
·
Anak laki-laki (al-ibn)
·
Cucu laki-laki
garis laki-laki (ibn al-ibn) dan
seterusnya kebawah.
·
Bapak (al-ab)
·
Kakek dari bapak
(al-jadd min jihad al-ab)
·
Saudara
laki-laki sekandung (al-akh al-syaqiq)
·
Saudara
laki-laki seayah (al-akh li al-ab)
·
Saudara
laki-laki seibu (al-akh li al-umm)
·
Anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung (ibn al-akh
al-syaqiq)
·
Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah (ibn al-akh li
al-ab)
·
Paman, saudara
bapak sekandung (al-‘amm al-syaqiq)
·
Paman seayah (al-‘amm li al-ab)
·
Anak laki-laki
paman sekandung (ibn al-‘amm al-syaqiq)
·
Anak laki-laki
paman seayah (abn al-‘amm li al-ab)
Adapun
ahli waris perempuan semuanya 8 orang, yang rinciannya sebagai berikut:
·
Anak perempuan (al-bint)
·
Cucu perempuan
garis laki-laki (bint al-ibn)
·
Ibu (al-‘umm)
·
Nenek garis
bapak (al-jaddidah min jihad al-ab)
·
Nenek garis ibu
(al-jaddidah min jihad al-‘umm)
·
Saudara
perempuan sekandung (al-ukht al-syaqiqah)
·
Saudara
perempuan saeayah (al-ukht li al-ab)
·
Saudara
perempuan seibu (al-ukht li al-‘umm)
b.
Ahli
waris sababiyah
Ahli
waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan pewarisannya timbul sebab-sebab
tertentu yaitu:
·
Sebab perkawinan
yaitu suami dan isteri
·
Sebab
memerdekakan hamba sahaya
Sebagai
ahli waris sababiyah, mereka dapat menerim warisan apabila perkawinan suami dan
isteribtersebut sah. Begitu juga dengan hubungan yang timbul sebab memerdekakan
hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum yang berlaku.
8.
Ahli
Waris Ashab Al-furud dan Hak-Haknya
Pada
penjelasan dibawah ini tidak dapat di pisahkan lagi antara ahli waris nasabiyah
dan sababiyah. Pertimbangan mereka sama-sama sebagai ashab al-furud.
Pada
umunya ahli waris ashab al-furud adalah perempuan, sementara ahli waris
laki-laki yang menerima bagian tertentu adalah bapak atau kakek, dan suami. Selain
itu, menerima bagian sisa (‘asabah). Adapun
hak-hak yang menerima ahli waris asbab
al-furud adalah:
·
Anak perempuan,
berhak menerima bagian:
Ø ½
jika sendirian tidak bersama anak laki-laki
Ø 2/3
jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki
·
Cucu perempuan
garis laki-laki, berhak menerima bagian:
Ø ½
jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub (tehalang)
Ø 2/3
jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub.
Ø 1/6
sebagai pelengkap 2/3 jika bersama anak
perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua
orang atau lebih ia tidak mendapat bagian.
·
Ibu berhak
menerima bagian:
Ø 1/3
jika tidak ada anak atau cucu (far’u
waris) atau saudara dua orang atau lebih
Ø 1/6
jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih
Ø 1/3
x sisa, dalam masalah garrawin yaitu apabila ahli waris terdiri dari: suami
atau isteri serta ibu atau bapak.
·
Bapak berhak
menerima bagian:
Ø 1/6
jika anak laki-laki atau cucu perempuan garis laki-laki
Jika bapak bersama ibu:
Ø Masing-masing
1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua
orang atau lebih.
Ø 1/3
untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua
orang atau lebih.
Ø Ibu
menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami dan isteri.
·
Nenek, jika tidak
mahjub berhak menerima bagian:
Ø 1/6
jika seorang
Ø 1/6
di bagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya
·
Kakek, jika
tidak mahjub, berhak menerima bagian:
Ø 1/6
jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
Ø 1/6
+ sisa, jika bersama anak atau cucu
perempuan tanpa ada anak laki-laki.
Ø 1/6
atau musaqamah (bagi rata) dengan
saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.
Ø 1/3
ztzu musaqamah muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada
ahli waris lain.
·
Saudara
perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak mnerima bagian:
Ø ½
jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung
Ø 2/3
dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
·
Saudara
perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
Ø ½
seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
Ø 2/3
dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
Ø 1/6
jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3
·
Saudara seibu,
baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama, apabila tidak mahjub,
saudara seibu berhak menerima bagian:
Ø 1/6
jika seorang diri
Ø 2/3
dua orang atau lebih
Ø Bergabung
menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris
suami dan ibu (musyarakah)
·
Suami, berhak
menerima bagian:
Ø ½
jika tidak mempunyai anak atau cucu
Ø ¼
jika bersama dengan anak atau cucu
·
Isteri, berhak
menerima bagian:
Ø ¼
jika tidak mempunyai anak atau cucu
Ø 1/8
jika bersama anak atau cucu
9.
Ahli
Waris ‘Asabah dan Macam-Macamnya
‘Asabah
adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud. Sebagai
penerima bagian sisa, ahli waris ‘asabah, terkadang menerima bagian banyak
(seluruh harta warisan), terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak
menerima bagian sama sekali, karena habis diambil alih oleh ahli waris ashab
al-furud.
Didalam
pembagian sisa harta warisan, ahli aris yang terdekatlah yang lebih dulu
menerimanya. Konsekuensi cara pembagian ini, maka ahli waris ‘asabah yang
peringkat kekerabatannya berada dibawahnya tidak mendapatkan bagian. Dasar
pembagian ini adalah perintah Rasulullah SAW yang artinya “Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang berhak, kemudian sisanya untuk
ahli waris laki-laki yang utama” (Mutafaq ‘alaih). Adapun macam-macam ahli
waris ‘asabah ada tiga macam yaitu:
1) Asabah
bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukannya dirinya sendiri berhak
menerima bagian asabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali
mu’tiqah (perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu:
·
Anak laki-laki
·
Cucu laki-laki
dari garis laki-laki
·
Bapak
·
Kakek (dari
garis bapak)
·
Saudara
laki-laki sekandung
·
Saudara
laki-laki seayah
·
Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah
·
Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah
·
Paman sekandung
·
Paman seayah
2) Asabah
bil al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama
dengan ahli waris lain yang telah meneriam bagian sisa. Apabila ahli waris
penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (tidak menerima
‘asabah). Ahli waris asabah bil al-gair tersebut itu adalah:
·
Anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki
·
Cucu perempuan
garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
·
Saudara permpuan
sekandung bersama dengan saudara laki-laki garis laki-laki
·
Saudara perempuan
sekandung bersama dengan saudara laki-laki seayah
Ketentuan
yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘asabah, ahli waris
laki-laki menerima bagian dua kali perempuan. Dasarnya firman Allah SWT yang
artinya:”Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak
laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan…”(Q.S. An-Nisa’:11).
3) Asabah
ma al-gair, ialah ahli waris yang meneriam bagian asabah karena bersama ahli
waris lain yang bukan menerima bagian asabah. Apabila ahli waris lai tidak ada,
maka ia menerima bagian tertentu. Asabah ma al-gair ini diterima ahli waris:
·
Saudara
perempuan sekandung (seorang atau lebih), atau bersama dengan anak perempuan
(seorabg auat lebih). Misalnya seorang meniggal ahli warisnya tersendiri dari seorang
anak perempuan, saudara perempuan sekandung dan ibu. Maka bagian:
Ø Anak
perempuan ½
Ø Saudara
perempuan sekandung ‘asabah
Ø Ibu
1/6
·
Saudara
perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan
(seorang atau lebih). Misalnya, seorang meniggal ahli warisnya terdiri dari:
anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara
perempuan seayah. Maka bagian masing-masing adalah:
Ø Anak
perempuan ½
Ø Cucu
perempuan garis laki-laki 1/6
Ø 2
saudara perempuan ‘asabah
10. Ahli Waris Zawu
Al-arham
Dalam
pengertian umum istilah zawu al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang
mempunyai hubungan darah dengan si mati.
Didalam
pembahsan fiqh mawaris, termasuk zawu al-arham di gunakan untuk menunjuk ahli
waris yang tidak termasuk ke dalam ahli waris ashab al-furud dan asahab
al-asabah. Oleh karena itu menurut ketentuan al-qur’an, mereka tidak berhak
menerima warisan sepanjang ada ahli waris asahab al-furud dan asahab al-asabah
ada.
Menurut
penelitian imam ibn rusyd, ahli waris yang termasuk zawu al-arham adalah:
·
Cucu (laki-laki
atau perempuan) dari garis perempuan.
·
Anak perempuan
dan cucu perempuan saudara laki-laki (bint
al-akh).
·
Anak perempuan
dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan (bint al-ukh).
·
Anak perempuan
dan cucu perempuan paman (bint al-amm).
·
Paman seibu (al-amm li al-ammah).
·
Anak dan cucu
saudara laki-laki seibu (aulad al-akh li
al-umm).
·
Saudara
perempuan bapak (al-ammah).
·
Saudara-saudara
ibu (al-khal dan al-khalah).
·
Kakek dari pihak
ibu (al-jadd min jihad al-umm).
·
Nenek dari pihak
kakek (al-jaddah min jihad al-jadd).
Para
ulama berbeda pendapat apakah dapat meneriam warisan atau tidak. Jika tidak,
kepada siapa harta di serahkan, sementara tidak ahli waris yang mewarisinya.
Imam
malik, Syafi’I, Zaid bin sabit dan mayoritas ulama amsar berpendapat bahwa
waris Zawu al-arham tidak dapat menerima warisan. Dari kalangan sahabat dan
Tabi’in, yang berpendapat demikian adalah Ibn Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab,
Sa’ad ibn Jubair, Sufyan al-Sauri, Al-auza’I dan di ikuti Ibn Hazm. Harta
peninggalan si mati di serahkan ke bait al-mal.
11. Metode Pembagian
Harta Warisan
Di
dalam praktik pelaksanaan pembagian harta warisan sering di jumpai kasus
kelebihan atau kekurangan harta, apabila di selesaikan menurut ketentuan furud al-muqadarrah.
Kelebihan harta terjadi apabila ahli warisnya sedikit dan tidak ada ahli waris
yang penerima ‘asabah. Sementara kekurangan harta, karena banyaknya ahli waris
yang menerima bagian. Hal ini tetentunya akan menimbulkan persoalan di dalam
penyelesaiannya. Untuk itu di perlukan metode perhitungan yang tepat.
1)
Metode
ushul al-masail dan cara penggunaanya
Langkah
pertama sebelum menetapkan ushul al-masail atau dalam bentuk tunggal dan lebih
mudah asal masalah adalah menyeleksi:
·
Siapa ahli waris
yang termasuk zawi al-arham
·
Siapa ahli waris
yang asahab al-furud
·
Siapa ahli waris
penerima asabah
·
Siapa ahli waris
yang mahjub
·
Menetapkan
bagian-bagian tertentu yang diterima oleh masing-masing asahab al-furud
Untuk
kepentingan tersebut, seorang perlu mengetahui secara persis secara menyeluruh
, ahli waris, furud al-muqadarrah, asahab al-furud, bagian asabah, hijab-manjub
dan syarat seorang dapat menerima.
Dalam
menetapkan ashal masalah setelah di ketahui bagian masing-masing ahli waris,
adalah mencari angka (kelipatan persekutuan) terkecil yang dapat di bagi oleh
masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris. Misalnya ahli waris ½ dan
1/3. Angka asal masalahnya 6. Angka ini dapat di bag 2 dan dapat di bagi 3.
Apabila
bagian yang mereka terima ½, 2/3 dan 1/6 , maka angka masalnya 12. Angka 12
dapat di bagi 4, 3, dan 6, tanpa menimbulkan pecahan. Begitu pula bagian yang
mereka terima 1/8 dan 2/3, maka angka yang asal masahnya 24. Karena angka 24
adalah angka terkecil yang dapat di bagi 8 dan 3.
Maksud
pengambilan angka terkecil sebagai angka asal masalah sudah barabg tentu untuk
memudahkan perhitungan. Sebab bisa juga di gunakan angka yang lebih besar, yang
dapat di bagi oleh masing-masing penyebut tetapt cara seperti ini tidak
efektif. Kemudahan lain dalam perumusan angka asal masalah adalah cepat
mengetahui apakah akan terjadi kelebihan atau kekurangan harta (radd atau aul).
Dengan demikian tidak tidak perlu harus bertele-tele menghitung harta warisan,
sementara belum diketahui adanya kekurangan atau kelebihan.
2)
Metode
tashih al-masail dan penggunaannya.
Tasih
al-masail adalah mencari angka asal masalah yang terkecil agar dapat di
hasilkan bagian yang di terima ahli waris tidak berupa angka pecahan. Metode
tashih al-masail ini hanya di pergunakan apabila bagian yang diterima ahli
waris berupa angka pecahan. Dan oleh karena itu, langkah ini hanya semata-mata
untuk memudahkan perhitungan dalam pembagian warisan. Persoalanya adalah,
bagaimana penggunaan mesin hitung (kalkulator) yang lebi cepat dancermat ?
apakah metode ini perlu di gunakan ? jawabnya, tentu saja penguunaanya alat
hitung sangat membantu. Yang terpnting dalam pembagian warisan adalah
mementukan bagian-bagian tertentu yang diterima ole ahli waris. Untuk ini
metode tashih al-masail akan dikemukakan secukupnya.
Langkah-langkah
yang perlu diambil dalam tashih al-masail adalah memperhatikan:
·
Pecahan pada
angka bagian yang di terima oleh ahli waris (yang terdapat dalam satu kelompok
ahli waris).
·
Pecahan pada
angka bagian yang di terima oleh ahli waris, terdapat pada lebih dari satu
kelompok ahli waris.
Selanjutnya
untuk mendapatkan angka tashih al-masailnya ditempuh:
·
Mengetahui
jumlah peresen (kepala) penerima warisan dalam satu kelompok ahli waris.
·
Mengetahui
bagian yang kelompok tersebut.
·
Mengalikan
jumlah persen bagian yang di terima kelompoknya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Mawaris secara etimologis adalah bentuk
jamak dari kata tungal miras yang
artinya warisan.dalam hukum islam dikenal dengan adanya ketentuan-ketentuan
tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak manarima warisan, dan ahli
waris yang tidak berhak menerima warisan.
·
Dalam hukum
islam, sebab-sebab menerima warisan ada 3 yaitu:
Ø Hubungan
kekerabatan (al-qarabah)
Ø Hubungan
Perkawinan (al-musabarah)
Ø Hubungan
karena Sebab Al-Wala’
·
Adapun hal-hal
yang menghalangi seseorang tidak memeperoleh warisan yaitu sebagai berikut:
Ø Pembunuhan
(Pembunuh)
Ø Berlainan
agama
Ø Perbudakan
Ø Berlainan
Negara.
·
Metode pembagian
harta warisan ada 2 macam yaitu:
Ø Metode
Ushul al-Masail dan cara penggunaannya
Ø Metode
Tashih al-Masail dan penggunaannya
B.
Saran
Berdasarkan
uraian di atas dapatlah diketahui bahwa perkembangan pemikiran ummat islam
(juga realisasinya) amat beragam. Namun hal ini bukanlah alasan untuk tidak
dapat menyelesaikan permasalahan mengenai harta warisan yang amat rumit dan
penuh perhitungan.
Semoga
apa yang telah dituliskan dalam makalah ini dapat membantu para pembaca yang
budiman untuk dapat memahami dan dapat menerapkannya jika memang diperlukan.
Kiranya hanya itu saja yang dapat penulis sajikan, penulis mengucapkan terima
kasih.
maksih ya sob, lumayan buat nambah-nambah ilmu. pokoknya tanks you bro
ReplyDeleteSama-sama bro
Delete