“Boleh jadi engkau akan membunuh dirimu karena
duka-cita, karena mereka tak mau beriman” (Q.S. 26:3).
Buddha, sebagaimana telah kami ceriterakan, adalah putera
seorang Raja. Sketsa hidupnya secara singkat berisi tujuh perkara: Pada masa mudanya
suatu kali dia melihat seorang tua, seorang sakit dan seorang mati. Melihat
tiga bencana dalam kehidupan manusia ini, dia sangat sedih sehingga memutuskan
untuk mencari tahu penyebab dari kesedihan ini serta cara untuk menghindarinya.
Karena itu dia mengasingkan diri untuk menyelamatkan manusia dari kekacauan
yang menakutkan ini.
Lalu dia membuang pakaian kerajaannya, berpisah dari isteri
dan puteranya, meninggalkan istana dan menjalani hidup kependetaan, menarik
diri dari segala keinginan duniawi. Dia mengabdikan dirinya sematamata untuk
menemukan penyebab dari kesakitan dan kesusahan yang meraja-lela di antara umat
manusia. Dia mengunjungi banyak Resi dan muni (para wali dalam agama Hindu) dan
mengadakan diskusi bersama mereka selama enam tahun.
Tidak puas dengan mereka lalu dirinya sendiri menjalankan
banyak praktik yang keras dalam Hindu Yogi tanpa ahasil. Tetapi simpatinya
kepada penderitaan umat manusia serta hasratnya yang kuat untuk menyelamatkan
kemanusiaan telah menarik turun kepemurah dan pengasih-Nya Tuhan, dan akhirnya
di bawah pohon Bo dia menerima rahmat Ilahi dan cahaya yang menjadikannya
memperoleh gelar “Cahaya Asia” (Ashvghosha, Kion I verg 3).
Mereka yang mempelajari kehidupan Nabi Suci kita akan
mengetahui betapa beliau sangat terkejut melihat orang-orang yang terbenam
dalam kebobrokan moral serta upacara mesum. Beliau demikian gelisah memikirkan
mereka dan seringkali bangun pada waktu malam serta hatinya membubung tinggi;
dia sering meninggalkan rumahnya dan pergi ke gua di Bukit Hira. Kesunyianlah
sesungguhnya yang menjadi hasrat dalam dirinya. Di sini dalam gua ini dia
sering tinggal semalam suntuk, merenungkan nasib murung dari umatnya, berdoa
dan menangis di hadapan Tuhan Yang Maha-kuasa untuk menciptakan bangsa yang
beradab kelaur dari kaum yang liar itu. Seorang sufi zaman ini telah
mnggambarkannya dengan kata-kata berikut ini:
“Saya
tak tahu betapa besar kegelisahan, kesedihan dan kedukaan yang meliputi
fikirannya, dan yang menariknya ke gua yang sunyi itu dengan prihatin dan susah
hati. Tiada ketakutan sedikitpun terhadap kegelapan dalam fikirannya ataupun
kegentaran terhadap kesunyian, tidak takut mati, tidak khawatir terhadap reptil
berbisa. Dia menangis penuh kesakitan demi perbaikan umatnya. Bermohon kepada
Tuhan siang dan malam telah menjadi hasratnya. Karena itu mengingat
kerendah-hatiannya, doa dan kesungguhan permohonannya, maka Tuhan Yang
Maha-pengasih telah menganugerahkan kepadanya rahmat bagi dunia yang gelap
mencekam”.
Di gua ini kata-kata Tuhan yang diucapkan kepadanya akhirnya
menjadi kekuatan yang memberi kehidupan kepada dunia. Karena itu Bukit Hira
disebut Bukit Cahaya (Jabal an-Nur).. Demikianlah Nabi Suci dipanggil untuk
mengemban tugas berat ini, yakni reformasi dari seluruh umat manusia; dan
sesuai dengan nubuat dari Sakyamuni Gautama, Muhammad adalah Maitreya
Buddha yang dihormati oleh sekitarnya.
ANEKDOT KEDUA
Buddha meskipun seorang pangeran, meninggalkan kerajaannya
dan menjalani kehidupan seorang pertapa. Muhammad bukanlah seorang pangeran
atau raja, tetapi kaum Quraish mencoba memenangkan hatinya dengan godaan dan
mendatanginya secara langsung:
“Jika ambisimu untuk memiliki kekayaan maka kami akan
timbunkan kekayaan seberapapun kamu ingini; jika kamu menghendaki kehormatan,
kami akan bersiap untuk berikrar mengakui kamu sebagai
raja dan tuan kami; jika engkau senang kepada kecantikan, kami akan menyerahkan
ke tanganmu gadis-gadis yang tercantik sesuai pilihanmu”.
Tetapi beliau menjawab:
“Saya tidak menginginkan kekayaan ataupun kekuasaan politik.
Saya telah ditunjuk Tuhan sebagai juru-ingat kepada umat manusia, serta
menyampaikan risalah Nya kepadamu. Bila kalian menerimanya, maka engkau akan
mendapatkan kebahagiaan besar dalam kehidupan ini maupun di akhirat nanti; bila
kalian menolak firman Tuhan, sesungguhnya Tuhan akan memutuskan antara aku
dengan kalian”.
Beliau diancam dengan pembunuhan, dan bahkan Abu Talib,
pamannya dan pendukung tunggalnya, menyatakan kepadanya bahwa dia tak sanggup
lagi menghadapi persatuan perlawanan dari Quraish. Namun nabi bergeming;
katanya:
“Wahai paman, meskipun mereka menaruh matahari di tangan
kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku
membatalkan dakwahku ini; aku takkan berbuat demikian; aku takkan
pernah menyerah hingga Tuhan memperkenankannya dengan
kemenangan atau aku binasa dalam usahaku” (Ibnu Hisham, halaman
15, “Spirit of Islam”, oleh Amir Ali, halaman 186).
Setelah berbilang tahun penderitaan yang paling berat demi
kebaikan dari umat itu sendiri yang mendapat kesenangan dengan menimpakan
kepadanya siksaan yang paling kejam, di saat beliau mendaki ke puncak kemuliaan
kerajaan, beliau tetap hidup dengan makanannya yang sederhana dan memakai
busana yang sama bersahajanya. Memang berat untuk meninggalkan mahkota Raja,
dan menjalani hidup sebagai pertapa, tetapi lebih berat lagi bila mendapatkan
kewenangan sebagai raja dan pada waktu yang sama menjalani kehidupan seorang
pertapa. Meskipun penguasa negara, beberapa malam beliau tidur tanpa makanan
dan beberapa hari hidup hanya dari sekedar kurma semata. Beliau senantiasa
tidur di atas hambal yang kasar dari daun kurma.
Tak ada istana yang dibangun buat dirinya dan dia tak punya
mahkota yang bertatahkan intan dan mutiara. Ketika isteri-isterinya datang
untuk meminta sedikit barang bagus dengan hiasannya, dengan dingin dikatakan
kepada mereka bahwa bila mereka menginginkan benda-benda tersebut maka mereka
tidak layak hidup di rumah nabi (Q.S. 33:28). Beliau menambal sepatunya
sendiri, memerah susu kambing, menyalakan api di pediangan isteri-isterinya,
dan melayani beberapa janda yang kekurangan.
ANEKDOT KE TIGA
Kembali kepada pokok acara, Gautama Buddha ditetapkan dengan
Ilmu Ilahi, dan dia menghangatkan diri di bawah Pohon Bo dengan Cahaya Ilahi,
yang merubah hidupnya secara total. Untuk merayakan hal ini maka kaum Buddhis
melakukan jamaah dan pertemuannya di bawah bayangan pohon Bo.
Teosofis juga telah mengikuti jalan ini. Di antara umat
Hindu pohon seperti Bo dan pipal dianggap suci, karena dipercaya bahwa para
dewata beristirahat di bawahnya (Atharwa Weda 5:135:1; Rig Weda
1:164:20,22).
Dalam buku-buku Metafisika Yunani dan “Buku Orang Mati”
Mesir Kuno pohon Sidrah dipandang sebagai puncak yang terpuji, ilmu dan
kendali universal. Menurut kata Homer seorang yang makan buah pohon Sidrah
tidak pernah akan kembali ke dunia ini melainkan mencapai kesempurnaan ruhani
kedamaian dan ketenteraman. (2)
Quran Suci mewahyukan bahwa Nabi Muhammad telah
mencapai tujuan ini :
“Dan sesungguhnya ia melihat Dia di landasan
yang lain,
Di sisi pohon Sidrah yang paling jauh.
Di sisinya adalah Taman yang Kekal.
Tatkala apa yang menutupi pohon Sidrah;
Penglihatan tak membalik ke arah lain, dan tak pula melebihi batas.
Sesungguhnya ia melihat sebagian tanda-bukti Tuhannya Yang Maha-besar” (Q.S. 53:13-18).
Di sisi pohon Sidrah yang paling jauh.
Di sisinya adalah Taman yang Kekal.
Tatkala apa yang menutupi pohon Sidrah;
Penglihatan tak membalik ke arah lain, dan tak pula melebihi batas.
Sesungguhnya ia melihat sebagian tanda-bukti Tuhannya Yang Maha-besar” (Q.S. 53:13-18).
Ayat-ayat dalam wahyu Ilahi ini berbicara tentang mi’raj
Nabi Muhammad. Dan apa yang diperoleh Buddha di bawah pohon Bo adalah
mi’rajnya. Karena itu:
‘Segera setelah pencerahannya maka Brahma sang kepala dewata
datang mengunjungi Buddha Gautama di bawah pohon Bo” (“Majjhima Nikaya” oleh
Silchara, halaman 151).
Dan mi’rajnya Musa itu disebutkan dalam Quran Suci pada
pertemuan dua laut yakni ilmu manusiawi dan Ilmu Ilahi. Kaum Buddhis salah
menilai pohon Bo sebagai akhir tujuan.
Peningkatan dan peninggian ini secara kiasan disamakan
dengan pohon yang tinggi, yang oleh kaum Buddhis dan Hindu dianggapnya pohon
itu Bo atau pipal (ashvatha).
Menurut al-Quran ini berarti bahwa Nabi Suci melihat
tanda-bukti dan argumen akan adanya Tuhan, pencapaian semacam itu diluar
kemampuan ilmu manusiawi.
Pohon ini, yang oleh kaum Hindu dan Buddhis yang
memberhalakannya karena terbaliknya penglihatan ‘dalam’ mereka lalu diturunkan
menjadi sesembahan, sesungguhnya berarti pohon ruhani yakni wahyu Tuhan dan
Ilmu Ilahi.
ANEKDOT KE EMPAT
Buddha menguak tabir kebenaran keagamaan yang banyak tersembunyi,
yang dirahasiakan oleh para ulama Hindu. Dia mengkritik dengan sangat Kitab
Weda. Dia mengakhiri segala jenis eksploatasi dalam bidang keagamaan dan
kepercayaan, serta meletakkan landasan persamaan dan persaudaraan.
Dhammapad
berisi kata-kata: “Tumhehi Kiccan atappan akkatara Tathagata. (Engkau sendiri
yang harus mengendalikan dirimu; Tathagata hanyalah guru-gurumu) “. Tentangnya
dia mengumumkan: “Aku adalah seorang guru manusia”.
Bhiksu Narada menulis tentang Buddha bahwa dia tak pernah
mengaku sebagai inkarnasi Wisnu, sebagaimana umat Hindu cenderung
mempercayainya, ataupun dia seorang juru-selamat yang menyelamatkan orang lain
dengan penyelamatan oleh pribadinya. (“Buddhism, in a nutshell” oleh Bhikku
Narada.).
Sungguh
disayangkan bahwa sekte Buddhis Mahayana telah jauh menyeleweng sehingga mereka
percaya bahwa Buddha itu Tuhan Yang Maha-kuasa. Padahal kenyataannya, seperti
halnya Buddha, banyak risalah yang diusung oleh Muhammad, dimaksudkan untuk
memperbarui agama-agama sebelumnya. Ahli hukum dan para pendeta Kristen dan
Yahudi, dan pandit di kalangan Hindu dan Buddha telah menambah dan
merubah dengan penemuan baru dalam kitab-kitab mereka. Quran Suci
mengkaji kembali semuanya dengan dalil, logika dan rujukan, jadi dengan
demikian telah membunyikan lonceng kematian bagi monopoli para pendeta atau
pastur, dan membuatnya wajib bagi setiap orang, baik lelaki maupun perempuan,
untuk mereguk pengetahuan kebenaran agama.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...