Riwayat
hidup Buddha mengungkapkan anekdot menyedihkan tentang perpisahannya dengan
yang akrab dan yang paling dicintai, sekali untuk selamanya. Perkawinan adalah
suatu ikatan keagamaan dan hukum di antara suami dengan isteri. Jika tidak ada
kesalahan, maka pembatalan atas perjanjian ini jelas diluar hukum. Sikap mental
Buddha berubah.
Dia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalani kerahiban,
namun isteri dan anaknya tidak ada hal yang salah sehingga ditinggalkan. Tak
ada bangsa yang bisa bertahan dengan mengikuti jejak langkah Buddha ini.
Betapa
pun, kaum Buddhis harus menikah, meskipun bertentangan dengan teladan yang
digelar oleh Buddha dan harus berkumpul dengan para isteri dan anak-anaknya
hingga akhir hayatnya. Di sini tidak ada analogi antara Buddha dan Nabi
Muhammad. Memang, perpisahan sementara harus diikuti oleh orang yang tulus
dalam mengabdi kepada Tuhan. Tetapi Nabi Muhammad juga hidup di tengah isteri
dan anak-anaknya, menyampaikan risalah tentang cinta Ilahi, yang, sesungguhnya,
adalah pelajaran yang paling bisa dipraktikkan oleh manusia. Contoh yang
dilakukan oleh Buddha semasa hidupnya sendiri kelihatannya tidak bisa
dipraktikkan bagi umat secara umum. Sebaliknya, karakter ideal dari Nabi
Muhammad bisa diikuti oleh semua orang. Meskipun hidupnya menunjukkan sekilas
perpisahannya dengan isteri dan anak-anaknya, di kala minum sedalam-dalamnya
saat memuja dan menyembah Tuhannya. Menurut suatu riwayat, beliau
langsung meninggalkan isterinya seketika setelah mendengar panggilan salat. Ini
bukanlah suatu tugas yang mudah, hanya ahli jiwa yang bisa menghayati arti
pentingnya. Seorang laki-laki yang sedang bercengkerama dengan isterinya,
menikmati keakraban pasangan yang lembut penuh daya tarik dengan penuh canda
dan tawa, harus menarik diri mendengar panggilan. Ikatan cinta terputus di kala
mendengar seruan . Beliau mengabdikan diri sepenuhnya kepada panggilan dan
Tuhan. Ini adalah saat dimana beliau bangkit untuk berubah demi mengungkapkan
kecintaanya kepada Tuhan, dan seketika melepaskan seluruh kesenangan duniawi, dan
menghadap Tuhan lima kali sehari. Dalam berbuat demikian, beliau bersabda:
“Sesungguhnya
memang ada kecintaan dan kehangatan kepada isteri dan anak-anak, tetapi
ketenteraman hati itu terletak dalam pengabdian kepada Tuhan”. Adalah kilatan
kecintaan kepada Tuhan ini yang mendorongnya dari isterinya bahkan di waktu
malam hari. Sebagai hasilnya, beliau selalu ditemukan bersujud di hadapan Tuhan
bahkan sebelum tengah malam.
Seorang
laki-laki yang menyelinap pergi dari keluarganya, ke dalam pengasingan di rimba,
tidak dapat mencapai ketinggian tempat berpijak seperti ini yang penuh pujaan
setiap hari.
Upacara
agama dan segala jenis sembahyang yang tidak ada pengaruhnya terhadap kehidupan
moral dan spiritual bagi manusia itu tidak ada gunanya. Mereka yang dalam
pencarian terhadap kebebasan abadi serta puncak kebenaran harus menjaga diri
mereka terhadap nafsu mementingkan diri sendiri dan emosi pribadi. Sesuai
dengan itu, Buddha berkata:
“Bukannya
kebajikan orang lain, atau dosa mereka atas apa yang diperbuat dan tidak
diperbuat, tetapi adalah perbuatan salahnya sendiri serta kelalaiaannya
yang harus diperhatikan oleh orang yang bijak. Bagaikan sekuntum bunga
yang indah, penuh warna-warni tetapi tanpa harumnya, memang bagus
tetapi tak berbuah; begitulah kata-kata dari dia yang tidak diikuti dengan
perbuatan yang sama”.
Menurut
Nabi Muhammad dan al-Quran, menjaga diri dari kejahatan atau menyelamatkan diri
dari dosa adalah tujuan utama dari ibadah. Al-Quran berkata:
“Sesungguhnya salat itu menjaga (diri) seseorang dari perbuatan
keji dan munkar” (Q.S. 29:45).
Seperti
dalam perintah untuk berpuasa dikatakan:
“Wahai orang yang beriman, puasa diwajibkan kepadamu, sebagaimana
diwajibkan kepada orangorang sebelum kamu, supaya kamu bisa menjaga diri dari
kejahatan” (Q.S. 2:183).
Seorang
yang beribadah kepada Tuhan demi keserakahan atau kekikiran telah dirujuk
dalam ayat ini:
“Tahukan engkau orang yang mengambil keinginan rendahnya sebagai
tuhan?” (Q.S. 25:43)
Tidak
hanya sekedar menyembah patung yang dikutuk, melainkan juga mengikuti
hawa-nafsunya dengan membabi-buta, sama juga, terkutuk.
Banyak
orang yang menganggap dirinya hamba Tuhan Yang Esa sesungguhnya menundukkan
diri dalam penyerahan kepada berhala mereka yang terbesar, yakni hawa nafsunya.
Nabi Muhammad dari buaian hingga ke liang kubur melewati keadaan yang sulit,
suatu kesulitan yang jarang bisa ditemui dalam kehidupan seorang yang
sendirian. Keadaan yatim piatu adalah kondisi yang sangat tidak berdaya,
sedangkan mengemban tugas sebagai raja adalah puncak dari kekuasaan. Dari
seorang yang yatim piatu, dia merambat naik ke puncak kemuliaan kerajaan,
tetapi dia tidak membawa sedikitpun perubahan dalam cara hidupnya. Dia hidup
persis sama sederhananya dalam jenis makanannya, sama sederhananya dalam
berpakaian serta dalam segala hal yang khusus dia menjalani hidup yang sama
sederhananya dengan ketika dia menjalani hidupnya dalam keadaan yatim-piatu.
Meskipun dia penguasa dari Negara, perabot rumahnya terdiri dari satu hambal
yang kasar dari daun kurma sebagai tempat tidurnya dan satu bejana air dari
tanah. Dia tidak malu-malu untuk bekerja, dia menjahit sepatunya dan menambal
pakaiannya sendiri.
Ketika
masjid Madinah sedang dibangun, beliau bekerja seperti pekerja yang lain. Ini
adalah adegan pertapa dari segala keinginan duniawi dan keserakahan, yang
tersisih dari kehidupan Nabi Muhammad.
Buddha,
juga menganggap keserakahan duniawi itu sebagai menipu, menjauh darinya berarti
menuntun kepada keselamatan akhir.
Quran
Suci mengatakan:
“Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia; tetapi sesuatu
yang kekal, (yakni) perbuatan baik, itu menurut Tuhan dikau baik sekali
ganjarannya, dan baik sekali harapannya” (Q.S. 18:46).
Jadi
Quran Suci tidak mengajarkan doa untuk memohon emas yang tak terbatas, kekayaan
atau panjang umur, seperti yang kita temui dalam Weda.
Sebaliknya,
Quran Suci mengajarkan semacam permohonan untuk membantu seseorang agar bisa
mencapai tingkat tertinggi dari ketulusan, kebebasan dari dosa, serta kebaikan.
Keselamatan
(nirwana) adalah tingkat kesucian seseorang dimana dikenal sebagai kedamaian
dan ketenteraman jiwa. Menghilangkan benturan kecil-kecilan dalam kehidupan dan
mengurbankan segalanya untuk memperoleh kedamaian abadi adalah sesuatu yang
sulit dipikul. Hingga keinginan nafsu rendah, sebagai suatu akibat dari
keserakahan dan kekikiran, dihapuskan dari dalam, maka tak seorangpun dapat
selamat dari api neraka. Quran Suci, dalam mendiskusikan berbagai tahap dari
jiwa manusia telah berbicara mengenai ketenteraman dan kedamaian jiwa:
“Wahai jiwa yang tenang!
Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat
memuaskan di hati. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku, Dan masuklah
ke Taman-Ku” (Q.S. 89:27-30).
Menurut fraseologi Buddhis status
ini disebut kedamaian sempurna, ketulusan, harmoni, dan kebijaksanaan yang
lebih tinggi. Buddha telah meramalkan kedatangan seorang Buddha seperti dia,
karena itu, dianggap cocok untuk menunjukkan beberapa persamaan di antara
Buddha dengan Nabi Muhammad.
(Di sadur dari Muhammad dalam kitab suci dunia oleh Maulana Abdul
Haque)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...