BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
periodesasi penghimpunan hadis mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan
dengan yang dialami oleh al-Qur’an, yang hanya memerlukan waktu yang lebih
pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja.
Penghimpunan
dan pengkodefikasian hadis memerlukan waktu sekitar tiga abad. Dalam
perjalanannya banyak sekali pendapat-pendapat yang saling bertentang mengenai
penulisan hadis. Pada masa Nabi SAW, hadis belum di bukukan karena kekhawatiran
akan adanya pencampuran antara al-Qur’an dan hadis. Baru setelah pada masa
Tabi’in barulah ada kebebasan mengenai penulisan hadis walaupun sebenarnya pada
masa sahabat telah memperbolehkan untuk
menuliskan hadis akan tetapi masih adanya pembatasan. Untuk lebih jelas lagi
mengenai hadis pada masa Nabi SAW, sahabat dan tabi’in, pada makalah ini akan
mengupas mengenai hal tersebut pada bagian BAB II.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini yaitu :
1.
Bagaimana cara penyampaian hadis pada
masa Nabi SAW ?
2.
Bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi
SAW ?
3.
Apa saja faktor yang menjaga
kesinambungan hadis ?
4.
Bagaimana hadis pada masa sahabat dan
tabi’in?
5.
Bagaimana penyebarluasan periwayatan
hadis pada masa Sahabat?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini yaitu agar mahasiswa :
1.
Mengetahui cara penyampaian hadis pada
masa Nabi SAW
2.
Mengetahui penulisan hadis pada masa Nabi
SAW.
3.
Mengetahui factor yang menjaga
kesinambungan hadis.
4.
Mengetahui hadis pada masa sahabat dan
tabi’in.
5.
Mengetahui penyebarluasan periwayatan
hadis pada masa Sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis pada Masa Rasulullah saw.
Periode Rasul
saw. merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis.
periode ini terhitung cukup singkat bila dibandingkan dengan masa-masa
berikutnya. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelum
hijriah, bertepatan dengan 610 masehi sampai dengan tahun 11 hijriah,
bertepatan dengan tahun 632 masehi. Masa ini merupakan kurun waktu turun wahyu
(ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai, masa pertumbuhan hadis.
Wahyu
yang diturunkan Allah swt. kepada Rasul dijelaskan melalui perkataan (aqwal),
perbuatan (af’al), dan ketetapannya (taqrir) dihadapan para sahabat. Apa yang
didengar, dilihat, dan disaksikan oleh mereka, merupakan pedoman bagi maliah
dan ‘ubudiah mereka sehari-hari. Dalam hal ini, Rasul saw. merupakan contoh
satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan
keutamaan selaku Rasul Allah yang berbeda dengan manusia lainnya. Rasul SAW
mengeluarkan perkataan, perbuatan dan keterangannya (hadis) sebelum maupun
sesudah suatu peristiwa karena Nabi SAW juga menjelaskan hukum-hukum di dalam
al-Qur’an yang belum jelas dan mejelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang akan
terjadi di kemudian hari yang telah tertera di dalam al-Qur’an.
1.
Cara menyampaikan hadis
menurut riwayat al-Bukhari, Ibn Mas’ud
pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat,
Rasul saw. menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para
sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa teknik atau cara
Rasull saw. menyampaikan hadis kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan
kondisi mereka. pertama, melalui para jamaah melalui pusat pembinaannya yang
disebut majlis al-‘ilmi.[1]
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasul
saw. juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian
oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato
ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makah.
Keempat, melalui perbuatan langsung yang
disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yang berkaitan
dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Ada beberapa tujuan Rasul menyampaikan hadis
kepada para sahabat di antaranya ialah : a) karena ia bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah swt. kepadanya dalam waktu yang cukup
panjang; b) ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa
yang dilihat dan dialami sendiri; c) bermaksud menjelaskan kepastian hukum
tentang suatu peristiwa yang terjadi pada para sahabat yang ditanyakan
kepadanya, baik oleh pelaku peristiwa itu maupun melalui orang lain; d) bermaksud
menjelaskan kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat yang disaksikan oleh
sahabat; e) bermaksud meluruskan akidah yang salah satu tradisi yang tidak
sejalan dengan ajaran Islam.[2]
2.
Cara Sahabat Menerima Hadis pada Masa
Rasulullah Saw
Cara penerimaan hadis di masa Rasul Saw
tidak sama dengan cara penerimaan hadis di masa generasi sesudahnya. Penerimaan
hadis di masa Nabi Saw dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’
al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat utama lainnya. para sahabat di masa Nabi
Saw, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi Saw agar ucapanya,
perbuatan, atau taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung.
apabila di antara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang
kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi Saw ketika itu untuk meminta apa
yang telah mereka peroleh dari beliau.
Ada empat cara yang ditempuh oleh para
shabat untuk mendapatkan hadis Nabi Saw, yaitu :
a. Mendatangi
majelis-majelis taklim yang diadakan Rasul Saw. Rasulullah Saw selalu
menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada
ppara sahabat.
b. Kadang-kadang
Rasul Saw sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu, kemudian beliau
menjelaskan hukumnya kepada para sahabat.[3] Adakalanya
Rasulullah Saw melihat atau mendengar seorang shabat melakukan suatu kesalahan,
lantas beliau mengoreksi kesalahan tersebut.
c. Kadang-kadang
terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya
kepada Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw memberikan fatwa atau penjelasan hukum
tentang peristiwa tersebut. Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah
Saw melakukan sesuatu perbuatan, dan seringkali yang berkaitan dengan tata cara
pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.[4]
3.
Penulisan Hadis pada Masa Rasulullah Saw
Pada dasarnya pada masa Rasul Saw sudah
banyak umat Islam yang bisa membaca dan menulis. Bahkan Rasul Saw sendiri
mempunyai 40 orang penulis, wahyu di samping penulis-penulis untuk urusan
lainnya. Oleh karenanya, argument yang menyatakan kurangnya jumlah umat Islam
yang bisa baca tulis adalah penyebab tidak dituliskannya hadis secara resmi
pada masa Rasul Saw adalah kurang tepat, karena ternyata berdasarkan keterangan
di atas terlihat bahwa telah banyak umat Islam pada saat itu yang mampu membaca
dan menulis. Meskipun demikian, kenyataannya pada masa Rasul Saw keadaan hadis,
berbeda dengan al-Qur’an, belumlah ditulis secara resmi.
Mengapa hadis tidak atau belum ditulis
secara resmi pada masa Rasulullah Saw, terdapat berbagai keterangan dan
argumentasi yang kadang-kadang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Mengenai
penulisan hadis Nabi Saw berikut ini dikutipkan hadis-hadis yang berkaitan
dengan penulisan hadis tersebut.
a. Larangan
Menuliskan Hadis
Terdapat
sejumlah hadis Nabi Saw yang melarang para sahabat menuliskan hadis-hadis yang
mereka dengar atau peroleh dari Nabi Saw. Hadis-hadis tersebut adalah :
Dari Abi
Said al-khudri, bahwasanya Rasul Saw bersabda,” Janganlah kamu menuliskan
sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-qur’an maka
hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim)[5]
Abu Said
al-Khudri berkata,”Kami telah berusaha dengan sungguh meminta izin untuk
menulis hadis, namun Nabi Saw enggan (memberi izin).” Pada riwayat lain, dari
Abu Said al-Khudri juga, dia berkata,”Kami meminta izin kepada Rasul Saw untuk
menulis (hadis), namun Rasul Saw tidak mengizinkan kami.” (HR. Khatib dan Darami)
Dari riwayat
di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan
hadis-hadis beliau, dan bahkan beliau memerintahkan untuk menghapus hadis-hadis
yang telah sempat dituliskan oleh para sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat
seperti di atas, maka muncul dikalangan para Ulama pendapat yang menyatakan
bahwa menuliskan hadis Rasul adalah dilarang. Bahkan di kalangan para sahabat
sendiri terdapat sejumlah nama yang menurut al-Khathib al-Bagdhadi, meyakini
akan larangan penulisan hadis tersebut.
b. Perintah
(Kebolehan) Menuliskan Hadis
Selain
hadis-hadis yang isinya melarang menuliskan hadis, dijumpai pula hadis-hadis
Nabi Saw yang membolehkan bahkan memerintahkan untuk menuliskan hadis beliau.[6]
Di antara
hadis-hadis Nabi Saw yang memerintahkan menuliskan hadis adalah :
1) Hadis
yang berasal dari Rafi
Dari Rafi
ibn Khudaj bahwa dia menceritakan, Kami bertanya kepada Rasulullah,” Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak-banyak hadis, apakah
(boleh) kami menuliskannya?” Rasulullah menjawab,”Tuliskanlah oleh kamu untukku
dan tidak ada kesuliatan.” (HR.Khathib)
2) Hadis
Anas ibn Malik
Dari Anas
ibn Malik bahwa dia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Ikatlah ilmu itu dengan
tulisan (menuliskannya).”
3) Hadis
yang berasal dari al-Walid ibn Muslim dari al-Auzal dari Yahya ibn abi Katsir
dari Abi Salamah ibn Abd al-Rahman dari Abu Hurairah, dia menceritakan tentang
khotbah Nabi Saw di Mekkah ketika penaklukan kota Mekkah. Setelah penyampaian
khotbah tersebut, berdiri Abu Syah, seorang laki-laki dari negeri Yaman, seraya
berkata :
Berkata
Abu Syah, “Tuliskanlah bagiku yan Rasul.”Maka Rasulullah Saw
bersabda,”Tuliskanlah oleh kamu untuk Abu Syah,” Walid berkata,”Aku bertanya
kepada al-Auza’I,”Apakah yang dimaksudkan dengan perkataan Rasul Saw
tuliskanlah olehmu untuk Abu Syah.”Auza’I menjelaskan, “Yang dimaksud dengannya
adalah khotbah yang didengarnya dari Rasul Saw.” (HR. Bukhari).[7]
4) Hadis
‘Abd Allah ibn ‘Amr
Dari Abd
Allah ibn Amr, aku berkata, “(Bolehkah) aku menuliskan apa yang aku dengar dari
engkau?” Rasulullah menjawab, “Boleh”. Aku berkata selanjutnya, “Dalam keadaan
marah dan senang?” Rasul Saw menjawab lagi, “ya, sesungguhnya aku tidak mengatakan
sesuatu kecuali yang haq (kebenaran).” (HR. Ahmad).
Keempat
hadis di atas menunjukan bahwa Rasul Saw membolehkan bahkan tampak menganjurkan
para sahabat untuk menuliskan hadis-hadis beliau. Hal tersebut dari saran
beliau untuk mengikat ilmu pengetahuan tentunya termasuk di dalamnya
hadis-hadis beliau dengan cara menuliskannya.
c. Sikap
Para Ulama dalam Menghadapi Kontroversi Hadis-Hadis mengenai Penulisan Hadis
Hadis-hadis
yang di satu pihak melarang menuliskan hadis dan pihak lain membolehkan bahkan
menganjurkannya, menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam
memahaminya.
Al-Azami
mencoba memberikan solusinya sebagai berikut.
Hadis-hadis
yang melarang penulisan hadis diriwayatkan oleh tiga orang sahabat, yaitu Abu
Said al-Khudri, Abu Hurairah dan zaid ibn Tsabit.
Hadis
dari Abu Said al-Khudri mempunyai dua versi. Satu versi diriwayatkan melalui
jalur Abd al-Rahman ibn Zaid. Para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa Abd
al-Rahman ibn Zaid ini adalah seorang perawi yang lemah (dhaif), bahkan menurut
al-Hakim dan Abu Nuaim, dia (ibn Zaid) meriwayatkan hadis-hadis palsu. Oleh
karenanya, hadis Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan melalui Abd al-Rahman ibn
Zaid ini adalah lemah dan tidak dapat diterima (ditolak).[8]
Abd
al-Rahman ibn Zaid yang sama juga terdapat pada sanad hadis yang berasal dari
Abu Hurairah. Oleh karenanya, hadis Abu Hurairah tentang larangan menuliskan
hadis tersebut juga adalah lemah dan tidak dapat diterima.
dari
keterangan di atas, maka hanya ada satu hadis mengenai larangan menuliskan
hadis yang bisa diterima, yaitu yang berasal dari Abu Said al-Khudri, versi
yang bukan melalui jalur Abd al-Rahman ibn Zaid. Versi ini berbunyi :
dari Abu
Said al-Khudri, bahwasanya Rasul Saw bersabda, “Janganlah kamu menuliskan
sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-qur’an, maka
hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim)
Hadis Abu
Said al-Khudri versi ini pun tidak terlepas dari adanya perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Menurut Imam Bukhari, hadis ini sebenarnya adalah
peryataan Abu Said sendiri, oleh karenanya adalah keliru apabila disandarkan
kepada Nabi Saw.[9]
Akan tetapi, pendapat yang cenderung lebih kuat mengatakan bahwa pernyataan
tersebut adalah pernyataan Rasul Saw (hadis), dan maksud sebenarnya yang
terkandung di dalamnya adalah bahwa tidak ada yang boleh ditulis bersama-sama
dengan Al-qur’an pada lembaran kertas yang sama, karena hal yang demikian bisa
menyebabkan seseorang yang membacanya menganggap kalimat-kalimat yang
dituslikan di antara baris ayat-ayat Al-qur’an tersebut adalah sebagai bagian
dari ayat-ayat Al-qur’an tersebut . Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa
larangan tersebut disampaikan Rasul Saw pada masa Al-qur’an masih sedang turun
dan teks Al-qur’an itu sendiri masih belum lengkap dan apabila kondisi yang
demikian tidak ada lagi, maka tidak ada alasan yang tepat untuk melarang
menuliskan hadis-hadis Nabi Saw.
Sementara
itu Ajjaj al-Khatib memberikan simpulan tentang perbedaan pedapat mengenai
penulisan hadis, sebagai berikut: pendapat pertama yang mengatakan bahwa hadis
Abu Said al-Khudri sebagai mawquf adalah ditolak, karena ternyata hadis
tersebut adalah shahih, dan dengan demikian dapat dijadikan dalil. Sedangkan
ketiga pendapat berikutnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
Larangan
Nabi Saw mengenai menuliskan hadis dan Al-qur’an dalam lembaran yang sama
sehingga dikhawatirkan terjadinya pencampuradukan antara keduannya, adalah
logis dan dapat diterima. demikian juga dengan halnya larangan tersebut ppada
masa awal Islam dengan maksud agar umat Islam tidak disibukkan dengan menulis
hadis sehingga mengabaikan Al-qur’an. Kemudian Nabi Saw memperkenankan menuliskannya
bagi mereka yang bisa membedakan antara Al-qur’an dan hadis, sehingga tidak
terjadi pencampurbauran antara keduannya; dan bagi mereka yang kurang
hafalannya agar hadis tersebut tidak hilang dari ingatan mereka. Dengan
demikian, ketika umat Islam sudah bisa menghafal dan memelihara Al-qur’an serta
dapat membedakannya dari hadis Nabi Saw, maka larangan menuliskan hadis pun
berakhir dan karennya untuk masa selanjutnya diperbolehkan menuliskannya.[10]
Terlepas
dari adanya hadis-hadis yang bertentangan dalam penulisan hadis, ternyata di
antara para sahabat terdapat mereka yang memiliki kumpulan-kumpulan hadis dalam bentuk tertulis secara pribadi, seperti
Abd Allah ibn Amr ibn al-Ash yang menghimpun hadis dan dinamainya dengan
al-Shahifah al-Shadiqah, yang memuat seribu hadis. Demikian juga dengan Sad ibn
Ubadah al-Anshari, Samrah ibn Jundub, Jabir ibn Abd Allah al-Anshari, Anas ibn
Malik, dan Hamam ibn Munabbih, yang mereka semua juga memiliki himpunan
hadis-hadis. Himpunan hadis milik Ibn Munabbih disebutnya dengan al-Shahifah
al-Shahihah, yang diriwayatkan dari gurunya, Abu Hurairah.
4.
Faktor-Faktor yang Menjamin Kesinambungan
Hadis
Ada beberapa factor yang mendukung
terpeliharanyaa kesinambungan hadis sejak masa Nabi Saw, yaitu :
a. Quwwat
al-Dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para sahabat yang menerima dan mendengarkan
langsung hadis-hadis dari Nabi Saw dan ketika mereka meriwayatkan hadis-hadis
yang sudah menjadi hafalan mereka tersebut kepada sahabat lain ataupun generasi
berikutnya, mereka menyampaikannya persis seperti yang mereka hafal dari Nabi
Saw.
b. Kehati-hatian
para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw. Hal ini mereka
lakukan adalah karena takut salah atau tercampurkan sesuatu yang bukan hadis ke
dalam hadis. Karena kehati-hatian tersebutlah, maka sebagian sahabat ada yang
sedikit sekali meriwayatkan hadis, seperti Umar ibn al-Khathab
c. Kehati-hatian
mereka dalam menerima hadis, yaitu bahwa mereka tidak tergesa-gesa dalam
menerima hadis dari seseorang, kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain
itu ada orang lain yang ikut mendengarnya dari Nabi Saw atau dari perawi lain
di atasnya. Menurut al-Hafidz al-Dzahabi,
Abu Bakar adalah orang pertama yang sangat berhati-hati dalam menerima
hadis.
d. Pemahaman
terhadap ayat Al-qur’an
Musthafa al-Sibai berpendapat bahwa yang dijamin terpelihara dari
usaha pengubahan (pemutarbalikan) adalah al-Dzikir, dan al-Dzikir selain Al-qur’an
juga meliputi sunnah dan hadis. Dan, apabila penjamin yang cukup penting karena
sifatnya langsung dari Allah Swt.[11]
B. Hadis pada Masa Sahabat
Para
sahabat sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar bagi
kelangsungan syariat Islam adalah menerima dan melaksanakan segala amanah
Rasulullah. Amanah itu esensinya tertuang pada Al-qur’an dan hadis sebagaimana
sabdanya ketika menjelang akhir kerasulannya, yang berbunyi :
“Aku
tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang
kepada keduannya, yaitu kitab Allah (Al-qur’an) dan sunahku.” (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah).
Pada hadis lain Rasul juga berpesan :
Dari
Abdullah bin Amr bin Ash’ berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat dan ceritakanlah hadis kepada Bani Israil
tidak mengapa, dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka
tempat duduknya yang layak adalah neraka.” (HR. Bukhari).
Amanah
Rasul di atas, di samping terpelihara dalam kehidupan keseharian mereka dalam
beribadah dan bermuamalah, juga dalam tekad dan semangat yang terpatri dalam
hati masing-masing. Oleh karena itu, segala perhatian mereka tercurahkan untuk
semata-mata melaksanakan dan memelihara pesan-pesan itu, melaksanakan segala
yang dicontohkannya dan menjaganya melebihi menjaga diri, keluarga dan
kekayaannya.
1.
Kehati-Hatian Para Sahabat dalam Menerima
dan Meriwayatkan Hadis
Meskipun perhatian para sahabat setelah
Rasul wafat terpusat kepada uapaya pemeliharaan dan penyebaran Al-qur’an,
tetapi tidak berarti mereka melalaikan sebagaimana halnya yang diterimanya
secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi, dalam meriwayatkannya,
mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.[12]
Sikap kehati-hatian juga ditunjukan oleh
Umar bin Khathab, ia seperti halnya Abu Bakar, meminta diajukan saksi jika ada
orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi, saksi dari orang tertentu saja,
seperti hadis-hadis dari ‘Aisya. Sikap kedua sahabat ini juga diikuti oleh
Utsman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara di atas juga terkadang mengujinya
dengan sumpah.
Perlu juga dijelaskan bahwa pada masa ini
belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti
halnya Al-qur’an. Hal ini disebabkan, antara lain : pertama, agar tidak
memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-qur’an; kedua, bahwa para
sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul saw. sudah tersebar ke berbagai
daerah kekuasaan masing-masing sebagai pembina masyarakat, sehingga dengan
kondisi seperti ini ada kesulitan mengumpulkan mmerekka secara lenngkap;
ketiga, bahwa soal membukukan hadis di kalangan para sahabat sendiri terrjadii
perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafal dan
sahihnya.
2. Masa Penyebarluasan Periwayatan Hadis
Setelah
Nabi SAW Wafat, yakni dalam periode Sahabat, para Sahabat tidak lagi mengurung
diri di Madinah. Mereka telah memulai menyebar ke kota-kota lain selain
Madinah. Intensitas penyebaran Sahabat ke daerah-daerah ini terlihat begitu
besar terutama pada masa kekhalifahan ‘Utsman ibn ‘Affan, yang memberikan
kelonggaran kepada para Sahabat untuk meninggalkan kota Madinah.[13]
Wilayah kekuasaan Islam pada periode ‘Utsman telah meliputi seluruh jazirah
Arabia, wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh kawasan
Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkand.
Pada
umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat mendirikan
masjid-masjid di daerah-daerah baru itu; dan ditempat-temoat yang baru itu
sebagian dari mereka menyebarkan ajaran Islam dengan jalan mengajarkan
Al-Qur’an da Hadis Nabi SAW kepada penduduk setempat. Dengan tersebarnya pada
Sahabat ke daerah-daerah disertai dengan semangat menyebarkan ajaran Islam,
maka tersebar pulalah Hadis-Hadis Nabi SAW.
Diantara
kota-kota yang banyak terpadu para Sahabat dan aktivitas periwayatan hadis
adalah : Madinah, Mekah, Kufah dan Basrah.
Di kota-kota lain, seperti Syam, Mesir,
Yaman, khurasan, juga terdapat sejumlah Sahabat yang aktif mengajar dan
menyebarkan Hadis-Hadis Nabi SAW, yang pada tahapan selanjutnya melahirkan
tokoh-tokoh Hadis dari kalangan Tabi’in yang berperan dalam penyebaran Hadis.[14]
3. Penulisan
Hadis pada Masa Sahabat
Meskipun ada riwayat yang berasal dari
Rasul SAW yang Memperbolehkan untuk menuliskan Hadis, dan terjadinya kegiatan
penulisan Hadis pada masa Rasul SAW bagi mereka yang diberi kelonggaran oleh
Rasul SAW untuk melakukannya, namun para Sahabat pada umumnya menahan diri dari
melakukan penulisan Hadis di masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin. Hal
tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur’an
al-Karim dan sekaligus Sunnah (Hadis). Akan tetapi, keadaan yang demikian tidak
berlangsung lama, karena ketika ‘illat larangan untuk menuliskan Hadis secara
bertahap hilang maka semakin banyak pula para Sahabat yang memperbolehkan
penulisan Hadis.
Akan tetapi, Abu bakar al-Shiddiq seorang
Sahabat berpendirian tidak menuliskan Hadis. Sahabat lain yang juga
melaksanakan larangan penulisan Hadis pada masa-masa itu di antaranya, adalah
‘Abd Allah ibn Mas’ud, ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, ibn’Abbas, dan Abu
Sa;id al-Khudri.
Akan
tetapi, tatkala sebab-sebab larangan penulisan hadis tersebut, yaitu
kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara Al-Qur’an dengan Hadis atau
dengan yang lainnya telah hilang, maka para Sahabat pun mulai mengendorkan
larangan tersebut, dan bahkan diantaranya mereka ada justru melakukan atau
menganjurkan untuk menuliskan hadis seperti yang dilakukan Umar.
Demikian
pula halnya dengan para Sahabat lain yang semula melarang melakukan penulisan
Hadis, namun setelah kekhawatiran akan tersia-sianya Al-Qur’an, salah satu
penyebab utama pelarangan penulisan Hadis tersebut, hilang maka mereka memulai
membolehkan, bahkan melakukan sendiri penulisan hadis.[15]
C. Hadis pada Masa Tabi’in
1.
Sikap dan Perhatian Para Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in
juga cukup berhati-hatii dalam meriwayatkan hadis. Hanya saja beban mereka
tidak terlalu berat jika yang dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat.
Pada masa ini, Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam mushaf, sehingga tidak lagi
mengkhawatirkan mereka. Sealin itu, pada masa akhir periode khulafa’
ar-rasyidin (masa khalifah Utsman bin Affann) para sahabat ahli hadis telah
menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para
tabi’in untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka.
Hadis-hadis yang diterima oleh para
tabiin ini, seperti telah disebutkan, ada yang dalam bentuk catatan atau
tulisan dan ada yang harus dihapal, di
samping dalam bentuk yang sudah berpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat
yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi,
sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan.
2.
Pusat-Pusat Kegiatan Pembinaan Hadis
Sesuai dengan tersebarnya para sahabat di
wilayah-wilayah kekuasaan Islam, maka tercatat beberapa kota sebagai pusat
pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam
mencari hadis, dan pada gilirannya menjadi kegiatan para tabi’in dalam
meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada para muridnyaa (tabiin). Kota-kota
tersebut ialah Madinah al-Munawwarah, Makkah al-Mukarramah, Kufah, Basrah,
Syam, Mesir, Magrib, Andalus, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah shabat Pembina
hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup
banya, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, A’isyah,
Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id al-Khudri.[16]
3.
Perpecahan dan Pemalsuan Hadis
Peristiwa yang mengkhawatirkan dalam
sejarah perjalanan hadis ialah terjadinya pemalsuan hadis ialah terjadinya
pemalsuan hadis, yang salah satu penyebabnya ialah terjadinya perpecahan
politik dalam pemerintahan. Di pandang mengkhawatirkan karena merupakan
tindakan yang mencemarkan dan menodai kemurnian hadis dari dalam dan ini oleh
para pengingkar dan orientalis, dijadikan salah satu alasan kuat untuk
melemahkan kedudukan hadis.
Selain karena perpecahan politik ada
beberapa factor lain yang juga menyebabkan adanya pemalsuan hadis, di antaranya
:
a. Kafir
Zindiq
b. Satu kaum
yang memalsukan hadis karena karena mengikuti hawa nafsu dan mendekatkan diri
kepada penguasa
c. Qashas
(tukang-tukang cerita)
d. Satu kaum
yang memalsukan hadis-hadis untuk tujuan yang menguntungan dirinya
e. Fanatisme
golongan, jenis, negeri dan lainnya
f. Semakin
terpecah-pecahnya umat Islam dalam golongan-golongan yang beraneka ragam.
Untuk membedakan hadis shahih dengan
hadis palsu dapat di lihat dari segi sanad, perawi dan matannya. Syarat-syarat
hadis shahih, yaitu :
a. Sanadnya
bersambung
b. Perawinya
adil
c. Perawinya
dhabit
d. Tidak
syadz (janggal)
e. Tidak
ber-illat
Jika suatu hadis tidak memenuhi
syarat-syarat hadis shahih maka dapat dikatakan bahwasanya hadis tersebut
merupakan hadis palsu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Cara penyampaian hadis pada masa Nabi SAW
yaitu pertama, melalui para jamaah melalui pusat pembinaannya yang
disebut majlis al-‘ilmi. Kedua, Rasul saw. menyampaikan hadisnya melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya
kepada orang lain. Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka,
seperti ketika haji wada’ dan futuh makah. Keempat, melalui perbuatan
langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yang
berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
2.
Pada masa Nabi SAW penulisan hadis tidak
atau belum ditulis secara resmi dikarenakan terjadi perselisihan terkait dengan
penulisan hadis.
3.
Faktor yang menjaga kesinambungan hadis
yaitu :
a. Quwwat
al-Dzakirah.
b. Kehati-hatian
para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw.
c. Kehati-hatian
mereka dalam menerima hadis.
d. Pemahaman
terhadap ayat Al-qur’an.
4.
Pada masa sahabat dan tabi’in, perhatian
mereka masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-qur’an. Dengan
demikian, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, bahkan mereka
berusaha membatasi periiwayatan hadis tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh
para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkkan adanya pembatasan atau
memperketat periwayatan (at-tsubut wa al-iqlal ar-riwayah).
4.
Perluasan periwayatan hadis sepeninggal
Nabi SAW semakin berkembang karena para sahabat tidak lagi mengurung diri di
Madinah. Mereka telah memulai menyebar ke kota-kota lain selain Madinah.
Intensitas penyebaran Sahabat ke daerah-daerah ini terlihat begitu besar
terutama pada masa kekhalifahan ‘Utsman ibn ‘Affan, yang memberikan kelonggaran
kepada para Sahabat untuk meninggalkan kota Madinah. Pada umumnya, ketika
terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat mendirikan masjid-masjid di
daerah-daerah baru itu; dan ditempat-temoat yang baru itu sebagian dari mereka
menyebarkan ajaran Islam dengan jalan mengajarkan Al-Qur’an da Hadis Nabi SAW
kepada penduduk setempat. Dengan tersebarnya pada Sahabat ke daerah-daerah
disertai dengan semangat menyebarkan ajaran Islam, maka tersebar pulalah
Hadis-Hadis Nabi SAW.
B. Saran
Semoga
dengan penulisan makalah ini dapat memberi wawasan kepada pembaca mengenai
hadis pada masa Nabi,, Sahabat dan tabi’in. Kami menyarankan agar pembaca
mencari referensi lain untuk lebih memperdalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Izzan dan Saifudin Nur. 2011. Ulumul Hadis. Bandung : Tafakur.
Soharo Sahrani.2010. Ulumul Hadis. Bogor : Ghalia Indonesia.
[1]
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Bogor, Ghalia Indonesia, h. 49-50, 2010.
[2] Ibid,
h. 50-52.
[3] Ahmad
Izzan dan Saifudin Nur, Ulumul Hadis, Bandung, Tafakur, h. 40-42, 2011..
[4] Ibid,
h. 42-43.
[5] Ibid,
h. 44-45.
[6] Ibid,
h. 45-46.
[7] Ibid,
h. 46-47.
[8] Ibid,
h. 48.
[9] Ibid,
h. 48-49.
[10] Ibid,
h. 50-51.
[11] Ibid,
h. 51-52.
[12] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadis, Bogor, Ghalia Indonesia, h. 57-60, 2010.
[13] Ahmad
Izzan dan Saifudin Nur, Ulumul Hadis, Bandung, Tafakur, h. 55, 2011.
[14] Ibid,
h. 55-57.
[15] Ibid,
h. 58-59.
[16]
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Bogor, Ghalia Indonesia, h. 62-63, 2010.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...