Menu Bar 1

Monday 23 January 2017

Hadis pada Masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in


BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Sejarah periodesasi penghimpunan hadis mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dialami oleh al-Qur’an, yang hanya memerlukan waktu yang lebih pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja.
Penghimpunan dan pengkodefikasian hadis memerlukan waktu sekitar tiga abad. Dalam perjalanannya banyak sekali pendapat-pendapat yang saling bertentang mengenai penulisan hadis. Pada masa Nabi SAW, hadis belum di bukukan karena kekhawatiran akan adanya pencampuran antara al-Qur’an dan hadis. Baru setelah pada masa Tabi’in barulah ada kebebasan mengenai penulisan hadis walaupun sebenarnya pada masa sahabat telah  memperbolehkan untuk menuliskan hadis akan tetapi masih adanya pembatasan. Untuk lebih jelas lagi mengenai hadis pada masa Nabi SAW, sahabat dan tabi’in, pada makalah ini akan mengupas mengenai hal tersebut pada bagian BAB II.

B.   Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu :
1.    Bagaimana cara penyampaian hadis pada masa Nabi SAW ?
2.    Bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi SAW ?
3.    Apa saja faktor yang menjaga kesinambungan hadis ?
4.    Bagaimana hadis pada masa sahabat dan tabi’in?
5.    Bagaimana penyebarluasan periwayatan hadis pada masa Sahabat?

C.   Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu agar mahasiswa :
1.    Mengetahui cara penyampaian hadis pada masa Nabi SAW
2.    Mengetahui penulisan hadis pada masa Nabi SAW.
3.    Mengetahui factor yang menjaga kesinambungan hadis.
4.    Mengetahui hadis pada masa sahabat dan tabi’in.
5.    Mengetahui penyebarluasan periwayatan hadis pada masa Sahabat.


BAB II

PEMBAHASAN

A.   Hadis pada Masa Rasulullah saw.

Periode Rasul saw. merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis. periode ini terhitung cukup singkat bila dibandingkan dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelum hijriah, bertepatan dengan 610 masehi sampai dengan tahun 11 hijriah, bertepatan dengan tahun 632 masehi. Masa ini merupakan kurun waktu turun wahyu (ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai, masa pertumbuhan hadis.
Wahyu yang diturunkan Allah swt. kepada Rasul dijelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan ketetapannya (taqrir) dihadapan para sahabat. Apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh mereka, merupakan pedoman bagi maliah dan ‘ubudiah mereka sehari-hari. Dalam hal ini, Rasul saw. merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah yang berbeda dengan manusia lainnya. Rasul SAW mengeluarkan perkataan, perbuatan dan keterangannya (hadis) sebelum maupun sesudah suatu peristiwa karena Nabi SAW juga menjelaskan hukum-hukum di dalam al-Qur’an yang belum jelas dan mejelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari yang telah tertera di dalam al-Qur’an.
1.    Cara menyampaikan hadis
menurut riwayat al-Bukhari, Ibn Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul saw. menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa teknik atau cara Rasull saw. menyampaikan hadis kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi mereka. pertama, melalui para jamaah melalui pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi.[1]
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasul saw. juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makah.
Keempat, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Ada beberapa tujuan Rasul menyampaikan hadis kepada para sahabat di antaranya ialah : a) karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah swt. kepadanya dalam waktu yang cukup panjang; b) ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan dialami sendiri; c) bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya, baik oleh pelaku peristiwa itu maupun melalui orang lain; d) bermaksud menjelaskan kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat yang disaksikan oleh sahabat; e) bermaksud meluruskan akidah yang salah satu tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.[2]
2.    Cara Sahabat Menerima Hadis pada Masa Rasulullah Saw
Cara penerimaan hadis di masa Rasul Saw tidak sama dengan cara penerimaan hadis di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadis di masa Nabi Saw dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat utama lainnya. para sahabat di masa Nabi Saw, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi Saw agar ucapanya, perbuatan, atau taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. apabila di antara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi Saw ketika itu untuk meminta apa yang telah mereka peroleh dari beliau.
Ada empat cara yang ditempuh oleh para shabat untuk mendapatkan hadis Nabi Saw, yaitu :
a.    Mendatangi majelis-majelis taklim yang diadakan Rasul Saw. Rasulullah Saw selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada ppara sahabat.
b.    Kadang-kadang Rasul Saw sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu, kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada para sahabat.[3] Adakalanya Rasulullah Saw melihat atau mendengar seorang shabat melakukan suatu kesalahan, lantas beliau mengoreksi kesalahan tersebut.
c.    Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah Saw melakukan sesuatu perbuatan, dan seringkali yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.[4]
3.    Penulisan Hadis pada Masa Rasulullah Saw
Pada dasarnya pada masa Rasul Saw sudah banyak umat Islam yang bisa membaca dan menulis. Bahkan Rasul Saw sendiri mempunyai 40 orang penulis, wahyu di samping penulis-penulis untuk urusan lainnya. Oleh karenanya, argument yang menyatakan kurangnya jumlah umat Islam yang bisa baca tulis adalah penyebab tidak dituliskannya hadis secara resmi pada masa Rasul Saw adalah kurang tepat, karena ternyata berdasarkan keterangan di atas terlihat bahwa telah banyak umat Islam pada saat itu yang mampu membaca dan menulis. Meskipun demikian, kenyataannya pada masa Rasul Saw keadaan hadis, berbeda dengan al-Qur’an, belumlah ditulis secara resmi.
Mengapa hadis tidak atau belum ditulis secara resmi pada masa Rasulullah Saw, terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang kadang-kadang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Mengenai penulisan hadis Nabi Saw berikut ini dikutipkan hadis-hadis yang berkaitan dengan penulisan hadis tersebut.
a.    Larangan Menuliskan Hadis
Terdapat sejumlah hadis Nabi Saw yang melarang para sahabat menuliskan hadis-hadis yang mereka dengar atau peroleh dari Nabi Saw. Hadis-hadis tersebut adalah :
Dari Abi Said al-khudri, bahwasanya Rasul Saw bersabda,” Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-qur’an maka hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim)[5]
Abu Said al-Khudri berkata,”Kami telah berusaha dengan sungguh meminta izin untuk menulis hadis, namun Nabi Saw enggan (memberi izin).” Pada riwayat lain, dari Abu Said al-Khudri juga, dia berkata,”Kami meminta izin kepada Rasul Saw untuk menulis (hadis), namun Rasul Saw tidak mengizinkan kami.” (HR. Khatib dan Darami)
Dari riwayat di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadis-hadis beliau, dan bahkan beliau memerintahkan untuk menghapus hadis-hadis yang telah sempat dituliskan oleh para sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat seperti di atas, maka muncul dikalangan para Ulama pendapat yang menyatakan bahwa menuliskan hadis Rasul adalah dilarang. Bahkan di kalangan para sahabat sendiri terdapat sejumlah nama yang menurut al-Khathib al-Bagdhadi, meyakini akan larangan penulisan hadis tersebut.
b.    Perintah (Kebolehan) Menuliskan Hadis
Selain hadis-hadis yang isinya melarang menuliskan hadis, dijumpai pula hadis-hadis Nabi Saw yang membolehkan bahkan memerintahkan untuk menuliskan hadis beliau.[6]
Di antara hadis-hadis Nabi Saw yang memerintahkan menuliskan hadis adalah :
1)    Hadis yang berasal dari Rafi
Dari Rafi ibn Khudaj bahwa dia menceritakan, Kami bertanya kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak-banyak hadis, apakah (boleh) kami menuliskannya?” Rasulullah menjawab,”Tuliskanlah oleh kamu untukku dan tidak ada kesuliatan.” (HR.Khathib)
2)    Hadis Anas ibn Malik
Dari Anas ibn Malik bahwa dia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Ikatlah ilmu itu dengan tulisan (menuliskannya).”
3)    Hadis yang berasal dari al-Walid ibn Muslim dari al-Auzal dari Yahya ibn abi Katsir dari Abi Salamah ibn Abd al-Rahman dari Abu Hurairah, dia menceritakan tentang khotbah Nabi Saw di Mekkah ketika penaklukan kota Mekkah. Setelah penyampaian khotbah tersebut, berdiri Abu Syah, seorang laki-laki dari negeri Yaman, seraya berkata :
Berkata Abu Syah, “Tuliskanlah bagiku yan Rasul.”Maka Rasulullah Saw bersabda,”Tuliskanlah oleh kamu untuk Abu Syah,” Walid berkata,”Aku bertanya kepada al-Auza’I,”Apakah yang dimaksudkan dengan perkataan Rasul Saw tuliskanlah olehmu untuk Abu Syah.”Auza’I menjelaskan, “Yang dimaksud dengannya adalah khotbah yang didengarnya dari Rasul Saw.” (HR. Bukhari).[7]


4)    Hadis ‘Abd Allah ibn ‘Amr
Dari Abd Allah ibn Amr, aku berkata, “(Bolehkah) aku menuliskan apa yang aku dengar dari engkau?” Rasulullah menjawab, “Boleh”. Aku berkata selanjutnya, “Dalam keadaan marah dan senang?” Rasul Saw menjawab lagi, “ya, sesungguhnya aku tidak mengatakan sesuatu kecuali yang haq (kebenaran).” (HR. Ahmad).
Keempat hadis di atas menunjukan bahwa Rasul Saw membolehkan bahkan tampak menganjurkan para sahabat untuk menuliskan hadis-hadis beliau. Hal tersebut dari saran beliau untuk mengikat ilmu pengetahuan tentunya termasuk di dalamnya hadis-hadis beliau dengan cara menuliskannya.
c.    Sikap Para Ulama dalam Menghadapi Kontroversi Hadis-Hadis mengenai Penulisan Hadis
Hadis-hadis yang di satu pihak melarang menuliskan hadis dan pihak lain membolehkan bahkan menganjurkannya, menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam memahaminya.
Al-Azami mencoba memberikan solusinya sebagai berikut.
Hadis-hadis yang melarang penulisan hadis diriwayatkan oleh tiga orang sahabat, yaitu Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah dan zaid ibn Tsabit.
Hadis dari Abu Said al-Khudri mempunyai dua versi. Satu versi diriwayatkan melalui jalur Abd al-Rahman ibn Zaid. Para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa Abd al-Rahman ibn Zaid ini adalah seorang perawi yang lemah (dhaif), bahkan menurut al-Hakim dan Abu Nuaim, dia (ibn Zaid) meriwayatkan hadis-hadis palsu. Oleh karenanya, hadis Abu Said al-Khudri yang diriwayatkan melalui Abd al-Rahman ibn Zaid ini adalah lemah dan tidak dapat diterima (ditolak).[8]
Abd al-Rahman ibn Zaid yang sama juga terdapat pada sanad hadis yang berasal dari Abu Hurairah. Oleh karenanya, hadis Abu Hurairah tentang larangan menuliskan hadis tersebut juga adalah lemah dan tidak dapat diterima.
dari keterangan di atas, maka hanya ada satu hadis mengenai larangan menuliskan hadis yang bisa diterima, yaitu yang berasal dari Abu Said al-Khudri, versi yang bukan melalui jalur Abd al-Rahman ibn Zaid. Versi ini berbunyi :
dari Abu Said al-Khudri, bahwasanya Rasul Saw bersabda, “Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim)
Hadis Abu Said al-Khudri versi ini pun tidak terlepas dari adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Menurut Imam Bukhari, hadis ini sebenarnya adalah peryataan Abu Said sendiri, oleh karenanya adalah keliru apabila disandarkan kepada Nabi Saw.[9] Akan tetapi, pendapat yang cenderung lebih kuat mengatakan bahwa pernyataan tersebut adalah pernyataan Rasul Saw (hadis), dan maksud sebenarnya yang terkandung di dalamnya adalah bahwa tidak ada yang boleh ditulis bersama-sama dengan Al-qur’an pada lembaran kertas yang sama, karena hal yang demikian bisa menyebabkan seseorang yang membacanya menganggap kalimat-kalimat yang dituslikan di antara baris ayat-ayat Al-qur’an tersebut adalah sebagai bagian dari ayat-ayat Al-qur’an tersebut . Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa larangan tersebut disampaikan Rasul Saw pada masa Al-qur’an masih sedang turun dan teks Al-qur’an itu sendiri masih belum lengkap dan apabila kondisi yang demikian tidak ada lagi, maka tidak ada alasan yang tepat untuk melarang menuliskan hadis-hadis Nabi Saw.
Sementara itu Ajjaj al-Khatib memberikan simpulan tentang perbedaan pedapat mengenai penulisan hadis, sebagai berikut: pendapat pertama yang mengatakan bahwa hadis Abu Said al-Khudri sebagai mawquf adalah ditolak, karena ternyata hadis tersebut adalah shahih, dan dengan demikian dapat dijadikan dalil. Sedangkan ketiga pendapat berikutnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
Larangan Nabi Saw mengenai menuliskan hadis dan Al-qur’an dalam lembaran yang sama sehingga dikhawatirkan terjadinya pencampuradukan antara keduannya, adalah logis dan dapat diterima. demikian juga dengan halnya larangan tersebut ppada masa awal Islam dengan maksud agar umat Islam tidak disibukkan dengan menulis hadis sehingga mengabaikan Al-qur’an. Kemudian Nabi Saw memperkenankan menuliskannya bagi mereka yang bisa membedakan antara Al-qur’an dan hadis, sehingga tidak terjadi pencampurbauran antara keduannya; dan bagi mereka yang kurang hafalannya agar hadis tersebut tidak hilang dari ingatan mereka. Dengan demikian, ketika umat Islam sudah bisa menghafal dan memelihara Al-qur’an serta dapat membedakannya dari hadis Nabi Saw, maka larangan menuliskan hadis pun berakhir dan karennya untuk masa selanjutnya diperbolehkan menuliskannya.[10]
Terlepas dari adanya hadis-hadis yang bertentangan dalam penulisan hadis, ternyata di antara para sahabat terdapat mereka yang memiliki kumpulan-kumpulan hadis  dalam bentuk tertulis secara pribadi, seperti Abd Allah ibn Amr ibn al-Ash yang menghimpun hadis dan dinamainya dengan al-Shahifah al-Shadiqah, yang memuat seribu hadis. Demikian juga dengan Sad ibn Ubadah al-Anshari, Samrah ibn Jundub, Jabir ibn Abd Allah al-Anshari, Anas ibn Malik, dan Hamam ibn Munabbih, yang mereka semua juga memiliki himpunan hadis-hadis. Himpunan hadis milik Ibn Munabbih disebutnya dengan al-Shahifah al-Shahihah, yang diriwayatkan dari gurunya, Abu Hurairah.
4.    Faktor-Faktor yang Menjamin Kesinambungan Hadis
Ada beberapa factor yang mendukung terpeliharanyaa kesinambungan hadis sejak masa Nabi Saw, yaitu :
a.    Quwwat al-Dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para sahabat yang menerima dan mendengarkan langsung hadis-hadis dari Nabi Saw dan ketika mereka meriwayatkan hadis-hadis yang sudah menjadi hafalan mereka tersebut kepada sahabat lain ataupun generasi berikutnya, mereka menyampaikannya persis seperti yang mereka hafal dari Nabi Saw.
b.    Kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw. Hal ini mereka lakukan adalah karena takut salah atau tercampurkan sesuatu yang bukan hadis ke dalam hadis. Karena kehati-hatian tersebutlah, maka sebagian sahabat ada yang sedikit sekali meriwayatkan hadis, seperti Umar ibn al-Khathab
c.    Kehati-hatian mereka dalam menerima hadis, yaitu bahwa mereka tidak tergesa-gesa dalam menerima hadis dari seseorang, kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain itu ada orang lain yang ikut mendengarnya dari Nabi Saw atau dari perawi lain di atasnya. Menurut al-Hafidz al-Dzahabi,  Abu Bakar adalah orang pertama yang sangat berhati-hati dalam menerima hadis.
d.    Pemahaman terhadap ayat Al-qur’an
Musthafa al-Sibai berpendapat bahwa yang dijamin terpelihara dari usaha pengubahan (pemutarbalikan) adalah al-Dzikir, dan al-Dzikir selain Al-qur’an juga meliputi sunnah dan hadis. Dan, apabila penjamin yang cukup penting karena sifatnya langsung dari Allah Swt.[11]

B.   Hadis pada Masa Sahabat

Para sahabat sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar bagi kelangsungan syariat Islam adalah menerima dan melaksanakan segala amanah Rasulullah. Amanah itu esensinya tertuang pada Al-qur’an dan hadis sebagaimana sabdanya ketika menjelang akhir kerasulannya, yang berbunyi :
“Aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduannya, yaitu kitab Allah (Al-qur’an) dan sunahku.” (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah).
Pada hadis lain Rasul juga berpesan :
Dari Abdullah bin Amr bin Ash’ berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat dan ceritakanlah hadis kepada Bani Israil tidak mengapa, dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempat duduknya yang layak adalah neraka.” (HR. Bukhari).
Amanah Rasul di atas, di samping terpelihara dalam kehidupan keseharian mereka dalam beribadah dan bermuamalah, juga dalam tekad dan semangat yang terpatri dalam hati masing-masing. Oleh karena itu, segala perhatian mereka tercurahkan untuk semata-mata melaksanakan dan memelihara pesan-pesan itu, melaksanakan segala yang dicontohkannya dan menjaganya melebihi menjaga diri, keluarga dan kekayaannya.
1.    Kehati-Hatian Para Sahabat dalam Menerima dan Meriwayatkan Hadis
Meskipun perhatian para sahabat setelah Rasul wafat terpusat kepada uapaya pemeliharaan dan penyebaran Al-qur’an, tetapi tidak berarti mereka melalaikan sebagaimana halnya yang diterimanya secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi, dalam meriwayatkannya, mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.[12]
Sikap kehati-hatian juga ditunjukan oleh Umar bin Khathab, ia seperti halnya Abu Bakar, meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi, saksi dari orang tertentu saja, seperti hadis-hadis dari ‘Aisya. Sikap kedua sahabat ini juga diikuti oleh Utsman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara di atas juga terkadang mengujinya dengan sumpah.
Perlu juga dijelaskan bahwa pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya Al-qur’an. Hal ini disebabkan, antara lain : pertama, agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-qur’an; kedua, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul saw. sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan masing-masing sebagai pembina masyarakat, sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan mengumpulkan mmerekka secara lenngkap; ketiga, bahwa soal membukukan hadis di kalangan para sahabat sendiri terrjadii perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafal dan sahihnya.
2.  Masa Penyebarluasan Periwayatan Hadis
Setelah Nabi SAW Wafat, yakni dalam periode Sahabat, para Sahabat tidak lagi mengurung diri di Madinah. Mereka telah memulai menyebar ke kota-kota lain selain Madinah. Intensitas penyebaran Sahabat ke daerah-daerah ini terlihat begitu besar terutama pada masa kekhalifahan ‘Utsman ibn ‘Affan, yang memberikan kelonggaran kepada para Sahabat untuk meninggalkan kota Madinah.[13] Wilayah kekuasaan Islam pada periode ‘Utsman telah meliputi seluruh jazirah Arabia, wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkand.
Pada umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat mendirikan masjid-masjid di daerah-daerah baru itu; dan ditempat-temoat yang baru itu sebagian dari mereka menyebarkan ajaran Islam dengan jalan mengajarkan Al-Qur’an da Hadis Nabi SAW kepada penduduk setempat. Dengan tersebarnya pada Sahabat ke daerah-daerah disertai dengan semangat menyebarkan ajaran Islam, maka tersebar pulalah Hadis-Hadis Nabi SAW.
Diantara kota-kota yang banyak terpadu para Sahabat dan aktivitas periwayatan hadis adalah : Madinah, Mekah, Kufah dan Basrah.
Di kota-kota lain, seperti Syam, Mesir, Yaman, khurasan, juga terdapat sejumlah Sahabat yang aktif mengajar dan menyebarkan Hadis-Hadis Nabi SAW, yang pada tahapan selanjutnya melahirkan tokoh-tokoh Hadis dari kalangan Tabi’in yang berperan dalam penyebaran Hadis.[14]
3.   Penulisan Hadis pada Masa Sahabat
Meskipun ada riwayat yang berasal dari Rasul SAW yang Memperbolehkan untuk menuliskan Hadis, dan terjadinya kegiatan penulisan Hadis pada masa Rasul SAW bagi mereka yang diberi kelonggaran oleh Rasul SAW untuk melakukannya, namun para Sahabat pada umumnya menahan diri dari melakukan penulisan Hadis di masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin. Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur’an al-Karim dan sekaligus Sunnah (Hadis). Akan tetapi, keadaan yang demikian tidak berlangsung lama, karena ketika ‘illat larangan untuk menuliskan Hadis secara bertahap hilang maka semakin banyak pula para Sahabat yang memperbolehkan penulisan Hadis.
Akan tetapi, Abu bakar al-Shiddiq seorang Sahabat berpendirian tidak menuliskan Hadis. Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan Hadis pada masa-masa itu di antaranya, adalah ‘Abd Allah ibn Mas’ud, ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, ibn’Abbas, dan Abu Sa;id al-Khudri.
Akan tetapi, tatkala sebab-sebab larangan penulisan hadis tersebut, yaitu kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara Al-Qur’an dengan Hadis atau dengan yang lainnya telah hilang, maka para Sahabat pun mulai mengendorkan larangan tersebut, dan bahkan diantaranya mereka ada justru melakukan atau menganjurkan untuk menuliskan hadis seperti yang dilakukan Umar.
Demikian pula halnya dengan para Sahabat lain yang semula melarang melakukan penulisan Hadis, namun setelah kekhawatiran akan tersia-sianya Al-Qur’an, salah satu penyebab utama pelarangan penulisan Hadis tersebut, hilang maka mereka memulai membolehkan, bahkan melakukan sendiri penulisan hadis.[15]

C.   Hadis pada Masa Tabi’in

1.    Sikap dan Perhatian Para Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hatii dalam meriwayatkan hadis. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika yang dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Sealin itu, pada masa akhir periode khulafa’ ar-rasyidin (masa khalifah Utsman bin Affann) para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka.
Hadis-hadis yang diterima oleh para tabiin ini, seperti telah disebutkan, ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada yang harus dihapal,  di samping dalam bentuk yang sudah berpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan.
2.    Pusat-Pusat Kegiatan Pembinaan Hadis
Sesuai dengan tersebarnya para sahabat di wilayah-wilayah kekuasaan Islam, maka tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, dan pada gilirannya menjadi kegiatan para tabi’in dalam meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada para muridnyaa (tabiin). Kota-kota tersebut ialah Madinah al-Munawwarah, Makkah al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib, Andalus, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah shabat Pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banya, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, A’isyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id al-Khudri.[16]
3.    Perpecahan dan Pemalsuan Hadis
Peristiwa yang mengkhawatirkan dalam sejarah perjalanan hadis ialah terjadinya pemalsuan hadis ialah terjadinya pemalsuan hadis, yang salah satu penyebabnya ialah terjadinya perpecahan politik dalam pemerintahan. Di pandang mengkhawatirkan karena merupakan tindakan yang mencemarkan dan menodai kemurnian hadis dari dalam dan ini oleh para pengingkar dan orientalis, dijadikan salah satu alasan kuat untuk melemahkan kedudukan hadis.
Selain karena perpecahan politik ada beberapa factor lain yang juga menyebabkan adanya pemalsuan hadis, di antaranya :
a.    Kafir Zindiq
b.    Satu kaum yang memalsukan hadis karena karena mengikuti hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada penguasa
c.    Qashas (tukang-tukang cerita)
d.    Satu kaum yang memalsukan hadis-hadis untuk tujuan yang menguntungan dirinya
e.    Fanatisme golongan, jenis, negeri dan lainnya
f.     Semakin terpecah-pecahnya umat Islam dalam golongan-golongan yang beraneka ragam.
Untuk membedakan hadis shahih dengan hadis palsu dapat di lihat dari segi sanad, perawi dan matannya. Syarat-syarat hadis shahih, yaitu :
a.    Sanadnya bersambung
b.    Perawinya adil
c.    Perawinya dhabit
d.    Tidak syadz (janggal)
e.    Tidak ber-illat
Jika suatu hadis tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih maka dapat dikatakan bahwasanya hadis tersebut merupakan hadis palsu.


BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

1.    Cara penyampaian hadis pada masa Nabi SAW yaitu pertama, melalui para jamaah melalui pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi. Kedua, Rasul saw. menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makah. Keempat, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musyahadah), seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
2.    Pada masa Nabi SAW penulisan hadis tidak atau belum ditulis secara resmi dikarenakan terjadi perselisihan terkait dengan penulisan hadis.
3.    Faktor yang menjaga kesinambungan hadis yaitu :
a.    Quwwat al-Dzakirah.
b.    Kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw.
c.    Kehati-hatian mereka dalam menerima hadis.
d.    Pemahaman terhadap ayat Al-qur’an.
4.    Pada masa sahabat dan tabi’in, perhatian mereka masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-qur’an. Dengan demikian, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, bahkan mereka berusaha membatasi periiwayatan hadis tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan (at-tsubut wa al-iqlal ar-riwayah).
4.    Perluasan periwayatan hadis sepeninggal Nabi SAW semakin berkembang karena para sahabat tidak lagi mengurung diri di Madinah. Mereka telah memulai menyebar ke kota-kota lain selain Madinah. Intensitas penyebaran Sahabat ke daerah-daerah ini terlihat begitu besar terutama pada masa kekhalifahan ‘Utsman ibn ‘Affan, yang memberikan kelonggaran kepada para Sahabat untuk meninggalkan kota Madinah. Pada umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat mendirikan masjid-masjid di daerah-daerah baru itu; dan ditempat-temoat yang baru itu sebagian dari mereka menyebarkan ajaran Islam dengan jalan mengajarkan Al-Qur’an da Hadis Nabi SAW kepada penduduk setempat. Dengan tersebarnya pada Sahabat ke daerah-daerah disertai dengan semangat menyebarkan ajaran Islam, maka tersebar pulalah Hadis-Hadis Nabi SAW.

B.   Saran

Semoga dengan penulisan makalah ini dapat memberi wawasan kepada pembaca mengenai hadis pada masa Nabi,, Sahabat dan tabi’in. Kami menyarankan agar pembaca mencari referensi lain untuk lebih memperdalamnya.













DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Izzan dan Saifudin Nur. 2011.  Ulumul Hadis. Bandung : Tafakur.
Soharo Sahrani.2010. Ulumul Hadis. Bogor : Ghalia Indonesia.



[1] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Bogor, Ghalia Indonesia, h. 49-50, 2010.
[2] Ibid, h. 50-52.
[3] Ahmad Izzan dan Saifudin Nur, Ulumul Hadis, Bandung, Tafakur, h. 40-42, 2011..
[4] Ibid, h. 42-43.
[5] Ibid, h. 44-45.
[6] Ibid, h. 45-46.
[7] Ibid, h. 46-47.
[8] Ibid, h. 48.
[9] Ibid, h. 48-49.
[10] Ibid, h. 50-51.
[11] Ibid, h. 51-52.
[12] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Bogor, Ghalia Indonesia, h. 57-60, 2010.
[13] Ahmad Izzan dan Saifudin Nur, Ulumul Hadis, Bandung, Tafakur, h. 55, 2011.
[14] Ibid, h. 55-57.
[15] Ibid, h. 58-59.
[16] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Bogor, Ghalia Indonesia, h. 62-63, 2010.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...