Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti
Ramadhan Jalabi. Fatimah ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara
kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya pakaian yang bagus-bagus dengan
uangnya sendiri, demikian pula untuk
membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri. Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah.
membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri. Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah.
Pada tahun 1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia
berkenalan dengan orang benama Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang
budak perempuan berkulit putih, masih perawan, dan bertubuh langsing. Pulang
dari ibadah haji, ia mencari budak perempuan dengan ciri-ciri tersebut, dan cukup
lama ia baru mendapatkannya. Abdullah memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya
itu kepada isterinya. Tetapi sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia
bahkan menganggapnya sebagai puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling
mencintai, dan tidak mau berpisah selamanya.
"Jadi bagaimana ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya,
lalu kamu belikan budak yang lain."
"Baiklah," kata Abdullah setuju.
Oleh Fatimah, budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan,
dan dinikahkan dengan suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk
madunya tersebut.
Pada tahun 1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri.
Tetapi, istri pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun,
meski ia telah memiliki beberapa orang anak. Pada tahun 1182 isteri kedua jatuh
sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama sakit keduanya kian parah.
Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun dari pembaringan. Ia menangis
melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa, "Tuhan, jika
Engkau takdirkan ia meninggal, jangan ia mendahuluiku." Benar... Malamnya,
isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di samping isteri pertama.
Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia membangunkan madunya. Namun,
ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya sudah meninggal. Ia menangis
melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut menyaksikan madunya
dimandikan, ia pun kembali ke pembaringannya. Petang hari ia meninggal dunia,
dan jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya. [Sumber: 'Aja'ib al Atsar, al
Jibrati,Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia]
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...