PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang dibawa Nabi Muhammad yang menggunakan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum Islam yang pertama, dan menjadi tuntunan bagi seluruh umat
manusia khususnya umat muslim. Sedangkan sumber hukum Islam yang kedua adalah
Hadits. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat jibril dan apabila seseorang membacanya maka ia akan
mendapatkan pahala.
Sedangkan
secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan
dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan
keizinan Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Al-Qur’an dan Hadits
merupakan dua pedoman umat muslim yang saling berhubungan satu sama lain. Untuk
itu di bawah ini
di paparkan penjelasan mengenai argumentasi kehujjahan hadits daan hubungan
Hadits dengan Al-Qur’an.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa saja argumentasi kehujjahan hadits.?
2.
Bagaimana pendapat para ahli terhadap kehujjahan
hadits.?
3.
Bagaimana kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an.?
4.
Apa saja fungsi hadits terhadap Al-Qur’an.?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui argumentasi kehujjahan hadits.
2.
Mengetahui pendapat para ahli terhadap kehujjahan
hadits.
3.
Mengetahui kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an.
4.
Mengetahui fungsi hadits terhadap Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Argumentasi Kehujjahan Hadis
Untuk membuktikan kebenaran hadis sebagai sumber
ajaran islam, para ulama hadis mengemukakan beberapa argumentasi baik dilihat
dari segi rasional dan teologis, Al-Qur’an, sunnah, maupun ijma’.[1]
1.
Argumentasi Rasional/Teologis Kehujahan
Hadis dapat diketahui melalui argumentasi rasional dan teologis sekaligus.
Beriman kepada rosulullah merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini
oleh setiap muslim. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar
manusia beriman dan menaati nabi. Menurut Muhammad Ajjaj al-Khathib, bila
seseorang mengaku beriman kepada Rasulullah, maka konsekuensi logisnya menerima
segala sesuatu yang datang dari dirinya yang berkaitan dengan urusan agama,
karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan syari’at-Nya kepada umat
manusia. Allah juga memerintahkan untuk beriman dan mentaati Nabi.[2] Dengan demikian, menerima
hadis sebagai hujjah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan
seseorang. Apabila ia tidak menerima hadis sebagai hujjah, maka sama halnya ia
tidak beriman kepada Rosulullah. Jika tidak beriman kepada Rasulullah, maka ia
kafir karena tidak memenuhi salah sati dari enam rukun iman.
2.
Argummentasi Al-Qur’an
Didalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa nabi
Muhammad memliki peran sangat penting dalam kaitan dengan agama. Pertama, Nabi
diberi tugas untuk menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah dalam surat
An-Nahl:44
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya: keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan,
Kedua, Nabi sebagai suri teladan (uswatun hasanah) yang wajib diikuti oleh
umat islam, Allah berfirman pada surat AlAhzab:21
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Ketika Nabi wajib ditaati
oleh segenap umat muslim sebagaimana dijelaska pada surat Al-Anfal:20
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# ¼ã&s!qßuur wur (#öq©9uqs? çm÷Ytã óOçFRr&ur tbqãèyJó¡n@ ÇËÉÈ
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling
dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya),
Disamping itu, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang
memerintah manusia untuk taat kepada Nabi. Diantaranya adalah surat An-Nisa:59,
Allah berfirman:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Selain ayat-ayat diatas, masih banyak lagi
ayat-ayat yang sejenis yang menjelaskan tentang ketaatan Allah kepada Rasul-Nya
seperti surat Al-Maidah:92 dan Al-Nur:54. Beberapa ayat Al-Qur’an diatas
menunjukan bahwa ketaatan kepada Rasulullah bersifat mutlak.
3.
Argumentasi Sunnah
Kehujjahan dapat diketahui pula melalui
pernyataan Rasulullah sendiri melalui hadis-hadisnya. Banyak hadis yang
menggambarkan tentang perlunya taat kepada Nabi Muhammad. Diantaraya, pesan
tentang keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup di samping Al-Quran
agar manusia tidak tersesat, Nabi bersabda yang artinya:
“Aku tinggalkan dua
pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya niscaya tidak akan
tersesat, yaitu kitab Allah(Al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya. (HR.Al-Hakim
Al-Naysaburi).[3]
4.
Argumentasi Ijma’
Mengamalkan sunnah Rasulullah wajib menurut Ijma’ para sahabat. Tidak
seorang pun diantara mereka yang menolak tentang wajibnya taat kepada
Rasulullah. [4] bahkan, umat islam telah bersepakat mengenai kewajiban mengikuti sunah.
Kewajiban mengikuti sunnah ini dikuatkan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan
sunnah,[5] sebagaimana telah di jelaskan diatas.
Ijma’ umat islam untuk menerima dan mengamalkan sunnah sudah ada sejak
zaman Nabi, para khulafa al Rasydin, dan para pengikut mereka. Banyak contoh
yang bisa menjelaskan betapa para sahabat sangat mengagumi Rasulullah dan
melakukan apa yang dilakukannya. Dan diantaranya Abu bakar pernah berkata: “
Aku tidak meninggalkan sesuatupun yang dilakuka Rasulullah, maka pasti aku akan
melakukannya…”
B. Kehujjahan Hadis Menurut Para Ahli
Contoh dari sebuah hadis, “Sesungguhnya mayat itu disiksa sebab ditangisi
oleh keluarganya.” (HR. Bukhari).[6] Hadis ini sahih dari segi
sanadnya, sebagaimana tercatat dalam kitab Shahih Bukhari. Akan tetapi, jika
dilihat dari segi kandungan maknanya, hadis tersebut bertentangan dengan
beberapa ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa amal perbuatan seseorang akan
mendapat balasan dari Allah Swt. Hanya karena amalnya dan bukan karena amal
orang lain. Salah satu ayat Al-Qur’an menyatakan bahwa dosa seseorang tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain. [7]
Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Isra[17]:15
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒt $pkön=tæ 4 wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Artinya: Barangsiapa yang
berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus
seorang rasul.
Dengan adanya penegasan
diatas, hadis tersebut termasuk kedalam kategori hadis sahih segi sanadnya
sebagaimana berdasarkan kualitas para perawi yang meriwayatkan hadis tersebut.
Akan tetapi maknanya dha’if. Hadis demikian tidak bisa di jadikan hujjah sebab
yakin bahwa hal itu bukan ucapan Rasulullah
Saw.
Karena riwayat itu
bersumber dari Umar dan Ibn Umar, dan keduanya menjadi sanad hadis tersebut
artinya keduanya mendengar riwayat itu dari Rasulullah Saw. Jika demikian,
apakah kedua sahabat (ayah dan anak) itu berdusta atau salah mendengar? Menurut
ukuran rasio, tak mungkin sahabat setingkat umar dan Ibn Umar dikenal sebagai
tokoh cendekia dari kalangan sahabat nabi itu berbuat kesalaha yang fatal.
Al-Qasim Ibn Muhammad
berkata, ketika sampai kepada Aisyah perkataan Umar dan Ibn Umar itu, Aisyah
menyatakan bahwa sesungguhnya kamu menceritakan kepadaku bahwa hadis itu bukan
diriwayatkan oleh orang yang biasa berdusta dan tidak biasa di dustakan.,
tetapi (bisa saja) pendengaran yang salah pendengaran yang salah (atau salah
dengar). (Riwayat Muslim)[8]
Aisyah tidak menuduh dusta kepada Umar dan Ibn Umar, apalagi menuduhnya
sebagai pendusta, tetapi iya menyangssikan hadis itu datangnya dari Rasul dan
ia menyakini bahwa keduana saklah dengar.
Hasan, seorang ulama Persatuan Islam, yang dikenal sangat konsisten dalam
menggunakan dalil dari Al-Qur’an dan hadis Nabi, ketika member pandangan
mengenai mayat disiksa karena tangisan keluargaya, sebagaimana yang terdapat
dalam hadis riwayat Bukhari diatas, dan seperti yang dikritik oleh Muhammad
Al_Ghazali sebelum mengemukakan pendapatnya mengenai hadis tersebut, ia
berpendapat bahwa salah satu syarat hadis itu shahih adalah maknanya tidak
bertentangan dengan dalil yang qath’I yaitu Al-Qur’an atau hadis Mutawatir.
Dengan demikian, dalam kerangka berfikir A. Hasan, hadis itu atau yang
semacamnya tidak boleh untuk dijadikan berhujjah.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap
menentang makna hadis diatas adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah Swt dalam QS Al-Baqarah:286
4…. $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 ….
Artinya:
ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya.
Maksudnya, kebaikan yang
dikerjakaan oleh seseorang, tidak akan dapat ganjarannya, melainka dirinya
sendiri, dan kejahatan yang dikerjakan olehnya,
tidak akan dapat azabnya melainkan dia sendiri.[9]
2.
Firman Allah Swt dalam
QS.Fussilat:46
ô`¨B @ÏHxå $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù ( ô`tBur uä!$yr& $ygøn=yèsù 3 $tBur y7/u 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇÍÏÈ
Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya
sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk
dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.
Maksudnya kebaikan yang
dikerjakan oleh seseorang adalah untuk dirinya, tidak untuk orang lain, begitu
juga kejahatan.
3.
Firman Allah Swt dalam QS.
An-Najm:38-39
wr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
Artinya: 38. (yaitu)
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, 39. dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya,
Maksudnya, tiap-tiap orang
akan memikul dosanya sendiri, dan tiap-tiap orang akan mendapat ganjaran dari
pembuatnya sendiri, tidak dari perbuatan dan usaha orang lain. Demikian pula,
ayat-ayat Al_Qur’an yang dianggap menentang makna hadis yang menyatakan bahwa
mayit di siksa karena tangisan keluargaya.
Pendapat ulama yang lain
yang menolak kesahihan hadis di atas, sebagaimana dikutip oleh A.Hassan[10]
adalah sebagai berikut:
a.
Pendapat Imam Ath-Thabari,
“Tidak dibalas seseorang yang beramal, melainkan dengan amalnya baik ataupun
jahat. Tidak di siksa melainkan orang yag mengerjakan dosa, dan tidak diberi
ganjaran orang yang tidak mengerjakan kebaikan.
b.
Pendapat Imam FahrAr_Razy,
“Sesungguhnya kebaikan orang lain tidak bisa memberi manfaat karena barang
siapa tidak beramal saleh, ia tidak akan mendapat kebaikan.” Sempurna dan
nyatalah dengan ayat itu bahwa orang yang berdosa itu tidak bisa mendapat ganjaran,
dengan sebab kebaikan orang lain, dan tidak seorang pun akan menanggung
dosanya.
c.
Pendapat Imam Ibn
Katsir,”sebagaimana tidak dibebankan atas seseorang, dosa orang lain, begitu
juga ia tidak bisa mendapat ganjaran, melainkan atas apa yang ia kerjakan
sendiri untuk dirinya.
Demikian beberapa pendapat
para ahli mengenai makna hafis yang menyatakan bahwa mayat di siksa karena
tangisan keluarganya. Bila pendapat-pendapat itu diringkas, tampak bahwa amal
perbuatan itu sama sekali tidak akan berakibat bertambahnya dosa atau ganjaran
terhadap orang lain. Dengan demikian, kehujjahan hadis tersebut bertolak
sebagai hadis shahih.[11]
C. Kedudukan Hadits Terhadap Al-Qur’an
Hadits Nabi
SAW merupakan penfsiran Al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam
secara faktual dan ideal. Mengingat bahwa pribadi Rasulullah merupakan
perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.[12]
Di masa
Rasulullah SAW masih hidup, para sahabat mengambil hukum-hukum Islam (syariat) dari Al-Qur’an yang mereka terima
dan dijelaskan oleh Rasulullah. Dalam beberapa tempat, penjelasan-penjelasan
yang diisyaratkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an hanya bersifat (mujmal) umum atau mutlak. Misalnya tentang perintah shalat yang
diungkapkan secara (mujmal), tidak
menerangkan bilangan rakaatnya, tidak menerangkan cara-caranya maupun syarat
rukunnya.[13]
Kedudukan
hadits dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut
jumhur Ulama, adalah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Argumen yang
dikemukakan para Ulama tentang hadits terhadap Al-Qur’an, sebagai berikut[14]:
1.
Al-Qur’an
bersifat qath’I al-wurud (keberadaannya yang pasti dan diyakini),
baik secara ayat per ayat maupun secara keseluruhan. Sedang hadits
bersifat zhanni al-wurud
(memandang hadits secara hadist per hadits, ini menunjukkan boleh jadi ada satu
ulama memandang shahih satu hadits, tetapi ulama lain tidak memandang hadits
itu shahih. Karena itu yang qath’I harus didahulukan dari pada yang
dzanni.
2.
Hadits befungsi
sebagai penjabaran dan penjelas (bayan) Al-Qur’an. Ini harus diartikan bahwa
yang menjelaskan berkedudukan setingkat dibawah yang dijelaskan. Bahwa
Al-Qur’an yang dijelaskan (al-mubayyan)
, maka kedudukannya adalah lebih tinggi dari pada penjelasan (al-bayan), yakni hadits.
3.
Sikap para sahabat yang merujuk kepada Al-Qur’an
terlebih dahulu apabila mereka bermaksud mencari jalan keluar atas suatu
masalah, dan jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemui penjelasanya, barulah mereka
merujuk kepada Al-sunnah yang mereka ketahui, atau menanyakan hadits kepada
sahabt yang lain.
4.
Hadits Mu’adz secara tegas menyatakan urutan
kedudukan antara Al-Qur’an dan hadits sebagai berikut:
Saat Rasulullah Shallalla hu'alaihi
wasallam mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau bersabda:
Apa yg akan kau lakukan bila terjadi
perkara yg harus kau hukumi? Ia Mu'adz menjawab; Aku menghukumi
berdasarkan yg ada dalam kitab Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: Bila didalam kitab Allah tak ada, apa yg akan kau lakukan bila
terjadi perkara yg harus kau hukumi? Ia Mu'adz menjawab; Dengan sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: Bila tak ada dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam? Ia
Mu'adz menjawab; Saya berijtihad degan pendapatku, & saya tak mengabaikannya.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menepuk dadaku &
bersabda: Segala puji bagi Allah yg memberi pertolongan pada utusan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk sesuatu yg membuatnya ridha. [HR. Ahmad No.21000].[15]
Selanjutnya ada
beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang membuktikan bahwa kedudukan hadits
sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an dalam ajaran islam. Surat An-Nisa ayat 59 menyatakan:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$#
óOä3ZÏB ( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î)
«!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Selanjutnya dalam
hadits Nabi ditegaskan:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَااِنْ
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدًَا كِتَابَ اللّه وَسُنَّة
رَسُوْلِهِ
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, selama kalian
berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat,kitabullah (Qur’an) dan
sunnah Rasulnya”. (HR.Abu Daud).
Dalam
menyikapi masalah kedudukan hadist, Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa
Rasulullah adalah merupakan sumber hukum kedua bagi Islam setlah Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan undang-undang yang membuat pokok-pokok dan kaidah-kaidah
mendasar bagi Islam, yang mencakup bidang akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan
adab sopan santun. Selanjutnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa sunah
(hadits) merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi Al-Qur’an. Oleh sebab
itu, kita harus mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang
diberikan oleh sunah Rasulullah SAW, menaati perintah Rasulullah adalah wajib,
sebagimana kita menaati apa yang disampaikan oleh Al-Qur’an.[16]
Argumen di
atas menjelaskan bahwa kedudukan hadits Nabi SAW berada pada peringkat kedua
setelah Al-Qur’an. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi nilai
hadits, karena keduanya pada hakikatnya sama-sama berasal dari wahyu ALLAH SWT.
Karena keduanya seiring dan sejalan. Banyak ayat Al-Qur’an yang menelaskan dan
memerintahkan agar kita bersikap patuh dan taat kepada ALLAH SWT dan Rasul-Nya.
Hal tersebut termuat di dalam firman ALLAH.
Surat Al-Najm ayat: 3-4
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Artinya:
3. Dan tiadalah yang diucapkannya
itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Surat An-Nissa’ ayat: 80
`¨B ÆìÏÜã tAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøn=tæ $ZàÏÿym ÇÑÉÈ
Artinya:
Barang siapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah.
dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
D. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Sebagimana dijelaskan di atas bahwa
Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum, dan ajaran dalam
Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan keduanya
merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak
memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran
hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi
Al-Qur’an. Ini bersesuaian dengan firman ALLAH SWT:[17]
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan. (QS. An-Nahl ayat: 44)
Menurut Al-Syathibi, tidak ada satu pun
permasalahan yang dibicarakan oleh hadits kecuali maknanya telah ditunjukkan
oleh Al-Qur’an, baik secara umum atau secara terperinci.[18]
Fungsi-fungsi hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai beriku:
1. Fungsi hadits yang pertama adalah menguatkan dan
menegaskan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an contohnya dalam Al-Qur’an
terdapat kewajiban beriman kepada Allah dan Rasulnya yaitu di dalam surat Al-A’raff ayat: 158:
ö@è% $ygr'¯»t ÚZ$¨Z9$# ÎoTÎ) ãAqßu «!$# öNà6ös9Î) $·èÏHsd Ï%©!$# ¼çms9 Ûù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd ¾Çósã àMÏJãur ( (#qãYÏB$t«sù «!$$Î/ Ï&Î!qßuur ÄcÓÉ<¨Y9$# ÇcÍhGW{$# Ï%©!$# ÚÆÏB÷sã «!$$Î/ ¾ÏmÏG»yJÎ=2ur çnqãèÎ7¨?$#ur öNà6¯=yès9 crßtGôgs? ÇÊÎÑÈ
Artinya:
Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan
mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".
Selanjutnya dalam hadits juga dikatakan yaitu: (رواه مسلم)
“Iman itu ialah engkau memercayai Allah,malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya,Rasul-rasul
Nya,hari akhir dan beriman kepada qadar yang bai dan yang buruk-Nya”.(HR.Muslim).
2. Fungsi kedua Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi
sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari pada ayat-ayat
tertentu. Fungsi Hadits Rasulullah SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu
bermacam –macam. Seperti berikut:
a.
Bayan Al-Taqrir
Bayan
al-taqrir disebut juga bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat, yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam Al-Qur’an.[19] Fungsi
hadits ini dalam Al-Qur’an hanya memperkokoh isi kandungan , seperti pada
Al-Qur’an (QS. Al-Maa-idah ayat: 6)
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$#
........4 ÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...
Ayat tersebut di taqrir oleh hadis riwayat al-Bukhari dari abu Huraira r.a.
Abu Hurairah r.a. berkata, "Rasulullah saw bersabda, 'Tidaklah
diterima shalat orang yang berhadats sehingga ia berwudhu." (H.R. Bukhari)
b.
Bayan At-Tafsir
Yang
dimaksud dengan baya at-tafsir adalah
penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan perincian atau
penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat bersifat global (mujmal), memberi persyaratan atau batas
(Taqyid) pada ayat-ayat Al-Qur’an
yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish)
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum[20]. Sebagi
contoh dibawah ini akan dikemukakan beberapa hadits yang berfungsi bayan tafsir:
1)
Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang mujmal (global)[21].
“Shalatlah sebagaimana engkau
melihat aku shalat”. (H.R. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan
bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-Qur’an tidak menejlaskan secara
rinci. Salah satu ayat memerintahkan shalat adalah:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya: Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku. (QS. Al-Baqarah
ayat: 43).
2)
Memberi batasan taqyid terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak. Umpamany
hadis berikut[22]:
“Rasulullah SAW didatangi
sesorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari
pergelangan tangan”. Di dalam Al-Qur’an disebutkan secara mutlak pada QS. Al-Ma’idah ayat: 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r&
........ ÇÌÑÈ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya....
Ayat tersebut masih bersifat mutlak, yaitu belum diterangkan tentang
batasan yang jelas dari tangan yang akan dipotong dalam pelaksanaan potong
tangan tersebut, maka hadits Nabi SAW datang menjelaskan batasannya (taqyid), yaitu bahwa yang di potong itu
adalah hingga pergelangan tangan saja.
3)
Mengkhususkan (takhshish)
ayat-ayat yang bersifat umum. Seperti mengkhususkan penjelasan Rasul SAW
tentang ayat Al-Qur’an berikut[23]: (QS. An-Nisa’ ayat: 11)
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# .......4 ÇÊÊÈ
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan.
Ayat di atas masih bersifat umum, kemudian hadits mengkhususkannya, di
antaranya bahwa keturunan Rasul tidak mewarisi, sebagaimana dijelaskan deliau
dalam sabdanya:
“kami, seluruh para Nabi, tidak diwarisi, apa yang kami tinggal adalah
sedekah”. (H.R. Bukhari).
c.
Bayan At-Tasyri’
Bayan at-tasyri merupakan mewujudkan suatu hukum atau
ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an, atau di dalam Al-Qur’an
hanya terdapat pokok-pokok saja. Menetapkan hukum, aturan-aturan yang tidak
didapati di dalam Al-Qur’an, misalnya dalam permasalahan perkawinan (nikah). ALLAH
SWT menghalakan persetubuhan dengan jalan nikah, dan mengharamkan lantaran
zina. Maka bagaimanakah persetubuhan itu terjadi sesudah nikah yang menyalahi
syarat? Maka Rasulullah bersabda[24];
“Siapa saja
wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka kalau sudah
terjadi persetubuhan dengannya maka dia berhak menerima mahar lantaran
persetujuan itu” (H.R. Abu Daud dan
At-Turmuzi).
Satu contoh
hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
“ Bahwa sanya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam
pada bulan Romadlon satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang,
baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim”. (H.R. Muslim).
d.
Bayan An-Nasakh
Kata an-naskh
secara bahasa mempunyai beberapa arti, di antaranya berarti al-ibhral (membantalkan), atau al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyil (mengubah). Dalam
mendefinisakn bayan an-naskh ini,
para ulama berbeda pendapat. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka
dalam memahami arti naskh dari sudut
kebahasaan, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dalam
menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan
ulama mutakodimin. Menurut ulama mutakodimin bahwa terjadinya nasakh ini karena
adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum meskipun jelas, karena telah
berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syari’
(pembuat syariat) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan selamanya[25].
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh
para ulama ialah hadits yang berbunyi :
Laa washiyyata liwaarisin3
“ tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (H.R.
Ahmad dan Al-Arba’ah kecuali Nasai)
Hadits di atas menurut sebagian ulama dapat men-askah-kan kandungan Al-Qur’an (QS.
Al-Baqarah ayat: 180)
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.
Sementara
yang menolak naskh jenis ini adala
Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang
menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Zhahiriyah dan kelompok Khawarij.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Argumentasi kehujjahan hadits dapat di lihat dari:
a. Dari segi pandang
rasional dan teologi yaitu dengan menggunakan akal.
b. Dari segi pandang
Al-Qur’an yaitu bahwa Al-Qur’an menyuruh kita untuk menaati Rasul.
c. Dari segi pandang
sunnah yaitu dengan kata-kata dan perbuatan Nabi.
d. Dari segi pandang
ijma yaitu dari perkataan para sahabat Nabi.
2.
Pendapat para ahli tentang kehujjahan hadits
yaitu:
a. Pendapat Imam Ath-Thabari, “Tidak dibalas seseorang yang
beramal, melainkan dengan amalnya baik ataupun jahat. Tidak di siksa melainkan
orang yag mengerjakan dosa, dan tidak diberi ganjaran orang yang tidak
mengerjakan kebaikan.
b. Pendapat Imam FahrAr_Razy, “Sesungguhnya kebaikan orang
lain tidak bisa memberi manfaat karena barang siapa tidak beramal saleh, ia
tidak akan mendapat kebaikan.” Sempurna dan nyatalah dengan ayat itu bahwa
orang yang berdosa itu tidak bisa mendapat ganjaran, dengan sebab kebaikan
orang lain, dan tidak seorang pun akan menanggung dosanya.
c. Pendapat Imam Ibn Katsir,”sebagaimana tidak dibebankan
atas seseorang, dosa orang lain, begitu juga ia tidak bisa mendapat ganjaran,
melainkan atas apa yang ia kerjakan sendiri untuk dirinya.
3.
Kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an adalah,hadits sebagai penjabaran dan penjelas (bayan) Al-Qur’an, serta hadits merupakan sumber hukum
kedua bagi Islam setelah Al-Qur’an.
4.
Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an ada dua nyaitu:
a. Fungsi hadits yang pertama adalah menguatkan dan
menegaskan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
b. Berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari pada ayat-ayat
tertentu.
Fungsi Hadits Rasulullah
SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an Seperti berikut:
1)
Bayan Al-Taqrir
2) Bayan At-Tafsir
3) Bayan At-Tasyri’
4) Bayan An-Nasakh
B. SARAN
Semoga makalah yang
kami buat dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya. Dan dalam pembuatan
makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun kami harapkan untuk masukan dalam
pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,Muhammad &
Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka setia
Hassan. 1988. Tentang
Berbagai Masalah agama. Bandung: Diponegoro
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana
Izzan,Ahmad & Saifudin Nur. 2011. Ulumul hadis. Bandung: Tafakur (kelompok
HUMANIORA)- Anggota Ikapi berkhidmat untuk umat
Kaeruman,Badri.
2010. UlumAl-Hadis. Bandung:
Pustaka Seti
Tihami,M.A. 2010.
Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia
Indonesia
Yuslem,Nawir. 2001.
Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya
http://www.mutiarahadits.com/35/80/75/hadits-mu-adz-bin-jabal-radliyallahu-ta-
ala-anhu.htm. Palangka Raya: Jum’at, 12 September
[1] Idri, Studi Hadis,
(Jakarta:Kencana,2010),hlm.20
[2] Muhammad ‘Ajjaj
al-Khathib, Ushul al-Hadis, hlm. 36-37
[3] Dalam jalal al-Din Abd
Al-Rahman al-Suyuthi, jami’ al Shaghir, (Beiru:Dar al-Fikr,tth) hlm.130
[4] Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm
Ushul, hlm.30
[5] Muhammad Ajjaj al-Khatib ,
Ushul al Hadits, hlm. 43
[6] Lihat Shahih Al-Bukhari,
juz II, hlm.101
[7] Badri Kaeruman, UlumAl-Hadis
(Bandung:Pustaka Seti,2010), hlm.138
[8] Hassan, Tentang
Berbagai Masalah agama, (Bandung:Diponegoro,1988), hlm.1002
[9] Hassan, ibid
hlm.995
[10] Ibid, hlm.998
[11] Ibid, hlm143-145
[12] Muhammad Ahmad & Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka setia,
2004, hlm 18
[13] Ibid, hlm 19
[14] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001, hlm 63
[15] http://www.mutiarahadits.com/35/80/75/hadits-mu-adz-bin-jabal-radliyallahu-ta-ala-anhu.htm. Palangka Raya: Jum’at, 12 September 14,
17.36 WIB
[16] M.A. Tihami, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm 33
[17] H. Ahmad Izzan & Saifudin Nur, Ulumul hadis, Bandung: Tafakur (kelompok
HUMANIORA)- Anggota Ikapi berkhidmat untuk umat, 2011, hlm 29
[18] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001, hlm 68
[19] H. Ahmad Izzan & Saifudin Nur, Ulumul hadis, Bandung: Tafakur (kelompok
HUMANIORA)- Anggota Ikapi berkhidmat untuk umat, 2011, hlm 30
[20] M.A. Tihami, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm 39
[21] H. Ahmad Izzan & Saifudin Nur, Ulumul hadis, Bandung: Tafakur (kelompok
HUMANIORA)- Anggota Ikapi berkhidmat untuk umat, 2011, hlm 32
[22] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001, hlm 74
[23] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001, hlm 73
[24] Muhammad Ahmad & Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka setia,
2004, hlm 25
[25] M.A. Tihami, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm 43
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...