Usaha menghidupkan jejak Ahli Salaf itu terjadi dalam abad
ke-empat Hijriyah, dalam abad-abad di mana aliran-aliran faham baru timbul
dalam kalangan umat Islam. Kemudian datang pula Ibnu Taimiyyah dalam abad ke7
H. Ini dipelopori oleh ulama-ulama Hanbali yang mengaku bahwa pendapat-pendapat
mereka itu adalah berasal daripada pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hanbal,
yang sebenarnya menghidupkan keyakinan Salaf itu, serta memerangi
pendirian-pendirian yang lain.
pendirian-pendirian yang lain.
Perkembangan faham Salaf ini lekas menjalar ke seluruh
semenanjung Arab, terutama dalam abad ke12 H, terutama pula karena digerakkan
oleh seorang ulama besar Muhammad bin Abdul Wahhab, berasal dari Nejed di
tengah-tengah semenanjung Arab itu.
Untuk mengetahui bangkitnya faham Salaf, perlu tahu latar
belakangnya. Abu Bakar Atjeh menyebutkan, di antaranya adalah perlakuan
penguasa Mu’tazilah yang dhalim lagi kejam terhadap ulama yang tidak pro
Mu’rtazilah.
Pada waktu Mu’tazilah sedang berkuasa, lanjut Abu Bakar
Atjeh, dan raja-rajanya secara membabi buta memaksa ulama-ulama tunduk kepada
pendirian Mu’tazilah itu, suasana seakan-akan putus asa. Seorang demi seorang
ulama menyerah diri kepada pendirian itu, mengaku bahwa kalam itu tidak qadim
dan Qur’an itu buatan manusia dan sebagainya, meskipun bertentangna dengan
keyakinan sendiri.
Hanya ada empat orang yang masih berani mempertahankan hukum
Allah, yaitu Imam Ahmad Ibn Hanbal, Muhammad bin Nuh, Al-Qawawiri, dan
Sajjadah. Dalam keadaan dirantai dengan besi, mereka dipaksa meyakini pendirian
itu. Sajjadah segera esok harinya menyerah dan mengaku, Al-Qawawiri hanya tahan
menderita dua hari, kemudian melepaskan keyakinan, dan di tengah jalan ke
pengadilan yang berat, tunduk pula Ibnu Nuh. Hanya Imam Ahmad bin Hanbal yang
tidak berubah pendiriannya. Meskipun ia dibelenggu, dicambuk sampai pecah-pecah
badannya, delapan belas bulan dalam penjara, ia tetap pendiriannya dan tidak
mau berbicara lain. Sampai sesudah wafat Mu’tashim dan pemerintahan pindah ke
dalam tangan Watsiq, ancaman kepada Imam Ahmad berjalan terus. Ia dikeluarkan
dari penjara, tetapi diusir dari kota, dilarang memberi fatwa agama. Imam Ahmad
hidup dalam persembunyian dan ketakutan, tidak keluar bersembahyang jama’ah dan
kemudian wafat dalam keteguhan i’tikadnya.
Dalam masa kekacauan itu paham Imam Ahmad tersiar terus.
Penganutnya makin hari makin bertambah. Orang mulai berfikir tentang
kebenaran pendiriannya.
Kita lihat dalam sejarah, bahwa pendirian Imam Ahmad itu
beroleh dukungan juga dari orang-orang Mu’tazilah yang telah insaf, seperti Abu
Hasan Al-Asy’ari yang tampil ke muka dalam abad ke-3 H di Basrah, dan Abu
Mansur Al-Maturidi di Samarkand.
Asy’ari keluar ke masjid jami’ di Bashrah pada suatu hari
Jum’at, naik ke atas mimbar dan berbicara dengan petah lidahnya: “Saya Abul
Hasan al-Asy’ari. Siapa yang belum kenal, supaya kenal. Saya pernah mengatakan,
bahwa Qur’an itu diperbuat dan bukan qadim, bahwa Allah tidak melihat dengan
mata (abshar), bahwa pekerjaan jahat saya sendiri yang melakukannya. Saya
taubat dari pada kemurtadan Mu’tazilah itu....... Aku tanggalkan
semua i’tikadku dahulu itu, sebagaimana aku menanggalkan bajuku sekarang ini”.
Lalu dibuka bajunya dan ditonjol-tonjolkan kitabnya kepada umum, yang
ditulisnya menurut pendirian Ahli Sunnah wal Jama’ah. Kitab itu ialah kitab Al-Ibanah,
salah sebuah tetasan penanya yang terpenting.
Dari sini bisa difahami bahwa Salaf itu dalam istilah lain
adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan ada juga yang menyebutnya Ahlus Sunnah
lama, sedangkan orang Salafi sendiri biasanya menyebut Ahlus Sunnah yang model
Al-Asy’ari adalah Asy’ariyah atau Asya’irah. Sedang Asy’ari sendiri oleh
orang-orang salaf dianggap kembali kepada Salaf, hanya saja para penerusnya
seperti Imam Al-Ghazali dinilai bukan Ahlus Sunnah yang Salaf, tetapi
Asya’irah, karena masih merujuk kepada filsafat dan memakai ta’wil. Sedangkan
kaum Salaf tidak menerima filsafat ataupun ta’wil. Hal ini menjadi
perbincangan, karena menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Taarikhul Madzaahib
al-Islamiyyah, Ibnul Jauzi –yang Abu Zahrah sebut sebagai murid Ibnu
Taimiyah-- mengkritik keras terhadap orang yang menisbatkan faham tidak
menerima takwil itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Meskipun demikian. Abu Zahrah
tampaknya tidak mengemukakan pula bukti-bukti bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
berfaham menerima takwil. Di sana Abu Zahrah hanya mengemukakan bahwa Ibnul
Jauzi menyepakati pendapat Al-Ghazali dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...