Mahar adalah apa yang diberikan kepada
isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.
HUKUM KEBERADAANNYA.
Pertama:
Larangan Bermahal-mahal dalam Mahar. Terdapat larangan bermahal-mahal dalam mahar dalam sejumlah hadits, kita sebutkan di antaranya:
Larangan Bermahal-mahal dalam Mahar. Terdapat larangan bermahal-mahal dalam mahar dalam sejumlah hadits, kita sebutkan di antaranya:
1. Apa yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dari Abu Hadrad al-Aslami bahwa dia datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa tentang wanita, maka beliau bertanya:
“Berapa engkau memberi mahar kepadanya?” Ia menjawab: “Dua ratus dirham.”
Beliau bersabda:
“Seandainya
kalian mengambil dari Bathha’, niscaya kalian tidak menambah.”[1]
2. Ahmad meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Di
antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.”[2]
‘Urwah berkata: “Yaitu, memudahkan
rahimnya untuk melahirkan.”
3. Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Uqbah
bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
‘Sebaik-baik
pernikahan ialah yang paling mudah.'”[3]
Dalam riwayat Ahmad:
“Pernikahan
yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.”[4]
Di antara contoh yang harus kita ikuti
dalam masalah meringankan mahar dan tidak bermahal-mahal di dalamnya ialah
sebagai berikut.
Kedua:
Menikahkan Dengan Bacaan Al-Qur-an Dan Tanpa Mahar (Harta).
Menikahkan Dengan Bacaan Al-Qur-an Dan Tanpa Mahar (Harta).
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl
bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu, ia mengatakan, “Aku berada di tengah kaum di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tiba-tiba seorang wanita berdiri lalu mengatakan: ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu
mengenainya?’ (Dalam riwayat Malik: “Sesungguhnya aku menghibahkan diriku
kepadamu”). Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian ia berdiri kembali
lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka
bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Beliau tidak menjawabnya sedikit pun.
Kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: ‘Dia telah menghibahkan
dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Lalu seorang pria
berdiri dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya?’ Beliau
bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Beliau
bersabda: ‘Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari besi!’ Ia
pun pergi dan mencari, kemudian datang seraya mengatakan: ‘Aku tidak
mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan cincin dari besi.’ Beliau
bertanya: ‘Apakah engkau hafal suatu surat dari al-Qur-an?’ Ia menjawab: ‘Aku
hafal ini dan itu.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, karena aku telah menikahkanmu
dengannya, dengan mahar surat al-Qur-an yang engkau hafal.'”[5]
Ketiga:
Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam Merekomendasikan Pernikahan Dengan Mahar Emas Seberat Biji.
Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam Merekomendasikan Pernikahan Dengan Mahar Emas Seberat Biji.
Imam
al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikahi seorang
wanita dengan mahar seberat biji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
keceriaan pengantin (padanya) lalu bertanya kepadanya, maka dia menjawab: “Aku
menikahi seorang wanita dengan mahar seberat biji (emas).”[6] Dalam riwayat
lain bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikah dengan mahar seberat biji emas.
Keempat:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam Mengajarkan Kepada Kita Kemudahan Dalam Mahar Agar Kita Meneladaninya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam Mengajarkan Kepada Kita Kemudahan Dalam Mahar Agar Kita Meneladaninya.
Imam
Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia
mengatakan, “Ketika ‘Ali menikah dengan Fathimah Radhiyallahu anhuma dan hendak
menggaulinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Berikanlah sesuatu kepadanya.’ Ia mengatakan, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu.’
Beliau bertanya, ‘Di mana baju besimu (دِرْعُكَ)?’ Lalu ia memberikan baju besinya kepada
Fathimah, kemudian menggaulinya.'”[7]
Ad-dir’u adalah baju yang dipakai oleh
orang yang berperang untuk melindungi diri dari berbagai bahaya.
Kelima:
Kisah Seorang Wanita Yang Memberitahu Kaum Pria Dan Wanita Supaya Bersikap Toleran Dalam Mahar.
Kisah Seorang Wanita Yang Memberitahu Kaum Pria Dan Wanita Supaya Bersikap Toleran Dalam Mahar.
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari
Tsabit, dari Anas, ia mengatakan, “Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, maka ia
mengatakan, ‘Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak akan ditolak.
Tetapi engkau adalah seorang kafir, sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak
halal bagiku menikah denganmu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku dan
aku tidak meminta selainnya.’ Lalu Abu Thalhah masuk Islam, dan itulah
maharnya.”
Tsabit berkata: “Aku tidak mendengar
seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya daripada Ummu Sulaim, yaitu Islam.
Lalu Abu Thalhah menggaulinya, dan dia melahirkan anak untuknya.”[8]
Keenam:
Mahar Pada Masa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, “Mahar kami ketika di tengah-tengah kami masih ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah 10 auqiyah (ons) perak,’ sambil menggenggam dengan kedua tangannya, yaitu 400 dirham.”[9]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, “Mahar kami ketika di tengah-tengah kami masih ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah 10 auqiyah (ons) perak,’ sambil menggenggam dengan kedua tangannya, yaitu 400 dirham.”[9]
Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin
‘Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Barangsiapa
yang memberi tepung gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya untuk mahar
seorang wanita, maka halal baginya untuk menggaulinya.”[10]
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, ‘Aku menikah dengan seorang
wanita dari Anshar.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
‘Apakah engkau telah melihatnya; sebab ada sesuatu di mata orang Anshar?’ Ia
menjawab, ‘Aku telah melihatnya.’ Beliau bertanya: ‘Dengan mahar berapa engkau
menikahinya?’ Ia menjawab: ‘Sebanyak 4 auqiyah.’ Mendengar hal itu, beliau
bersabda (keheranan): ‘Sebanyak empat auqiyah! Seolah-olah menggali perak dari
besarnya gunung ini. Kami tidak mempunyai sesuatu yang dapat kami berikan
kepada kalian. Tetapi semoga saja kami akan mengutusmu dalam suatu delegasi di
mana engkau akan mendapat-kan darinya.’ Lalu beliau mengutus suatu delegasi
kepada Bani ‘Abs, dan beliau mengutus orang ini di antara mereka.”[11]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,
“Artinya, larangan memperbanyak mahar ini bertalian dengan keadaan suami.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Seseorang dimakruhkan memberi mahar kepada wanita dengan
suatu mahar yang menyulitkan dirinya sendiri jika ia membayarkannya kontan, dan
ia tidak mampu untuk melunasinya jika sebagai hutang.”[12]
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari
‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah
dengan mahar sepasang sandal. Yakni, mahar dari suaminya berupa sepasang sandal
yang dipakainya di kedua kakinya. Sepertinya suaminya adalah tukang sepatu.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah
engkau ridha terhadap diri dan hartamu dengan sepasang sandal?” Ia menjawab:
“Ya.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya.[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan mahar dan tidak melebihi mahar
yang diperoleh para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak-anaknya.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau bersabda: ‘Wanita yang paling besar keberkahannya ialah
yang paling ringan maharnya.’ Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: ‘Sebaik-baik mereka (wanita) ialah yang paling
mudah maharnya.’ Dari al-Hasan al-Bashri, ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Nikahkanlah kaum wanita dengan kaum pria, tapi jangan
bermahal-mahal dalam mahar.” ‘Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia
dengan pernyataannya: ‘Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar
wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu
kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling utama di antara kalian (dalam
hal ini), (namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari
isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari
puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak.’ At-Tirmidzi menilainya
sebagai hadits shahih.”[14]
Ketujuh:
Sebagian Mahar Beliau Shallallahu ‘Alaiahi Wa Sallam Kepada Isteri-Isterinya (Ummahatul Mukminin).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bagaimana mahar para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ia menjawab, ‘Mahar beliau untuk isteri-isterinya ialah 12 auqiyah (yakni berupa perak), dan nasy Tahukah engkau apakah nasy itu?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Ia mengatakan, ‘Setengah uqiyah, (sehingga berjumlah 12,5 uqiyah) yaitu 500 dirham. Itulah mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk isteri-isterinya.'”[15]
Sebagian Mahar Beliau Shallallahu ‘Alaiahi Wa Sallam Kepada Isteri-Isterinya (Ummahatul Mukminin).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bagaimana mahar para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ia menjawab, ‘Mahar beliau untuk isteri-isterinya ialah 12 auqiyah (yakni berupa perak), dan nasy Tahukah engkau apakah nasy itu?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Ia mengatakan, ‘Setengah uqiyah, (sehingga berjumlah 12,5 uqiyah) yaitu 500 dirham. Itulah mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk isteri-isterinya.'”[15]
Kedelapan:
Khutbah ‘Umar bin al-Khaththab Tentang Mahar.
Khutbah ‘Umar bin al-Khaththab Tentang Mahar.
Tatkala Khalifah ar-Rasyid ‘Umar bin
al-Khaththab diangkat sebagai khalifah untuk mengurus berbagai urusan kaum
muslimiin dan beliau mengetahui sebagian orang bermahal-mahal dalam mahar, maka
beliau menaiki mimbar pada suatu hari untuk memberikan khutbah di hadapan para
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khutbah yang sangat mendalam:
“Wahai manusia, janganlah bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, seandainya
(bermahal-mahal dalam) mahar itu merupakan kemuliaan di dunia atau merupakan
ketakwaan di sisi Allah, niscaya yang paling berhak melakukannya di antara
kalian adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; namun demikian, beliau
tidak pernah memberi mahar kepada seorang pun dari isteri-isterinya dan tidak
pula seorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah -yakni 500 dirham-.
Seorang pria membayar mahal mahar seorang wanita sehingga dia memusuhinya dalam
hatinya, dan hingga dia mengatakan: ‘Aku terbebani peluh girbah[16] untuk
mendapatkanmu.”[17] Yakni, aku terbebani dalam mendapatkanmu, berupa rasa penat
dan berat, sehingga berpeluh seperti peluh girbah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Apa yang dilakukan sebagian orang yang tidak ramah, sombong dan riya’ berupa
memperbanyak mahar untuk tujuan riya dan bermegah-megahan, sebenarnya mereka
tidak berniat mengambilnya dari suami, dan dia tidak pula berniat memberikannya
kepada mereka. Ini adalah kemunkaran yang buruk, menyelisihi Sunnah, keluar
dari syari’at.”[18]
Di sini kami kemukakan pernyataan
Syaikh ash-Shabuni: “Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyatakan:
‘Jika datang kepada kalian orang yang mempunyai jutaan pound, orang yang
memiliki gedung dan mobil, atau putera fulan, dan fulan.’ Tapi beliau menyatakan:
‘Siapa yang engkau ridhai agama dan akhlaknya.’ Agama dan akhlak adalah prinsip
dan landasan dalam perkara pernikahan. Sedangkan harta adalah persoalan kedua
yang tidak mempunya pengaruh dalam kebahagiaan rumah tangga.
Sebagaimana perkataan penya’ir:
‘Aku tidak melihat kebahagiaan karena
mengumpulkan harta Tetapi ketakwaan itulah kebahagiaan sejati.’”[19]
Kesembilan:
Dianjurkan Bersegera Menyerahkan Mahar.
Dianjurkan Bersegera Menyerahkan Mahar.
Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepadaku agar aku tidak memasukkan isteri kepada suaminya sebelum
dia memberikan sesuatu kepadanya.”[20]
Menurut ulama, perintah ini adalah
untuk anjuran.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka
memperbanyak pemberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu
tidak lain karena harta mereka berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan
seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa
yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya
mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa.”[21]
Kesepuluh: Mahar adalah Hak Isteri
Yang Tidak Boleh Diambil. Syari’at yang bijak ini berkeinginan memelihara hak
wanita dalam kepemilikan mahar tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengancam siapa yang menyia-nyiakan hak ini dengan ancaman yang sangat
keras. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dosa paling besar di sisi Allah ialah orang
yang menikahi wanita lalu ketika telah menyelesaikan hajatnya darinya, maka dia
menceraikannya dan pergi dengan membawa maharnya, orang yang mempekerjakan
seseorang lalu pergi dengan membawa upahnya dan seorang yang membunuh binatang
dengan sia-sia.”[22]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan.” [An-Nisaa’/4: 4].
Yakni, pemberian dari Allah sebagai
permulaan.
An-nihlah ialah pemberian dengan
kerelaan hati.
Dia berfirman:
“Karena
itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka
dengan patut.” [An-Nisaa’/4: 25]
“Maka
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” [An-Nisaa’/4: 24].
Mahar adalah pemberian yang dilindungi
yang diwajibkan Allah untuk diberikan kepada wanita; bukan sebagai imbalan sesuatu
yang wajib dia berikan, kecuali memenuhi hak-hak suami isteri, sebagaimana
halnya dia tidak dapat digugurkan -walaupun wanita itu rela- kecuali setelah
akad.[23]
Seandainya seorang pria telah menjalin
akad dengan wanita kemudian ditemukan padanya aib yang bisa membatalkan akad
sebelum menyetubuhinya, maka wanita tidak mendapatkan apa-apa jika si pria
membatalkan akad. Adapun seandainya aib itu nampak setelah disetubuhi dan ia
hendak membatalkan akad, maka wanita itu mendapatkan mahar. Dan pria ini mempunyai
hak terhadap pihak yang menikahkannya, yaitu kedua orang tua isteri atau
walinya; jika mereka menerima hal itu, maka apa yang ada di sisi Allah itulah
yang lebih baik dan lebih kekal pada hari yang tiada ber-manfaat harta dan
anak-anak, sebagaimana penjelasannya akan di-sebutkan dalam bab “Aib pada
Wanita yang Dinikahi”.
Di sini muncul pertanyaan: Apakah
seseorang boleh menikah dengan mahar puteri atau saudara perempuannya?
Jawaban: Mahar puteri atau saudara
perempuannya adalah salah satu hak wanita tersebut dan salah satu bagian yang
dimilikinya. Jika dia menghibahkannya kepadanya atau sebagian darinya dengan
kesadaran, maka hal itu secara syari’at dibolehkan. Jika dia tidak menghibahkan
kepadanya, maka tidak boleh ia mengambilnya atau mengambil sesuatu darinya
karena mahar menjadi hak prerogatifnya. Bagi ayah wanita ini secara khusus bisa
memiliki apa yang tidak merugikannya, dan tidak mengkhususkannya kepada
sebagian anak-anaknya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang
kalian makan ialah (berasal) dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak
kalian adalah (hasil) dari usaha kalian.”[24]
Dalam sebuah riwayat an-Nasa-i:
Dalam sebuah riwayat an-Nasa-i:
“Sesungguhnya anak-anak kalian adalah
salah satu usaha kalian yang terbaik, maka makanlah dari usaha anak-anak
kalian.”[25]
[Disalin
dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z,
Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor] Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad (no. 15279), dan sanadnya shahih.
Footnote
[1]. HR. Ahmad (no. 15279), dan sanadnya shahih.
[2].
HR. Ahmad (no. 23957), al-Hakim (II/181), ia menshahihkannya dan menilainya
sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak
mengeluar-kannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (II/251) dan dalam al-Irwaa’ (VI/250).
[3].
HR. Abu Dawud (no. 2117) kitab an-Nikaah, al-Hakim (II/182), ia
menshahih-kannya dan menilainya sesuai syarat Syaikhan (al-Bukhari-Muslim), dan
Syaikh al-Albani menilainya sesuai syarat Muslim. Lihat al-Irwaa’ (VI/345).
[4].
HR. Ahmad (no. 24595).
[5].
HR. Al-Bukhari (no. 5149) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1425) kitab an-Nikaah,
at-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3280) kitab an-Nikaah,
Abu Dawud (no. 3111) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1889) kitab an-Nikaah,
Ahmad (no. 22292) kitab an-Nikaah, Malik (no. 1118) kitab an-Nikah, ad-Darimi
(no. 2201) kitab an-Nikaah.
[6].
HR. Al-Bukhari (no. 5148) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1427) kitab an-Nikaah,
at-Tirmidzi (no. 1094) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 2109) kitab an-Nikaah,
Ibnu Majah (no. 1907) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 12274) kitab an-Nikaah, Malik
(no. 1157) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2204) kitab an-Nikaah.
[7].
HR. Abu Dawud (no. 2126) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3375) kitab an-Nikaah,
dan semua perawinya tsiqat.
[8].
HR. An-Nasa-i (no. 3341) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 3133).
[9].
HR. An-Nasa-i (no. 3348), kitab an-Nikaah; Ahmad (no. 8589), dan ini adalah
lafazhnya, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no.
3140).
[10].
HR. Muslim (no. 1405) kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 2110) kitab an-Nikaah dan
ini redaksi darinya, Ahmad (no. 14410). Makna ‘istahalla’ ialah halal baginya
untuk menggaulinya.
[11].
HR. Muslim (no. 1424), kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 3234) kitab an-Nikaah,
Ahmad (no. 7783, 7919).
[12].
Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/192).
[13].
HR. At-Tirmidzi (no. 1113), kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan
shahih,”nu Majah (no. 1888), kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 15252).
[14].
Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/192).
[15].
HR. Muslim (no. 1424) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3347) kitab an-Nikaah,
Abu Dawud (no. 2105) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1886) kitab an-Nikaah,
Ahmad (no. 24105), ad-Darimi (no. 2199) kitab an-Nikaah.
[16].
Girbah: Kantung air yang terbuat dari kulit binatang ternak yang telah
di-samak.-ed.
[17]. HR. At-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, ia berkata: “Hadits hasan shahih.” Abu Dawud (no. 2106) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3349) kitab an-Nikaah, dan lafazh ini miliknya, Ibnu Majah (no. 1887) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 287), ad-Darimi (no. 2200) kitab an-Nikaah. Syaikh al-Albani menshahihkan-nya dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1532), al-Misykaat (no. 3204), as-Silsila-tush Shahiihah (no. 1834).
[17]. HR. At-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, ia berkata: “Hadits hasan shahih.” Abu Dawud (no. 2106) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3349) kitab an-Nikaah, dan lafazh ini miliknya, Ibnu Majah (no. 1887) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 287), ad-Darimi (no. 2200) kitab an-Nikaah. Syaikh al-Albani menshahihkan-nya dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1532), al-Misykaat (no. 3204), as-Silsila-tush Shahiihah (no. 1834).
[18].
Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/193).
[19].
Kitab az-Zawaaj al-Islaami al-Mubakkir (no. 109).
[20]. HR. Abu Dawud (no. 2128) kitab an-Nikaah, dan Abu Dawud mengatakan bahwa Khaitsamah tidak pernah mendengar dari ‘Aisyah, dan semua perawinya tsiqat kecuali Syuraik, ia adalah shaduq yang sering melakukan kesalahan, Ibnu Majah (no. 1992) kitab an-Nikaah.
[20]. HR. Abu Dawud (no. 2128) kitab an-Nikaah, dan Abu Dawud mengatakan bahwa Khaitsamah tidak pernah mendengar dari ‘Aisyah, dan semua perawinya tsiqat kecuali Syuraik, ia adalah shaduq yang sering melakukan kesalahan, Ibnu Majah (no. 1992) kitab an-Nikaah.
[21].
Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/195).
[22].
HR. Al-Hakim (II/182), dan menilainya sebagai hadits shahih sesuai kriteria
al-Bukhari serta disetujui oleh adz-Dzahabi; dan dihasankan oleh Syaikh
al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 999).
[23].
‘Audatul Hijaab (II/298).
[24].
HR. At-Tirmidzi (no. 1358) kitab al-Ahkaam, dan dia menilainya sebagai hadits
hasan shahih, Abu Dawud (no. 3530) kitab al-Buyuu’, an-Nasa-i (no. 4450), Ibnu
Majah (no. 2290) kitab at-Tijaaraat, Ahmad (no. 25126), Mu’jamul Ausath (no.
4486, 4487). Dan lihat, Afraahunaa maa Lahaa wamaa ‘alaihaa wa Mu’aalajah
Ba’dhazh Zhawaahir (hal. 137).
[25].
HR. An-Nasa-i (no. 4449) kitab al-Buyuu’, at-Tirmidzi (no. 1358) kitab
al-Buyuu’, Abu Dawud (no. 3528) kitab al-Buyuu’, Ibnu Majah (no. 2137) kitab
at-Tijaaraat, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no.
4145).
Sumber:
https://almanhaj.or.id/3554-hal-hal-yang-berkaitan-dengan-mahar.html
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...