Negeri
Bukhara sebagai negeri muara sungai Jihun yang terletak di sebelah utara
Afghanistan dan sebelah selatan Ukraina adalah negeri yang banyak melahirkan
imam-imam Ahlul hadits dan Ahlul fiqh. Negeri itu menyimpan kenangan sejarah
perjuangan para imam-imam Muslimin dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
Dapat
disebutkan di sini, para Imam Ahlul Hadits yang lahir dan dibesarkan di negeri
Bukhara antara lain adalah: Al-Imam Abdullah bin Muhammad Abu Ja’far Al-Musnadi
Al-Bukhari yang meninggal dunia di negeri tersebut pada hari Kamis bulan
Dzulqa’dah tahun 220 H. dan kemudian juga lahir di Bukhara, Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari yang lahir pada tahun 194 Hijriyah
dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa bernama Khortanak menuju arah
Samarkan.
Juga
lahir dan dibesarkan di negeri ini Al-Imam Abi Naser Ahmad bin Muhammad bin
Al-Husain Al-Kalabadzi Al-Bukhari yang lahir tahun 323 H dan meninggal tahun
398 H. dan masih banyak lagi deretan para imam-imam besar Ahli hadits yang
menghiasi indahnya sekarah negeri Bukhara.
Tetapi
di masa kini kaum Muslimin di dunia, apabila disebut Imam Bukhari, maka yang
dipahami hanyalah Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara yang bernama Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena karya beliau yang amat
masyhur di kalangan kaum Muslimin di dunia ialah: Al-Jami’us Shahih Al-Musnad
min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan
nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kata “Bukhari” itu sendiri maknanya ialah: Orang
dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan “Imam Bukhari” maknanya ialah seorang
tokoh dari negeri Bukhara.
Al-Bukhari
Di Masa Kecil
Nasab
kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut:
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek
(Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang
kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari
Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan
gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak
cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah
ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam
Ahlul Hadits.
Al-Imam
Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di
tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa
sallam. Karena ayah beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah
seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik
bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin
Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di
kalangan orang-orang Iraq.
Ayah
Al-Bukhari meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Di saat menjelang
wafatnya, Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil
sembari menyatakan kepadanya: “Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun
dari harta yang haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat.” Tentu anak
yang ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara haram atau syubhat akan
lebih baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga sejak wafatnya sang
ayah, Al-Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.
Muhammad
bin Ismail mendapat perhatian penuh dari ibunya. Sejak usianya yang masih muda
dia telah hafal Al-Qur’an dan tentunya belajar membaca dan menulis. Kemudian
pada usia sepuluh tahun, Muhammad kecil mulai bersemangat mendatangi
majelis-majelis ilmu hadits yang tersebar di berbagai tempat di negeri Bukhara.
Pada usia sebelas tahun, dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang
salah dalam menyampaikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad).
Usia
kanak-kanak beliau dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya
sehingga ketika menginjak usia remaja –enam belas tahun–, beliau telah hafal
kitab-kitab karya imam-imam Ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi
ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah bin Al-Mubarak, Waqi’ bin Al-Jarrah,
dan memahami betul kitab-kitab tersebut.
Usia
kanak-kanak Muhammad bin Ismail telah berlalu dengan agenda belajar yang amat
padat. Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu,
mengantarkannya kepada masa remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Kini ia
menjadi remaja yang amat diperhitungkan orang di majelis manapun dia hadir.
Karena dalam usia belasan tahun seperti ini dia telah hafal di luar kepala
tujupuluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur’an
tiga puluh juz.
Melanglang
Buana Menuntut Ilmu
Di
awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya
bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai
dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Sehingga dia terbiasa dengan berbagai
kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan
lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa
semakin dekat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang
memakan waktu berbulan-bulan itu.
Sesampainya
di Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang
membuka halaqah-halaqah ilmu.
Tentu
yang demikian ini semakin menggembirakan beliau. Oleh karena itu, setelah
selsai pelaksanaan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Makkah sementara kakak
kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya.
Beliau
bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi
para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang
ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai
tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang
tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai
seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang bernama Ishaq bin Rahuyah membawa
Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang
bernama Abdullah bin Thahir Al-Khuza’i, sembari mengatakan: “Wahai tuan
gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya
kitab ini.
Maka
gubernur pun membaca kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga
tuan gubernur pun mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang
kitab ini.” Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai
negeri Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri
tersebut, beliau mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri
tersebut sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri
pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan
lain-lainnya.
Di
saat berkeliling ke berbagai negeri itu, beliau suatu hari duduk di majlisnya
Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya
mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah
Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai
dalam tempo enam belas tahun sesudah itu. Beliau menuliskan dalam kitab ini
hadits-hadits yang diyakini shahih oleh beliau setelah menyaring dan meneliti
enam ratus ribu hadits.
Beliau
pilih daripadanya tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits shahih dan
seluruhnya dikumpulkan dalam satu kitab dengan judul Al-Jami’us Shahih
Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian terkenal
dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan
sanjungan dari berbagai pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga
ketokohan beliau dalam ilmu hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam.
Para imam-imam Ahli Hadits sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal,
Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.
Imam
Al-Bukhari Disanjung Di Mana-Mana
Karya-karya
beliau dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam.
Kepiawaian beliau dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kepelikan di
seputar ilmu hadits di berbagai majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang
sehingga beliau dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama
yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau
menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu mempunyai kesan
yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.
Al-Imam
Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf bin Al-Mizzi meriwayatkan dalam kitabnya yang
berjudul Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal beberapa riwayat pujian para ulama
Ahli hadits dan sanjungan mereka terhadap Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di
antara beberapa riwayat itu antara lain ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin
An-Nadhir Abu Sahl Asy-Syafi’i yang menyatakan: “Aku masuk ke berbagai negeri
yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah. Aku melihat di berbagai negeri tersebut
bahwa para ulamanya bila menyebutkan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu
mereka lebih mengutamakannya daripada diri-diri mereka.”
Karena
itu majelis-majelis ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu dijejali ribuan para
penuntut ilmu. Dan bila beliau memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan
ratusan ribu kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari
sebelum kedatangan beliau, telah tersebar berita akan datangnya Imam Ahlul
Hadits, sehingga kaum Muslimin pun berjejal-jejal berdiri di pinggir jalan yang
akan dilewati beliau hanya untuk sekedar melihat wajah beliau atau kalau
bernasib baik, kiranya dapat bersalaman dengan beliau.
Al-Imam
Muhammad bin Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi
(tidak disebutkan namanya), keduanya menceritakan: “Para ulama Ahli Hadits di
Bashrah di jaman Al-Bukhari masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya
dalam hadits dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal beliau ini masih muda belia.
Sehingga pernah ketika beliau berjalan di kota Bashrah, beliau dikerumuni para
penuntut ilmu. Akhirnya beliau dipaksa duduk di pinggir jalan dan dikerumuni
ribuan orang yang menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama. Padahal
wajah beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan juga belum tumbuh
kumis.”
Datanglah
Badai Menghempas
Muhammad
bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian
penuh ketakjuban datang dari segala penjuru negeri, dan beliau dijadikan
rujukan para ulama di masa muda belia. Di saat penuh kesibukan ibadah dan ilmu
yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri
dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.
Badai
itu bermula dari kedatangan beliau pada suatu hari di negeri Naisabur dalam
rangka menimba ilmu dari para imam-imam Ahli Hadits di sana. Kedatangan beliau
ke negeri tersebut bukanlah untuk pertama kalinya. Beliau sebelumnya sudah
berkali-kali berkunjung ke sana karena Nasaibur termasuk salah satu pusat
markas ilmu sunnah. Lagi pula di sana terdapat guru beliau, seorang Ahli Hadits
yang bernama Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Pada suatu hari tersebarlah berita
gembira di Naisabur bahwa Muhammad bin Ismail Al-Bukhari akan datang ke negeri
tersebut untuk tinggal padanya beberapa lama.
Bahkan
Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majelis
ilmunya dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail
besok, silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya.” Maka masyarakat luas
pun bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli
Hadits di kota mereka.
Di
hari kedatangan Imam Al-Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di
pinggir kota untuk menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan
beliau itu ialah Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersama para ulama
lainnya.
Diriwayatkan
oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari sampai di pintu kota
Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang
menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”
Imam
Muslim bin Al-Hajjaj menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke
Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas
negeri.”
Ketika
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk
menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu
orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan
kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang
hadits. Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi
pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama
itu terhadap Al-Bukhari.
Di
hari ketiga kunjungan beliau ke Naisabur, terjadilah peristiwa yang amat
disesalkan itu. Diceritakan oleh Ahmad bin Adi peristiwa itu terjadi sebagai
berikut:
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.
Pada
suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: “Wahai
Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan
bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk? Apakah memang demikian
atau lafadh orang yang membaca Al-Qur’an itu bukan makhluk?”
Mendengar pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid’ah.”
Mendengar pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid’ah.”
Dengan
jawaban beliau ini, si penanya membikin ricuh di majelis dan mengatakan tentang
Al-Bukhari: “Dia telah menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an
adalah makhluk.” Akibatnya orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan mereka
pun segera membubarkan diri dari majelis itu dan meninggalkan beliau sendirian.
Sejak itu Al-Bukhari duduk di tempat tinggalnya dan orang-orang pun tidak lagi
mau datang kepada beliau.”
Al-Khatib
Al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanadnya
dari Muhammad bin Khasynam menceritakan: “Setelah orang meninggalkan
Al-Bukhari, orang-orang yang meninggalkan beliau itu sempat datang kepada
beliau dan mengatakan: “Engkau mencabut pernyataanmu agar kami kembali belajar
di majelismu.” Beliau menjawab: “saya tidak akan mencabut pernyataan saya
kecuali bila mereka yang meninggalkanku menunjukkan hujjah (argumentasi) yang
lebih kuat dari hujjahku.”
Kata Muhammad bin Khasynam: “Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang dengan pendirian.”
Kata Muhammad bin Khasynam: “Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang dengan pendirian.”
Kaum
Muslimin di Naisabur gempar dengan kejadian ini dan akhirnya arus fitnah
melibatkan pula Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sehingga beliau
menyatakan di majelis ilmu beliau yang kini telah ramai kembali setelah orang
meninggalkan majelis Al-Bukhari: “Ketahuilah, sesungguhnya siapa saja yang masih
mendatangi majelis Al-Bukhari, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena
orang-orang di Baghdad telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang
ini (yakni Al-Bukhari) mengatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an
adalah makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari telah
dinasehati untuk jangan berkata demikian, tetapi dia terus mengatakan demikian.
Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka
janganlah mendekati kami.”
Tentu
saja dengan telah terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah semakin meluas. Hal ini
terjadi karena Adz-Dzuhli adalah imam yang sangat berpengaruh di seluruh
wilayah Khurasan yang beribukota di Naisabur itu. Bahkan lebih lanjut Al-Imam
Adz-Dzuhli menegaskan: “Al-Qur’an adalah kalamullah (yakni firman Allah) dan
bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa
yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk
berbicara tentang lafadhnya ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa
ini tentang Al-Qur’an.
Barangsiapa
yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan
keluar dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk
taubat dari ucapan yang demikian. Bila dia mau taubat maka diterima taubatnya.
Tetapi bila tidak mau taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi
rampasan Muslimin serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan
barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur’an sebagai
makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Qur’an bukan makhluk, maka sungguh dia
telah menyerupai orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan “lafadhku
ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid’ah
(yakni orang yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak
boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih
saja mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia karena tidaklah ada
orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam
kesesatannya.”
Dengan
pernyataan Adz-Dzuhli seperti ini, berdirilah dari majelis itu Imam Muslim bin
Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Bahkan Imam Muslim mengirimkan kembali kepada
Adz-Dzuhli seluruh catatan riwayat hadits yang didapatkannya dari Imam
Adz-Dzuhli, sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada riwayat Adz-Dzuhli dari
berbagai sanad yang ada padanya.
Sikap
Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang seperti itu menyebabkan
Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun menyatakan: “Orang ini (yakni
Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku.”
Kemarahan
Adz-Dzuhli seperti ini sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang
pembela Al-Bukhari. Dia segera mendatangi Al-Bukhari seraya mengatakan: “Wahai
Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), orang ini (yakni Adz-Dzuhli) sangat
berpengaruh di Khurasan, khususnya di kota ini (yakni kota Naisabur). Dia telah
terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari
kami bisa menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”
Al-Imam
Al-Bukhari amat paham kegusaran muridnya ini sehingga dengan penuh kasih sayang
beliau memegang jenggot Ahmad bin Salamah dan membaca surat Ghafir 44 yang
artinya: “Dan aku serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Melihat hamba-hamba-Nya.” Kemudian beliau menunduk sambil berkata: “YA Allah,
sungguh Engkau tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan
tidak pula bertujuan dengan kejelekan. Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa aku
tidak mempunyai ambisi untuk memimpin. Hanyasaja karena aku terpaksa pulang ke
negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini
(yakni Adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad (dengki) terhadap apa
yang Allah telah berikan kepadaku daripada ilmu.” Wajah beliau sendu menyimpan
kekecewaan yang mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap
sambil berkata: “wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian
terlepas dari berbagai problem akibat omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli)
karena sebab keberadaanku.” Segera setelah itu Al-Bukhari berkemas-kemas untuk
mempersiapkan keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.
Rencana
Al-Bukhari untuk pulang ke negeri Bukhara sempat diberitakan oleh Ahmad bin
Salamah kepada segenap kaum Muslimin di Naisabur, tetapi mereka tidak ada yang
berselera untuk melepasnya di batas kota. Sehingga Al-Imam Al-Bukhari dilepas
kepulangannya oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian
menempuh jalan darat yang jauh menuju negerinya yaitu Bukhara. “Selamat tinggal
Naisabur, rasanya tidak mungkin lagi aku berjumpa denganmu.”
Badai
Di Negeri Bukhara
Di
negeri Bukhara telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan berbagai persiapan untuk
menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur
Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan peristiwa
penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun
gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km)
sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
telah sampai di gapura “selamat datang” tersebut, beliau mendapati hampir
seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita,
sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di
jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua
sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang
istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi
suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari
setelah itu para ahli fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada cara
beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah madzhab
Hanafi, sedangkan Al-Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahli
Hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu sehingga yang nampak pada
masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan
pengamalan madzhab Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi
menggenapkan bacaan qamat seperti adzan, tetapi membaca qamat dengan satu-satu
sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika bertakbir dalam shalat
semula tidak mengangkat tangan sebagaimana madzhab Hanafi, sekarang mereka
bertakbir dengan mengangkat tangan.
Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan tentang Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur, padahal dia imam Ahli Hadits.”
Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan tentang Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur, padahal dia imam Ahli Hadits.”
Maka
Huraits dan kawan-kawannya mulai berusaha untuk mempengaruhi gubernur Bukhara
agar mengusir Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini
yang bernama Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli.
Gubernur
Khalid pernah meminta Al-Bukhari untuk datang ke istananya guna mengajarkan
kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Tetapi Al-Imam
Al-Bukhari menolak permintaan gubernur tersebut dengan mengatakan: “Aku tidak
akan menghinakan ilmu ini dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke
pintu. Oleh karena itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda
datang saja ke masjidku, atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak
menyenangkanmu, engkau adalah penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk
membuka majelis ilmu ini agar aku punya alasan di sisi Allah di hari kiamat
bahwa aku tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk
menyampaikannya).” Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini sangat kecewa. Maka
berkumpullah padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa’ dan kawan-kawan serta
kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur Khalid akhirnya sepakat
untuk membikin rencana mengusir Muhammad bin Ismail dari Bukhara. Lebih-lebih
lagi telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur
kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli di Bukhara yang
memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan sikap menyelisihi sunnah Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian matanglah rencana pengusiran
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri Bukhara.
Upaya
pengusiran itu bermula dengan dibacakannya surat Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli
di hadapan segenap penduduk Bukhara tentang tuduhan beliau kepada Al-Imam
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa beliau telah berbuat bid’ah dengan
mengatakan bahwa “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”. Tetapi
dengan pembacaan surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak mau peduli dengan
tuduhan tersebut dan terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari. Namun gubernur Khalid
akhirnya mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari sangat kecewa
dengan perlakuan ini. Dan sebelum keluar dari negeri Bukhara, beliau sempat
mendoakan celaka atas orang-orang yang terlibat langsung dengan pengusirannya.
Ibrahim bin Ma’qil An-Nasafi menceritakan: “Aku melihat Muhammad bin Ismail
pada hari beliau diusir dari negeri Bukhara, aku mendekat kepadanya dan aku
bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?”
Beliau menjawab: “Aku tidak peduli selama agamaku selamat.”
Al-Bukhari
meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk Bukhara
dengan penuh kepiluan. Beliau berjalan menuju desa Bikanda kemudian berjalan
lagi ke desa Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkan. Di desa
terakhir inilah beliau jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang
kerabatnya penduduk desa tersebut.
Dalam
suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke enampuluh dua
tahun, beliau berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah Ta`ala: “Ya Allah,
bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku
keharibaan-Mu.” Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan nafas terakhir dan
selamat tinggal dunia yang penuh onak dan duri.
Pembelaan
Al-Bukhari
Al-Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa
Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1
Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, beliau sempat
berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa
imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat agar kain kafannya
berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat
beliau yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul
Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya,
tersebarlah bau harum dari kuburnya dan terus semerbak bau harum itu sampai
berhari-hari.
Gubernur
Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan
datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad
karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap
Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai
mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa
kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam
Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan
sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah
setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala
tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini
tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah
Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.
Muhammad
bin Nasir Al-Marwazi mempersaksikan bahwa Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail Al-Bukhari menyatakan: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah
berpendapat bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk, maka
sungguh dia adalah pendusta, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan
demikian.”
Abu
Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam
Al-Bukhari telah mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa
yang aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku
tentang Al-Qur’an adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis,
Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka
ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena
sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan:
Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk.”
Yahya
bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba
Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk.
Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di
lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya,
maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Ghunjar
membawakan riwayat dengan sanadnya sampai ke Al-Firabri, dia mengatakan bahwa
Al-Bukhari telah mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka sungguh dia telah
kafir.” Bahkan Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan
judul Khalqu Af`alil Ibad yang padanya beliau menjelaskan pendirian beliau
dalam masalah ini dengan gamblang dan jelas serta lengkap dan ilmiah.
Fitnah
itu memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Dia tidak akan memilih antara
orang jahil atau orang alim dari kalangan ulama. Dan ulama pun bisa salah dalam
memberikan penilaian, karena yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) hanyalah
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Orang-orang yang menyakini bahwa
ulama itu ma’shum hanyalah para ahli bid’ah dari kalangan Rafidlah (Syiah) atau
orang-orang sufi. Demikian pula orang-orang yang mencerca ulama karena
kesalahannya semata tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan itu karena kesalahan
ijtihad ataukah kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian ini adalah
sikap sufaha’ (orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut Muhammad bin
Surur) atau haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah wal Jamaah
tidak menganggap para ulama itu ma’shum dan tidak pula melecehkan ulama ketika
mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap memuliakan Al-Imam
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan Al-Imam Muhammad bin
Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para imam-imam tersebut. Dan
kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka dengan ilmu Al-Qur’an dan
As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan mana yang salah
untuk kita tinggalkan.
Ahlus
Sunnah wal Jamaah itu berkata dan berbuat dengan bersandarkan kepada ilmu.
Adalah bukan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah bila segerombolan orang berbuat
hura-hura dan kemudian menvonis seseorang atau sekelompok orang. Tertapi ketika
ditanyai, apa dasar kamu berbuat demikian? Jawabannya: Kami masih menunggu
fatwa dari ulama!
Kita
katakan kepada mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah
kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu baru mencari
pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama? Kalau begitu yang
kalian tunggu adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian.
tentu yang demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Gubernur
Bukhara Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan mufti negeri Bukhara Huraits bin Abil
Waraqa’ telah menyimpan ketidaksenangan kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari dan berencana untuk mengusirnya dari negeri Bukhara. Ketika sedang
mencari-cari alasan pembenaran terhadap perbuatannya tiba-tiba datang surat
dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur yang memperingatkan
sang gubernur dari bahaya bid’ah yang dibawa oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini
seperti kata pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti,
segera surat ini dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan setelah itu
datanglah keputusan pengusiran Al-Bukhari dari negeri kelahirannya, sehingga
yang diharapkan, kesan orang bahwa pengusiran itu karena semata-mata alasan
agama dan bukan alasan yang lainnya.
Tetapi
Allah Maha Tahu dan Dia membongkar segala kejahatan di balik alasan-alasan yang
memakai atribut agama itu. Sehingga yang tertulis dalam sejarah Islam sampai
hari ini adalah kesan buruk terhadap perbuatan Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan
Huraits bin Abil Waraqa’. Dan bukan kesan buruk yang dibikin-bikin oleh para
pencoleng fatwa ulama itu. Camkanlah! Pengkhianatan dan kedustaan itu
berulang-ulang terus dari masa ke masa. Hanya saja pemainnya yang
berganti-ganti. Tetapi semua itu akan menjadi sejarah bagi anak cucu di
belakang hari sebagaimana sejarah pengkhianatan dan kedustaan terhadap Al-Imam
Al-Bukhari yang sekarang menjadi pergunjingan bagi generasi ini.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...