BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadits atau yang disebut dengan sunnah, adalah segala sesuatu yang
bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan atau taqrirnya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur'an,
sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu
sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang
spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadisdapat disebut sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an karena,
hadisdiriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti,
sebagaimana sabda Nabi SAW. :
من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النا ر
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam
neraka disediakan”.
Tidak seperti Al-Qur'an, dalam penerimaan hadits dari Nabi Muhammad SAW
banyak mengandalkan hafalan para sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang
ditulis oleh mereka. Penulisan itupun hanya bersifat dan untuk kepentingan
pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang
kemudian diterima oleh para tabi'in, memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang
berbeda-beda. Sebab ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan
lafadz yang diterima dari Nabi SAW, dan ada yang hanya sesuai makna atau
maksudnya saja, sedangkan redaksinya tidak sama.
Atas dasar itulah, maka dalam menerima suatu hadits, langkah yang harus
dilakukan adalah dengan meneliti siapa pembawa hadits itu (disandarkan kepada
siapa Hadits itu), untuk mengetahui apakah hadits itu patut kita ikuti atau
kita tinggalkan. Berangkat dari hal tersebut di atas, maka untuk memahami hadits
ditinjau dari kuantitas sanad,muttawatir, masyhur dan ahad maka
dalam makalah ini akan kami bahas mengenai hadits ditinjau dari kuantitas sanadnya.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana pembagian hadis dari
segi kuantitas sanad?
2. Bagaimana pembagian hadis dari
segi mutawatir ?
3. Bagaimana pembagian hadis dari
segi masyhur ?
4. Bagaimana pembagian hadis dari
segi ahad ?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
yang menjadi tujuan penulisan dalam penyusunan makalah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Untuk Mengetahui pembagian hadis dari segi kuantitas sanad.
2. Untuk Mengetahui pembagian hadis dari segi mutawatir.
3. Untuk mengetahui pembagian hadis dari segi masyhur.
4. Untuk mengetahui pembagian hadis
dari segi ahad.
D. Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi manfaat penulisan dalam penyusunan
makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.
Dapat memenuhi tugas dari
mata kuliah Ulumul Hadis.
2.
Mahasiswa memiliki
pengetahuan tentang Pembagian Hadis dari
segi Kuantitas Sanad, Mutawatir, Masyhur dan Ahad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanad
Ulama
berbeda pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitas sanadnya
ini. Maksud tinjauan dari segi kuantitas adalah dengan menelusuri jumlah para
perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadis. Para ahli ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya hanya
menjadi dua, yaitu hadis mutawatir
dan ahad.
Pendapat
pertama, yang menjadikan hadis masyhur
berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu
Bakar Al-Jassas (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh
kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis masyhur bukan hadis yang berdiri
sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu mutawatir dan ahad.[1]Disamping
pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi
tiga macam yaitu: hadis mutawatir,
hadis masyhur (hadis mustafidh) dan
hadis ahad.
Adapun
tujuan dari pembagian hadist ditinjau dari segi kuantitas sanandnya sebagai
upaya mengklasifikasi hadist untuk mengetahui jumlah rawi pada setiap tingkatan
sehingga muncul klasifikasi hadist mutawatir,
masyhur dan ahad.
1.
Hadis Mutawatir
a. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut
bahasa berarti mutatabi yakni yang
datang secara beriringan tanpa diselangi jarak antara satu sama lain[2].
Sedangkan pengertian hadits mutawatir secara terminologi adalah :
فالحديث المتواتر هو الحديث الذى رواه جمع
يمتنع تواطؤهم على الكذب عن جمع مثلهم من
أول السند إلى منتها
Artinya :
“Hadis mutawatir
adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat
untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal
mereka dan
seterusnya sampai akhir sanad. Dan sanadnya mereka adalah pancaindera.”
Berdasarkan definisi tersebut, ada empat
hal yang harus terpenuhi pada sesuatu hadits yang dikategorikan mutawatir, yaitu : Pertama, hadis
itu harus diriwayatkan oleh banyak orang. Kedua, hadits itu diterima
dari banyak orang pula. Ketiga, ukuran banyak di sini jumlahnya relatif,
dengan ukuran berdasarkan sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka
tidak mungkin sebelumnya melakukan kesepakatan untuk berdusta, dan keempat, hadits itu diperoleh melalui
pengamatan panca indera, bukan atas dasar penafsiran mereka.
Sebagian ulama cenderung membatasi jumlah
mereka dengan bilangan. Oleh karena
itu, sebagian pendapat menyatakan bila jumlah mereka mencapai 70 orang maka
hadisnya dinilai mutawatir. Mereka
berpegang kepada firman Allah SWT dalam QS. Al-Araf : 155 :[3]
Artinya :
“Dan Musa memilih tujuh puluh
orang dari kaumnya untuk (memohonkantaubat kepada Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan.”(QS. Al-Araf : 155)
b. Syarat-Syarat Hadis Mutawatir
1)
Hadits
yang diriwayatkan itu mengenai sesuatu dari Nabi Muhammad SAW. yang diberitakan
oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca
indera. Misalnya para sahabat mengatakan Kamai melihat Rasulullah SAW. berbuat
begini, atau Kami melihat Nabi SAW. bersikap begini , atau Kami
melihat Nabi SAW. bersabda begini.Perawinya mencapai jumlah yang menurut kebiasaan mustahil mereka bersepakat
untuk berdusta. Jumlah minimal ada yang menetapkan 10 orang rawi, 20, 40, dan
bahkan ada yang menetapkan minimal 70 orang rawi.[4]
Dalam hal ini para ulama' berbeda
pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta:
a)
Abu at-Thayyib menentukan
sekurang-kurangnnya 4 orang. Karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan
hakim untuk tidak memberi vonis kepada terdakwa.
b)
Ash-habu as-Syafi'i menentukan 5
orang, karena mengqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul
Azmi.
c)
Sebagian ulama' menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang difirmankan oleh Allah
dalam QS. Al-Anfal : 65 tentang sugesti Allah kepada orang mukmin yang tahan
uji, yang berjumlah 20 orang saja dapat mengalahkan 200 orang.
Artinya :
Jika
ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh.(QS. Al-Anfal : 65)
d)
Ulama' yang lain menetapkan jumlah
tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.Karena mereka mengqiyaskan, dengan firman
Allah :
Artinya:
Hai
Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin
yang mengikutimu.
e)
Jumlah perawi pada setiap tingkatan tidak
boleh kurang dari jumlah minimal, seperti yang diterangkan pada syarat kedua.
Apabila suatu hadis telah memenuhi tiga syarat di atas, maka tergolong
hadis mutawatir, dan benar atau pasti
(qat’i) berasal dari Nabi SAW.
Pararawi hadismutawatir tidak harus
memenuhi kriteria rawi hadis sahih dan hasan, yakni adil dan dabit, melainkan yang menjadi ukuran
adalah segi kuantitasnya (jumlah rawi) yang secara rasional mustahil mereka
bersepakat untuk berdusta. Misalnya penduduk suatu negeri kafir semuanya dan
mereka bercerita bahwa mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri
suatu kebakaran atau banjir besar, maka dapatlah diyakini kebenaran mereka.[5]
2. Macam-Macam Hadis Mutawatir
Menurut
sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Hadis
Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama.
Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga
dipandang sebagai hadis mutawatir
lafdhi, hadis mutawatir dengan
susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata
yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan
perincian makna hadis itu tetap sama. Contoh hadis mutawatir lafzhi:
النار من مقعده فليتبوأ متعمدا علي كذب من
Artinya:
“Rasulullah
SAW, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia
menduduki tempat duduknya dalam neraka”.[6]“
Hadis tersebut menurut
keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat,
bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang
meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
2.
Hadis
Mutawatir Mak’nawi
Hadis mutawatir mak’nawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda
redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadis-hadis yang
banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada
makna umum yang sama.
Jumlah hadis-hadis yang
termasuk hadis mutawatir maknawi jauh
lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi. Contoh hadis mutawatir maknawi yang artinya:
وسلم عله الله صلى النبي دعا الأشعرى موسى ابو وقال
يديه بياض ورأيت
ابطيه رفع ثم
Artinya:
“Abu Musa Al-‘Asyari berkata: Nabi SAW berdoa kemudian
mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.
”[7]
Hadis semacam ini berjumlah
sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda, namun mempunyai titik
persamaan, yakni keadaan Nabi saw. Mengangkat tangan saat berdoa.
3.
Hadis
Mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir ‘amali adalah hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW,
yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian
juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada
generasi-generasi berikutnya. Contoh : Hadis-hadis Nabi tentang waktu shalat,
tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat Id, adanya shalat jenazah,
dan sebagainya.
Segala macam amal ibadah
yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama,
termasuk dalam kelompok hadis mutawatir
‘amali. Seperti hadis mutawatir
maknawi, jumlah hadis mutawatir
‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar
zakat harta. Contoh
hadis amali
yaitu:
أُصَلِّى نِى مُوْ ارَأَيْتُ كَمَ وْا
صَلُّ
Artinya:
2.
Kedudukan
Hadis Mutawatir
Seperti telah disinggung,
hadis-hadis yang termasuk kelompok hadis mutawatir adalah hadis-hadis yang pasti (qath’i atau
maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadis
mutawatir membuahkan “ilmu qath’i”
(pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan,
perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa
menegaskan bahwa hadis mutawatir
membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk
diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat
tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang
disampaikan oleh hadis itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan
Rasulullah SAW.
Taraf kepastian bahwa hadis
mutawatir itu sungguh-sungguh berasal
dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai
seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan
hadis mutawatir sebagai sumber ajaran
Islam tinggi sekali. Menolak hadis mutawatir
sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari
kedudukan hadis ahad.
B.
Hadis Masyhur (Hadis Mustafid)
Masyhur menurut bahasa berarti sudah tersebar atau sudah
populer. Sedangkan menurut istilah adalah sebagai berikut
الحد يث المشهور او الحد يث المشتفيض هو الحد يث الذى رواه الثلا ثة فاكثر لم
يصل درجة التوتر.
Artinya:
”Hadits Masyhur adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga
orang atau lebih serta belum mencapai derajat Mutawatir”.
Hadis
yang dinamakan masyhur karena telah
tersebar luas di kalangan masyarakat. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilakn ketenangan hati,
kedekatan pada keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang
menolaknya, tidak dikaitkan kafir.
Mustafidah
menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut
bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah
tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama
juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam pengartian
istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih,
dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir . Sedangkan batasan tersebut,
jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak
kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum
mencapai jumlah rawi hadist mutawatir.[9] Contoh hadist masyhur
(mustafidah) adalah hadist berikut ini:
وَيَدِهِ لِسَانِهِ
مِنْ الْمُسْلِمُوْنَ سَلِمَ مَنْ لِمُ اَلْمُسْ:م ص اللهِ رَسُوْلُ قَالَ
Artinya:
“Rasulullah SAW
bersabda :“Seorang muslim adalah kaum muslimin yang tidak terganggu oleh lidah
dan tangannya.”
Hadist
di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat
imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan
Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
C.
Hadis Ahad
1.
Pengertian Hadis Ahad
Secara etimologi, kata "ahad" merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu. Maka Khobar Ahad atau Khobar Wahid adalah
suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah:
الحد يث الاحد هوالحديث الذى لم يبلغ رواته مبلغ الحد يث المتوتر سواء كان
الراوى واحد او اثنين اوثلاثة ااواربعة اوخمسة الىغير ذ لك من العداد
التى لا تشعر بان الحديث د خل فى خبر
المتوتر.
Artinya :
“Hadis ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi
hadismutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya.
Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi
tersebut masuk dalam kelompok hadismutawatir”.
Singkatnya hadis ahad
adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir.
Apabila suatu hadis tidak memenuhi syarat-syarat rawi mutawatir, maka hadis itu masuk dalam kelompok hadis ahad. [10]
Contoh hadis ahad :
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةً بِضْعٌ الْإِيمَانِ الْإِيمَانُ قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ
اللَّهُ صَلَّى النَّبِيِّ عَنْ شُعْبَةٌ
مِنْ وَسِتُّونَ
Artinya “
“Dari Nabi SAW beliau bersabda, “Iman itu ada enam puluh
cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman”.
Macam-macam hadis ahad
yaitu :
a.
Hadis Aziz
Hadis Aziz menurut bahasa berarti hadis yang
mulia atau hadis yang kuat atau hadis yang jarang, karena memang hadis aziz
itu jarang adanya. Menurut istilah yaitu dari pengertian diatas, bila suatu hadis pada
tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang rawi dan setelah itu diriwayatkan
lebih dari dua orang rawi, maka hadis itu tetap saja dipandang sebagai hadis
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadis aziz.
Contoh hadis aziz :
قال رسول الله صلي الله عليه و سلَم : نحن الا خرون فى الد نيا اسا بقون يوم
القيامة
Artinya:
“Rasulullah SAW. Bersabda, “ Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di
dunia) dan yang paling terdahulu diharikiamat.”
b.
Hadis Garib
Hadis garib
menurut bahasa berarti hadis yang terpisah atau menyendiri dari yang lain.
Menurut istilah yaitu sebagai berikut :
الحد يث الغريب هو الحد يث الَذي انفرد
بروا يته شحص واحد فى اي مضع وقع التفر د من السند.
Artinya:
“Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi
(sendirian) pada tingkatan maupun sanad"
Contoh hadis garib :
عن عمر ابن الخطاب ضىالله عنه قال: سمعت
سول الله صلى الله عليه و سلم يقول: انما ا لاعمال با النيات و انما لكل امرئ ما
نوى
Artinya:
“Dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda,
“Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkan.”
Kendati hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak imam
hadis termasuk Bukhari dan Muslim, namun pada tingkatan pertama hanya
diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan ada
tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh satu orang tabi’in, yaitu Al-Qamah.
Dengan demikian, hadis itu dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh satu
orang dan termasuk hadisgarib.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikian hadis dilihat dari
kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis
mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau
menunjukan kualitas hadis ahad, jika
disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis yang makbul. Hadis ahad
masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan
para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita
secara individu yaitu sifat keadilan dank e-dhabith-an, ketersambungan sanad
dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan pasti (qath’i), sedangkan
kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad
bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari
seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhann dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke
kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya
waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan lain-lain. Pengertian
zhann tidak identik dengan syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham .
Zhann diartikan dugaan kuat (rajah) yang
mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan
tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh) antomim zhann .
B. Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas
segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat
dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M. Syuhudi. 1987. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa Bandung
Idri. 2010. Studi
Hadits. Jakarta: Kencana Prenada Media group
Khaeruman, Badri. 2009. Ulum Al-hadis. Bandung: Pustaka setia
Muhammad Ahmad, dkk.2004. Ulumul Hadis, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mudassir. 199. Ilmu
Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rofiah, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadits. Ponorogo: STAIN Press
Ponorogo
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Yuslem, Nawir. 1998. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya
Website:
http:///Chem_Is_Try_KLASIFIKASI-HADIST-DARI-SEGI-KUANTITAS-SANADNYA.html . (di unduh pada tanggal 10 Oktober 2014)
[1]Mudassir, Ilmu
Hadis, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999, hlm.113.
[2]Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2004, hlm. 87.
[3]Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2004, hlm. 88.
[4]Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2004, hlm. 88.
[5]Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2004, hlm. 89.
[6]Dr. Badri Khaeruman, M.Ag, Ulum
Al-Hadis, hlm 97.
[7]Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar
ilmu hadis, hlm 138.
[8]Drs. M. Syuhudi Ismail, pengatar
ilmu hadis, hlm 54.
[9]Drs. M. Syuhudin Ismail, pengatar
ilmu hadits, hlm 143.
[10]Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2004, hlm. 93.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...