BAB I
Pembicaraan
tentang pembagian hadist dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari
pembahasan mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya, yakni
dibagi menjadi hadis mutawatir dan ahad sebagaimana telah dibicarakan pada sub
bab sebelumnya.
Hadis
mutawatir memberikan pengertian kepada yaqin bi al-qath’i bahwa Nabi Muhammad
Saw benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan iqrar (persetujuan)-nya
dihadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka bersama-sama sepakat berbuat dusta kepada Rasulullah Saw. Oleh karena
kebenaran sumber-sumbernya benar-benar telah meyakinkan, maka ia harus diterima
dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik
terhadap sanad maupun matannya.
Berbeda
dengan hadis ahad, yang hanya memberikan faedah zhanny (prasangka yang kuat
akan kebenarannya), mengahruskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan,
baik terhadap sanad maupun matannya, sehingga status hadis ahad, sehingga
status hadis ahad tersebut menjadi jelas “apakah dapat diterima sebagai hujjah
atau ditolak”.
Dari
persoalan inilah, para ulama ahli hadis kemudian membagi hadis, ditinjau dari
segi kualitasnya menjadi dua yaitu hadis maqbul dan hadis mardud, para ulama’
mengkajinya dalam bidang pengetahuan hadis-hadis yang kuat dari yang lemah dan
tentang hal-ihwan para perawi yang diterima hadisnya atau ditolak, menghasilkan
beberapa simpulan ilmiah dan istilah-istilah khusus yang mengindikasikan
keshahihan dan kedha’ifan suatu hadis.. Yang maqbul adalah yang
memenuhi syarat-syarat diterimanya riwayat. Sedangkan yang mardud adalah
yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat diterimanya riwayat itu.
1.
Bagaimana
pembagian hadis dari segi kualitasnya?
2.
Apa
saja yang dimaksud dengan hadis shahih, hasan dan dha’if?
3.
Apa
saja syarat-syarat yang terdapat pada hadis shahih, hasan dan dha’if?
4.
Apa
saja macam-macam hadis shahih, hasan dan dha’if?
5.
Bagaimana
kehujjahan hadis shahih dan hadis hasan?
1.
Mahasiswa
dapat mengetahui pembagian hadis dari segi kualitasnya.
2.
Mahasiswa
dapat memahami dan mengetahui pengertian hadis shahih, hadis hasan dan hadis
dha’if.
3.
Mahasiswa
dapat mengetahui apa saja syarat sehingga hadis tersebut dikatakan hadis
shahih, hasan dan dha’if.
4.
Mahasiswa
dapat mengetahui macam-macam apa saja yang termasuk dalam hadis shahih, hasan
dan dha’if.
5.
Mahasiswa
mampu memahami bagaimana kehujjahan hadis shahih dan hadis hasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS
1.
Hadis
Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti ma’khudz
(yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima), sedangkan menurut
istilah ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat diterimanya.[1]
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis
menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit dan juga berkaitan dengan
matan-nya yaitu matan-nya tidak ber-syadz
dan tidak ber-illat.
Olek karena itu, tidak semua hadis
maqbul diamalkan. Dengan kata lain hadis maqbul ada yang ma’muulun bih dan ada pula yang ghair ma’muulun bih. Yang tergolong
ma’muulun bih adalah hadis muhkam
(hadis yang telah memberikan pengertian jelas), mukhtalif (hadis yang dapat
dikompromkan dari dua buah hadis atau lebih, yang secara lahiriah mengandung
pengertian bertentangan), rajah (hadis yang lebih kuat), dan hadis nasikh
(hadis yang me-nasakh hadis yang datang terlebih dahulu),
Adapun ghair ma’muulum bih adalah hadis marjuh (hadis yang kehujjahnnya
dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat), hadis masukh (hadis yang telah di-nasakh), dan hadis mutawaquf fih (hadis yang
kehujjahannya ditunda, karena terjadinya pertentangan antara satu hadis dengan
lainnya yang belum bisa dikalahkan).
2.
Hadis
Mardud
Mardud menurut bahasa berarti
yang ditolak atau yang tidak diterima, sedangkan menurut istilah ialah hadis
yang tidak memenuhi syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.
Tidak terpenuhinya persyaratan
yang dimaksud, bila terjadi pada sanad dan matan. Para ulama mengelompokkan
hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dha’if dan hadis maudhu’.[2]
Pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari diterima –tidaknya dibagi menjadi
tiga, yaitu: hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if.
B.
PENGERTIAN HADIS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1.
Pengertian
hadis shahih
Sahih menurut bahasa lawan
kata dari Saqim[3]
(sakit). Kata sahih juga telah menjadi kosakata Bahasa Indonesia dengan
arti “sah, benar, sempurna, pasti”.[4]Maka,
hadis shahih secara bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, dan
sempurna, dan yang tidak sakit. Secara terminologis, menurut Shubhi al-Shalih,
hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat
yang ‘adil dan ‘dhabith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad
terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat
(cacat).[5]
Ibn al-Shalah mendefinisikan
hadis shahih dengan:”Hadis yang di sandarkan kepada Nabi yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabith, diterima dari
periwayat yang ‘adil dan dhabith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syadz
(kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.[6]
Ibn Hajar al-‘Asqalani lebih
ringkas mendefinisikan hadis shahih, yaitu:”Hadis yang diriwayatkan oleh orang
yang ‘adil, sempurna, ke-dhabith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-’illat dan tidak ber –syadz”.[7]
Contoh hadis shahih yaitu sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا
مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه
البخاري)
Artinya:” Telah meneceritakan kepada kami Abdullah bin
Yusuf ia berkata: telah mengabarkan kepada kami malik dari ibnu Syihab dari
Muhammad bin Jubair bin Math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar
Rasulullah Saw membaca dalam sholat maghrib Q.S Ar-Thur (HR.Bukhari,Kitab
Adzan).”
Mengapa hadist ini dikatakan sebagai hadis shahih
sebab jika dianalisis lebih dalam lagi maka:
·
Sanadnya
bersambung karena semua rawi dari hadis tersebut mendengar dari gurunya
·
Semua rawi
pada hadist tersebut bersfat dhabit,
adapun sifat-sifat para rawi hadis tersebut menurut para ulama aj-jurhu wa
ta’dil sebagai berikut:
a) Abdullah bin Yusuf :
Tsiqat Muttaqin
b) Malik bin Annas :
Imam Hafidz
c) Ibnu Syihab Aj-Juhri :
Ahli Fiqh dan Hafidz
d) Muhammad bin jubair :
Tsiqat
e) Jubair bin Math’ami :
Shahabat
·
Tidak syadz
karena tidak ada pertentangan dengan hadis yang lebih kuat serta tidak cacat.[8]
2.
Pengertian
Hadis Hasan
Hadis
hasan secara bahasa berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan
jiwa dan nafsu. Al-Turmudzi mendefinikan hadis hasan dengan: “Tiap-tiap hadis
yang pada sanadnya tidak terdapat periwayat yang tertuduh dusta, tidak terdapat
kejanggalan dan diriwayatkan pula melalui jalan yang lain”.[9]
Ibn
Hajr al-‘Asqalani mendefinisikan hadis hasan yang kemudian banyak diikuti oleh
ulama hadis yaitu:”Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, kurang
kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘iilat, dan tidak pula
mengandung syadz”.[10]
Dengan
demikian, hadis hasan pada dasarnya adalah hadis musnad (sanadnya bersambung kepada Nabi), diriwayatkan oleh
periwayat yang ‘adil (misalnya tidak tertuduh pendusta), tidak mengandung syadz ataupun ‘illat, tetapi diantara periwayatnya dalam sanad ada yang kurang dhabith. Dengan kata lain hadis hasan
hampir sama dengan hadis shahih, hanya saja pada hadis hasan diantara salah
seorang periwayatnya ada yang dhabith, sedangkan pada hadis shahih seluruh
periwayatnya dhabith.[11]
Contoh hadis hasan yaitu sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا
جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي
بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ
يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ
السُّيُوْفِ ..... الحديث
Artinya:”Telah menceritakan
kepada kamu Qutaibah, telah menceritakan kepada kamu Ja’far bin Sulaiman, dari
Abu Imron al-Jauni dari Abu Bakar bin abi Musa al-Asy’ari ia berkata: aku
mendengar ayahku berkata ketika musuh datang: Rasulullah Saw bersabda:
sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang....”(HR.At-Tirmidzi, Bab
Abwabu Fadhailil Jihadi).
3. Pengertian Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan
dari qawi (yang kuat). Sebagai lawan kata dari shahih, kata dha’if juga berarti
saqim (yang sakit). Maka, sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang
lemah, yang sakit dan yang tidak kuat. Secra terminologis, para ulama
mendefinikannyadengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya
sama. Al-Namawi dan al-Qasimi mendefinikan hadis dha’if dengan:“hadis yang
didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis
hasan”.[12]
Menurut Nur al-Din ‘Itr ,
definisi yang paling baik tentang hadis dha’if adalah:”hadis yang hilang salah
satu syaratnya dari syarat-syarat dadis maqbul”.[13]
Contoh hadis dha’if adalah sebagai berikut:
مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ
طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : " مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً
فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ
Artinya:”Apa yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi dari jalur hakim Al-Atsrami:”dari abi Tamimah dari abi Hurairah
dari nabi SAW bersabda:”barngsiapa yang menggauli wanita haid atau seorang
perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari
apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad Saw”.
Berkata Imam
Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadis ini :”kami tidak
mengetahui hadis ini kecuali hadis dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadist
ini di dho’ifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sandnya terdapat
hakim al-Atsrami sebab di dha’ifkan pula
oleh para ulama hadist.” Berkata Ibn Hajar mengenai hadist ini didalam kitab
“Taqribut Tahdzib” hakim al-Atsrami pada rawi tersebut adaah seorang yang
bermuka dua, adapun penyebab kedho’ifannyakkarena beberapa hal yaitu sebagai
berikut:
·
Sebab
terputusnya sand, akan terputusnya sanadpun terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1)
Sebab
terputus secara Dzohir (nyata):
a)
Mu’allaq
adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara
berurutan.
b)
Mursal
adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah thabi’in (sahabat).
c)
Mughdhal
adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
d)
Munqhoti’
adalah apa yang sanadnya tidak bersambung.
2)
Sebab
terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
a)
Mudallas
adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir
hadistnya
b)
Mursal
khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa
yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang
lainnya seperti qaala.
C. SYARAT-SYARAT HADIS
SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1)
Syarat-Syarat
Hadis Shahih
a)
Sanadnya
bersambung (ittishal al-sannad)
Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung ialah bahwa
tiap-tiap perawinya dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi
terdekat sebelumnya.[14]
b)
Perawinya
‘Adil
Kata ‘adil menurut bahasa biasa berarti lurus, tidak
berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, jujur.[15]Seseorang
dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong
terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak
baik dalam segala tingkah lakunya.[16]
c)
Perawinya
dhabit
Kata “dhabth”
menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna.[17]seorang
perawi dikatakan dhabith apabila perawi tersebut mempunyai daya ingatan dengan
sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.[18]
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat
hafalannya terhadap segala sesuatu yang pernah di dengarnya, kemudian mampu
menyampaikan hafalan tersebut manakala diperlukan.
d)
Tidak
syadz (janggal)
Hadis yang tidak syadz (ghair syadz), adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan
hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
e)
Tidak
ber-illat (Ghair Mu’allal)
Hadis yang tidak ber-illat adalah hadis-hadis yang
didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
2)
Syarat-syarat
Hadis Hasan
Atas dasar pengertian hadis
hasan tersebut, maka syarat-syarat hadis hasan yaitu:
a)
Muttasil
sanadnya.
b)
Rawinya
adil.
c)
Rawinya
dhabith. Kedhabithan rawi disini tingkatannya di bawah kedhabithan rawi hadis
shahih, yakni kurang sempurna kedhabithannya.
d)
Tidak
termasuk hadis syadz.
e)
Tidak
terdapat illat(cacat).
Dengan demikian, syarat-syarat hadis hasan adalah seperti
syarat-syarat hadis shahih, kecuali syarat yang tersebut pada no 3, yaitu
tentang dhabit, dimana di dalam hadis shahih kedhabithan itu harus dalam
tingkatanyang tinggi, sedangkan dalam hadis hasan tingkat kedhabithannya ada
dibawahnya, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin al-Qamah,
dari Salamah, dari Abu Hurairah ra.
3)
Syarat
Hadis Dha’if
Syarat-syarat
hadis dha’if yaitu sebagai berikut:
a) Sanadnya terputus
b) Periwayatnya tidak ‘adil
c) Periwayatnya tidak dhabit
d) Mengandung syadz
e) Mengandung ‘illat
Selain itu syarat hadis dha’if ialah apabila ia kehilangan
salah satu syaratanya sebagai hadis shahih atau hadis hasan. Dengan demikian,
hadis dha’if itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih, juga tidak
memenuhi persyaratan hadis-hadis hasan. Pada hadis dha’if terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal
dari Rasulullah Saw.
Kehati-hatian dari para ahli hadis dalam menerima
hadis sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadis itu
sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadis dan menghukuminya sebagai hadis
dha’if. Padahal tidak adanya petunjuk atas kesalian hadis itu bukan suatu bukti
yang pasti atas adanya kesalahan dan kedustaan dalam periwayatan hadis, seperti
kedha’ifan hadis yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan
yang dilakukan dalam meriwayatakan suatu hadis. Padahal sebetulnya ia jujur dan
dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam
meriwayatakan hadis yang dimaksud, bahkan mungkon sekali ia benar. Akan tetapi,
karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam periwayatan hadis yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk
menolaknya.
Kedha’ifan suatu hadis karena tidak bersambungnya
sanad. Hadis yang demikian di hukumi dha’if karena identitas rawi yang tidak
tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dha’if.
Seandainya ia rawi yang dha’if, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam
meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang
timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya
sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadis. Hal ini merupakan puncak
kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.
D.
MACAM-MACAM
HADIS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1.
Macam-macam
Hadis Shahih
a) Shahih
li dzatihi,yaitu
hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna,
yaitu syarat-syarat yang terdapat pada hadis shahih diatas.
b)
Shahih li Ghairihi, yaitu hadis yang tidak
memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul
(a’la sifat al-qubul).
Perbedaan antara
kedua di atas terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada hadis li
ghairih, ingatan perawinya kurang sempurna. Sedangkan sahih li dzatih
ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan sahih, khususnya yang
berkaitan dengan kurang sempurna pada hadis sahih li ghairih, sehingga
dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sebenarnya hadis sahih bangian ini
asalnya bukan hadis sahih, melainkan hadis hasan li dzatih. Karena adanya syahid yang
menguatkannya, maka hadis li dzatih ini berubah kedudukan menjadi hadis
sahih li ghairih.
2.
Macam-macam
Hadis Hasan
a. Hadis
hasan li Dzatih
Pengertian hadis
hasan li Dzatih yaitu hadis yang sanadnya bersambung demgan periwayatan
yang ‘adil, dhaith meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad
tanpa ada kegamjilan (syadz) dan
cacat (‘illat) yang merusak.
b. Hadis
li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi ini terjadi dari hadis
dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak diketahui
keahliannya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka tidak sampai kepda
derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya.
3.
Macam-Macam
Hadis Dha’if
a) Hadis Dha’if karena sanadnya
terputus
Dari segi persambungan sanad, para ulama menemukan banyak
hadis yang jika dilihat dari sudut sanadnya ternyata tidak bersambung. Tidak
bersambungnya sanad ini menunjukkan bahwa hadis tesebut adalah hadis Dha’if.
Hadis yang tergolong dalam kelompok ini ialah hadis al-mursal, al-munqathi’,
dan al-mudallas.
(1) Hadis Mu’allaq adalah hadis yang terputus di
awal sanad, atau dapat dikatakan bahwa hadis mu’allaq yaitu hadis yang
periwayatannya di awal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis[19])
gugur atau terputus seorang atau lebih secara berurut.
(2) Hadis Mursal ialah hadis yang
gugur sanadnya setelah tabi’in, yang dimaksud gugur disini adalah tidak
disebutkannya sanad terkahir, padahal sahabat adalah orang yang pertama
menerima hadis dari Rasulullah Saw.
(3) Hadis Munqathi’ ialah hadis
yang pada sanadnya terdaoat seorang perawi yang gugur atau pada sanad tersebut
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya, atau pendapat lain
mengatakan bahwa hadis munqathi’ ialah hadis yang seorang perawinya gugur sebelum
sahabat pada suatu tempat atau gugur dua orang perawinya pada dua tempat yang
tidak berturut-turut.
(4) Hadis Mu’dal ialah hadis yang
gugur dua sanadnya atau lebih secara berturut-turut atau dapat dikatakan juga
bahwa suatu hadis yang gugur dua orang perawinya atau lebih secara
berturut-turut baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in atau dua orang
sebelumnya.
(5) Hadis Mauquf ialah hadis yang
diriwayatakan dari para sahabat, itu berupa perkataan, perbuatan atau
taqrirnya, baik periwayatannya itu bersambung atau tidak atau dapat dikatakan
juga hadis yang disandarakan kepada sahabat.
(6) Hadis Maqtu’ ialah hadis yang
diriwayatkan dari tabi’in dan disandarakan kepadanya, baik perkataan maupun
perbuatannya.
b) Hadis Dha’if karena periwayatnya tidak adil
(1) Hadis Munkar ialah ghadis ya g
diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dha’if), yang bertentangan
dengan periwayatan orang kepercayaan.
(2) Hadis Mawdhu’ adalah hadis dusta
yang di buat-buat dan dinisbahkan kepada Rasulullah.
(3) Hadis Matruk ialah hadis yang
diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadis yang
diriwayatkan), atau nampak kefasikannya baik pada perbuatan atau pada
perkataannya atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu. Dalam istilah ilmu
hadist, hadis matruk ialah hadis yang terdapat pada sandanya perawi yang
tertuduh dusta.
c) Hadis Karena Periwayatnya
tidak Dhabit
(1) Hadis Maqlub ialah mengganti
suatu lafal dengan lafal yang lainpada sanad hadis atau pada matannya dengan
cara mendahulukan atau dengan mengakhirkannya.
(2) Hadis Mudallas adalah suatu
hadis yang terdapat didalamnya tipuan atau cacat.
(3) Hadis Mudraj adalah hadis yang
bentuk sanadnya di ubah atau ke dalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau
kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut tanpa ada pemisah.
(4) Hadis Mazid adalaha hadis yang
mendapat tambahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik pada
sanad maupun matan.
(5) Hadis Mudtharib adalah hadis
yang di riwayatkan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi sama dalam
kekuatannya, maksudnya hadis yang di riwayatkan dengan bentuk yang bertentangan
dan berbeda serta tidak mungkin dilakukan kompromi.
(6) Hadis Mushahhaf adalah hadis
yang mengalami perubahan lafal ataupun makna baik perubahan karena faktor
pendengaran atau penglihatan yang terjadi pada sanad atau matan.
(7) Hadis Majhul adalah hadis yang
tidak diketahui jati diri periwayat atau keadaannya.
d) Hadis dha’if karena mengandung
Syadzs ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya lebih
utama atau dapat dikatakan bahwa hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh
seorang terpercaya atau siqah tanpa ada sanad lain yang menguatkannya sebagai
muttabi’.
E. KEHUJJAHAN
HADIS SHAHIH, HADIS HASAN DAN HADIS DHA’IF
1.
Kehujjahan
Hadis Shahih
Para ulama ahli
hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadis
shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini
terjadidalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau harambya
sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah (keyakinan).
Sebagian besar
ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i yaitu Al-Qur’an dan hadis mutawatir
untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadis
ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwahadis
shahih memfaedahkan Ilmu Qath’i dan wajib diyakini. Dengan demikian hadis
shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.
2.
Kehujjahan
Hadis Hasan
Jumhur ulama
mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti hadis shahih, walaupun
derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadis hasan
ini baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih kedalam kelompok
shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah, meskipun mereka tanpa memberikan penjelasan terlebih
dahulu. Bahkan para ulama dan fuqaha banyak yang beramal dengan hadis hasan
ini. Agaknya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadis
ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan
hasan di sini (yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah hadis hasan li dzatihi.
Sedangkan hadis hasan
li ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi
oleh banyaknya riwayat (riwayata lain), maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila
tidak demikian, tidak sah berhujjah dengannya. Tapi pada hakikatnya hasan li ghairihi pun bisa dipergunakan
senagai hujjah.
Sementara para
ulama yang membedakan kehujjahan hadis berdasarkan kualitas , hadis hasan li dzatihi dengan li gharihi dan shahih li
dztihi dengan li ghairihi, maupun
antara shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadis-hadis
tersebut berdasarkan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka
menempatkan hadis-hadis riwayat Muttafaqun ‘alaih, dan seterusnya.
Penempatan hadis
tersebut berdasarkan urutan-urutan diatas, akan terlihat kegunaannya ketika
terjadi atau terlihat adanya pertentangan (ta’arudh)
antara dua hadis.
3.
Kehujjahan
Hadis Dha’if
Dikalangan ulama
terdapat perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadis dha’if. Setidaknya
terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadis
jenis ini. Pertama, menurut Yahya Ibn
Ma’in, Abu Bakar Ibn ‘Arabi, al-Bukhari, Muslim, dan Ibn Hazm, hadis dha’if
tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fadhail al’mal maupun hukum. Kedua,
Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hanbal berpendapat bahwa hadis dha’if dapat diamalkan
secara mutlak. Menurut keduanya, bagaimanapun hadis dha’if itu lebih kuat dari
pada pendapat manusia. Ketiga,
menurut Ibn Hajar al-Asqalani hadis dha’if dapat di jadikan hujjah dalam
masalah fadhail al-mal, mawa’izh,
al-tarhib wa al-targhib, dan sebagaimana jika memenuhi syarat –syarat
tertentu.
Syarat-syarat itu
adalah: Ke-dhai’if-annya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para
pendusta atau tertuduh dusta atau sangat banyak mengalami kesalahan. Terdapat
dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan, ketika mengamalkannya tidak
beriktikad bahwa hadis itu tsubut, tetapi sebaiknya dalam rangka berhati-hati.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Para
ulama ahli hadis membagi hadis di tinjau dari segi kualitasnya menjadi dua
yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Maqbul ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat diterimanya. Mardud
ialah hadis yang tidak memenuhi syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.
2.
Pembagian
hadis dilihat dari diterima –tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu: hadis shahih,
hadis hasan, dan hadis dha’if.
a.
Hadis
shahih adalah ”Hadis yang di sandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabith, diterima dari periwayat
yang ‘adil dan dhabith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syadz (kejanggalan)
dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.
b.
Hadis
hasan adalah ”Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, kurang kuat
hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘iilat, dan tidak pula
mengandung syadz”.
c.
Hadis
dha’if adalah “Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih
dan syarat-syarat hadis hasan”.
3.
Syarat-syarat
hadis shahih yaitu Sanadnya bersambung (ittishal al-sannad), Perawinya
‘Adil, Perawinya dhabit, Tidak syadz (janggal), dan tidak ber-illat (Ghair Mu’allal). Syarat-syarat hadis
hasan yaitu Muttasil sanadnya, rawinya ‘adil dan dhabit, tidak termasuk hadis
syadz, tidak terdapat illat(cacat). Syarat hadis dha’if yaitu kehilangan
salah satu syarat sebagai hadis shahih atau hadis hasan.
4.
Hadis
shahih terbagi menjadi dua yaitu Shahih
li dzatihi dan Shahih li Ghairihi.
Hadis hasan terbagi dua yaitu Hadis hasan
li Dzatih dan Hadis li Ghairihi. Hadis
dha’if terbagi menjadi 4 yaitu hadis
dha’if karena sanadnya terputus (hadis mu’allaq, hadis mursal, hadis
munqathi’,hadis mu’dal, hadis mauquf dan hadis maqtu’),
hadis dha’if karena periwayatnya adil (hadis munkar, hadis mawdhu’, hadis
matruk), hadis dha’if karena periwayatnya tidak dhabit (hadis maqlub, hadis
mudallas, hads mudraj, hadis mazid, hadis mudtharib, hadis mushahhaf, dan hadis
majhul), dan hadis dha’if karena mengandung syadzs.
5.
Para
ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat
menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Jumhur
ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti hadis shahih, walaupun
derajatnya tidak sama. Dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang
kehujjahan hadis dha’if. Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan
dapat tidaknya berhujjah dengan hadis dha’if.
B.
SARAN
Dalam
pembuatan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki. Kritik dan saran yang sifatnya membangun kami harapkan dari para
pembaca yang budiman untuk masukan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,Muhammad
& Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka setia
Idri., Studi Hadis,
Jakarta:Kencana,2010
Izzan,Ahmad & Saifudin
Nur. 2011. Ulumul hadis. Bandung:
Tafakur (kelompok HUMANIORA)- Anggota Ikapi berkhidmat untuk umat
Kaeruman,Badri.
2010. UlumAl-Hadis.
Bandung: Pustaka Seti
Sahrani Sohari.,Ulumul
Hadis,Serang Banten:Ghalia Indonesia,2010
Suparta Munzier.,Ilmu
Hadis,Jakarta:Rajawali Pers,2010
Tihami,M.A.
2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia
Indonesia
Yuslem,Nawir.
2001. Ulumul Hadis. Jakarta: PT.
Mutiara Sumber Widya
http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html
[1] Mahmud Thahan., op.cit.,hlm 31
[2] Pembicaraan tentang
hadis maudhu’, ada sebagian ulama yang menganggap hadis maudhu’ sebagai sebuah
hadis dan ada yang tidak. Yang menganggap hadis pun ada yang memasukkan ke
dalam jenis hadis dha’if dan ada yang memisahkannya dari hadis dha’if. Sebab hadis
dha’if itu ada yang diamalkan meskipun sebatas hadis fadhail al-a’mal-nya,
sementara hadis maudhu’ para ulama ahli hadis sepakat melarang pengamalannya.
[3] Pembagian
ini kemudian juga mempengaruhi pada kualitas hadis-hadis yang diriwayatkan Imam
Ahmad, bahwasanya hadis-hadis dha’if yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
mempunyai kualitas hasan dalam pandangan para ulama setelahnya.
[4] Ibnu Taymiyah, ‘Ilmu al-Hadis, Beirut:Dar al-Kutub
Al-‘Ilmiyah,1989,Cet-2,hlm 31
[5] Shubhi
al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh,
Beiurut:Dar al-‘Ilm li al-Malayin. 1988.hlm
145
[6] Abu ‘Amr ‘Utsman ibn
‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, ‘Ulum
al-Haist, al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Islmaiyah. 1972. Hlm10
[7] Ahmad Ibn ‘Ali ibn Hajar
al-Asqalani , Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah
al-Fikar, Semarang:Maktabah al-Munawwar,tth.,hlm 51
[8] http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html (Di download di Palangka
Raya, 18 Desember 2014,06.10 WIB)
[10] Ibn Hajr al-‘Asqalani,Nukhbah al-Fikar,hlm 52
[11] Idri,Studi Hadis Cet-1,Jakarta:Kencana.2010,hlm
159
[12] Muhammad al-Sabbagh, al-Hadis al-Nabawi Musthalahuh wa Balaghatuh,
Ttt Mansyrat al-Maktab al-Isami, tth,hlm 171
[13] Nur al-Din ‘Itr
dalam al-Madkhal Ila ‘Ullum al-Hadits, al-Madinah
al-Munawwarah:al-Maktabah al-‘llmiyah, 1972 M,hlm 286
[15] W.J.S.Poerwadarminta,op.cit.,hlm 16, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawar Kamus Arab Indonesi,Jogyakarta:Unit
Pengadaan buku-buku Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munnawir,1984,hlm971-972
[17] Louis Ma’luf,Al-Munjid fi Al-Munjid fi Al-Lughah wa
Al-‘A’lam,Beirut:Dar Al-Masyriq,1992,hlm 445
[18] Ibn Hajr Al-‘Asqalani, Nushat Al-Nasar,op.cit.,hlm 13,
Al-Syakhawi,op.cit, hlm 18
[19] Ahmad bin Ali Ibn Hajr
al-‘Asqalani, Nuzhah, hlm 26 dan
Muhammad al-Sabbagh, al-Hadis al-Nabawi,
hlm 186
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...