Menu Bar 1

Monday, 8 May 2017

Makalah Ulumul Hadist "Pembagian Hadis: Dari Segi Kualitas Sanad, Hasan, Dan Dha’if"

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Pembicaraan tentang pembagian hadist dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadis mutawatir dan ahad sebagaimana telah dibicarakan pada sub bab sebelumnya.
Hadis mutawatir memberikan pengertian kepada yaqin bi al-qath’i bahwa Nabi Muhammad Saw benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan iqrar (persetujuan)-nya dihadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat berbuat dusta kepada Rasulullah Saw. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya benar-benar telah meyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matannya.
Berbeda dengan hadis ahad, yang hanya memberikan faedah zhanny (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengahruskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matannya, sehingga status hadis ahad, sehingga status hadis ahad tersebut menjadi jelas “apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak”.
Dari persoalan inilah, para ulama ahli hadis kemudian membagi hadis, ditinjau dari segi kualitasnya menjadi dua yaitu hadis maqbul dan hadis mardud, para ulama’ mengkajinya dalam bidang pengetahuan hadis-hadis yang kuat dari yang lemah dan tentang hal-ihwan para perawi yang diterima hadisnya atau ditolak, menghasilkan beberapa simpulan ilmiah dan istilah-istilah khusus yang mengindikasikan keshahihan dan kedha’ifan suatu hadis.. Yang maqbul adalah yang memenuhi syarat-syarat diterimanya riwayat. Sedangkan yang mardud adalah yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat diterimanya riwayat itu.


  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pembagian hadis dari segi kualitasnya?
2.      Apa saja yang dimaksud dengan hadis shahih, hasan dan dha’if?
3.      Apa saja syarat-syarat yang terdapat pada hadis shahih, hasan dan dha’if?
4.      Apa saja macam-macam hadis shahih, hasan dan dha’if?
5.      Bagaimana kehujjahan hadis shahih dan hadis hasan?

  1. TUJUANN MASALAH
1.    Mahasiswa dapat mengetahui pembagian hadis dari segi kualitasnya.
2.    Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui pengertian hadis shahih, hadis hasan dan hadis dha’if.
3.    Mahasiswa dapat mengetahui apa saja syarat sehingga hadis tersebut dikatakan hadis shahih, hasan dan dha’if.
4.    Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam apa saja yang termasuk dalam hadis shahih, hasan dan dha’if.
5.    Mahasiswa mampu memahami bagaimana kehujjahan hadis shahih dan hadis hasan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS
1.    Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti ma’khudz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima), sedangkan menurut istilah ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat diterimanya.[1]
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit dan juga berkaitan dengan matan-nya yaitu matan-nya tidak ber-syadz dan tidak ber-illat.
Olek karena itu, tidak semua hadis maqbul diamalkan. Dengan kata lain hadis maqbul ada yang ma’muulun bih dan ada pula yang ghair ma’muulun bih. Yang tergolong ma’muulun bih adalah hadis muhkam (hadis yang telah memberikan pengertian jelas), mukhtalif (hadis yang dapat dikompromkan dari dua buah hadis atau lebih, yang secara lahiriah mengandung pengertian bertentangan), rajah (hadis yang lebih kuat), dan hadis nasikh (hadis yang me-nasakh hadis yang datang terlebih dahulu),
Adapun ghair ma’muulum bih adalah hadis marjuh (hadis yang kehujjahnnya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat), hadis masukh (hadis yang telah di-nasakh), dan hadis mutawaquf fih (hadis yang kehujjahannya ditunda, karena terjadinya pertentangan antara satu hadis dengan lainnya yang belum bisa dikalahkan).
2.    Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima, sedangkan menurut istilah ialah hadis yang tidak memenuhi syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.


Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud, bila terjadi pada sanad dan matan. Para ulama mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dha’if dan hadis maudhu’.[2] Pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari diterima –tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu: hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if.
B.    PENGERTIAN HADIS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1.    Pengertian hadis shahih
Sahih menurut bahasa lawan kata dari Saqim[3] (sakit). Kata sahih juga telah menjadi kosakata Bahasa Indonesia dengan arti “sah, benar, sempurna, pasti”.[4]Maka, hadis shahih secara bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, dan sempurna, dan yang tidak sakit. Secara terminologis, menurut Shubhi al-Shalih, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan ‘dhabith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).[5]
Ibn al-Shalah mendefinisikan hadis shahih dengan:”Hadis yang di sandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabith, diterima dari periwayat yang ‘adil dan dhabith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syadz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.[6]
Ibn Hajar al-‘Asqalani lebih ringkas mendefinisikan hadis shahih, yaitu:”Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil, sempurna, ke-dhabith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-’illat dan tidak ber –syadz”.[7] Contoh hadis shahih yaitu sebagai berikut:
 حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
Artinya:” Telah meneceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata: telah mengabarkan kepada kami malik dari ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar Rasulullah Saw membaca dalam sholat maghrib Q.S Ar-Thur (HR.Bukhari,Kitab Adzan).”
Mengapa hadist ini dikatakan sebagai hadis shahih sebab jika dianalisis lebih dalam lagi maka:
·         Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadis tersebut mendengar dari gurunya
·         Semua rawi pada hadist tersebut  bersfat dhabit, adapun sifat-sifat para rawi hadis tersebut menurut para ulama aj-jurhu wa ta’dil sebagai berikut:
a)    Abdullah bin Yusuf      : Tsiqat Muttaqin
b)    Malik bin Annas          : Imam Hafidz
c)    Ibnu Syihab Aj-Juhri   : Ahli Fiqh dan Hafidz
d)    Muhammad bin jubair : Tsiqat
e)    Jubair bin Math’ami    : Shahabat
·         Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadis yang lebih kuat serta tidak cacat.[8]

2.    Pengertian Hadis Hasan
Hadis hasan secara bahasa berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa dan nafsu. Al-Turmudzi mendefinikan hadis hasan dengan: “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat periwayat yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan dan diriwayatkan pula melalui jalan yang lain”.[9]
Ibn Hajr al-‘Asqalani mendefinisikan hadis hasan yang kemudian banyak diikuti oleh ulama hadis yaitu:”Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘iilat, dan tidak pula mengandung syadz”.[10]
Dengan demikian, hadis hasan pada dasarnya adalah hadis musnad (sanadnya bersambung kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil (misalnya tidak tertuduh pendusta), tidak mengandung syadz ataupun ‘illat, tetapi diantara periwayatnya dalam sanad ada yang kurang dhabith. Dengan kata lain hadis hasan hampir sama dengan hadis shahih, hanya saja pada hadis hasan diantara salah seorang periwayatnya ada yang dhabith, sedangkan pada hadis shahih seluruh periwayatnya dhabith.[11] Contoh hadis hasan yaitu sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث      
Artinya:”Telah menceritakan kepada kamu Qutaibah, telah menceritakan kepada kamu Ja’far bin Sulaiman, dari Abu Imron al-Jauni dari Abu Bakar bin abi Musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang: Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang....”(HR.At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil Jihadi).


3.    Pengertian Hadis Dha’if
Kata dha’if  menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang kuat). Sebagai lawan kata dari shahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit). Maka, sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit dan yang tidak kuat. Secra terminologis, para ulama mendefinikannyadengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya sama. Al-Namawi dan al-Qasimi mendefinikan hadis dha’if dengan:“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan”.[12]
Menurut Nur al-Din ‘Itr , definisi yang paling baik tentang hadis dha’if adalah:”hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat dadis maqbul”.[13] Contoh hadis dha’if adalah sebagai berikut:
مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : " مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ
Artinya:”Apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari jalur hakim Al-Atsrami:”dari abi Tamimah dari abi Hurairah dari nabi SAW bersabda:”barngsiapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad Saw”.
Berkata Imam Tirmidzi  setelah mengeluarkan (takhrij) hadis ini  :”kami tidak mengetahui hadis ini kecuali hadis dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadist ini di dho’ifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sandnya terdapat hakim al-Atsrami sebab  di dha’ifkan pula oleh para ulama hadist.” Berkata Ibn Hajar mengenai hadist ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” hakim al-Atsrami pada rawi tersebut adaah seorang yang bermuka dua, adapun penyebab kedho’ifannyakkarena beberapa hal yaitu sebagai berikut:
·         Sebab terputusnya sand, akan terputusnya sanadpun terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1)    Sebab terputus secara Dzohir (nyata):
a)    Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
b)    Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah thabi’in (sahabat).
c)    Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
d)    Munqhoti’ adalah apa yang sanadnya tidak bersambung.
2)    Sebab terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
a)    Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir hadistnya
b)    Mursal khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala.
C.   SYARAT-SYARAT HADIS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1)    Syarat-Syarat Hadis Shahih
a)    Sanadnya bersambung (ittishal al-sannad)
Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung ialah bahwa tiap-tiap perawinya dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya.[14]
b)    Perawinya ‘Adil
Kata ‘adil menurut bahasa biasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, jujur.[15]Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah lakunya.[16]
c)    Perawinya dhabit
Kata “dhabth” menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna.[17]seorang perawi dikatakan dhabith apabila perawi tersebut mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.[18] Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap segala sesuatu yang pernah di dengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut manakala diperlukan.
d)    Tidak syadz (janggal)
Hadis yang tidak syadz (ghair syadz), adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
e)    Tidak ber-illat (Ghair Mu’allal)
Hadis yang tidak ber-illat adalah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
2)    Syarat-syarat Hadis Hasan
Atas dasar pengertian hadis hasan tersebut, maka syarat-syarat hadis hasan yaitu:
a)    Muttasil sanadnya.
b)    Rawinya adil.
c)    Rawinya dhabith. Kedhabithan rawi disini tingkatannya di bawah kedhabithan rawi hadis shahih, yakni kurang sempurna kedhabithannya.
d)    Tidak termasuk hadis syadz.
e)    Tidak terdapat illat(cacat).
Dengan demikian, syarat-syarat hadis hasan adalah seperti syarat-syarat hadis shahih, kecuali syarat yang tersebut pada no 3, yaitu tentang dhabit, dimana di dalam hadis shahih kedhabithan itu harus dalam tingkatanyang tinggi, sedangkan dalam hadis hasan tingkat kedhabithannya ada dibawahnya, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin al-Qamah, dari Salamah, dari Abu Hurairah ra.
3)    Syarat Hadis Dha’if
Syarat-syarat  hadis dha’if yaitu sebagai berikut:
a)    Sanadnya terputus
b)    Periwayatnya tidak ‘adil
c)    Periwayatnya tidak dhabit
d)    Mengandung syadz
e)    Mengandung ‘illat
Selain itu syarat hadis dha’if ialah apabila ia kehilangan salah satu syaratanya sebagai hadis shahih atau hadis hasan. Dengan demikian, hadis dha’if itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadis-hadis hasan. Pada hadis dha’if terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah Saw.
Kehati-hatian dari para ahli hadis dalam menerima hadis sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadis itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadis dan menghukuminya sebagai hadis dha’if. Padahal tidak adanya petunjuk atas kesalian hadis itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan dan kedustaan dalam periwayatan hadis, seperti kedha’ifan hadis yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatakan suatu hadis. Padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatakan hadis yang dimaksud, bahkan mungkon sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Kedha’ifan suatu hadis karena tidak bersambungnya sanad. Hadis yang demikian di hukumi dha’if karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dha’if. Seandainya ia rawi yang dha’if, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadis. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.
D.   MACAM-MACAM  HADIS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1.    Macam-macam Hadis Shahih
a)    Shahih li dzatihi,yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang terdapat pada hadis shahih diatas.
b)    Shahih li Ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul (a’la sifat al-qubul).
Perbedaan antara kedua di atas terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada hadis li ghairih, ingatan perawinya kurang sempurna. Sedangkan sahih li dzatih ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan sahih, khususnya yang berkaitan dengan kurang sempurna pada hadis sahih li ghairih, sehingga dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sebenarnya hadis sahih bangian ini asalnya bukan hadis sahih, melainkan hadis hasan  li dzatih. Karena adanya syahid yang menguatkannya, maka hadis li dzatih ini berubah kedudukan menjadi hadis sahih li ghairih.
2.    Macam-macam Hadis Hasan
a.    Hadis hasan li Dzatih
Pengertian hadis hasan li Dzatih yaitu hadis yang sanadnya bersambung demgan periwayatan yang ‘adil, dhaith meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kegamjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
b.    Hadis li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi ini terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak diketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka tidak sampai kepda derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya.

3.    Macam-Macam Hadis Dha’if
a)    Hadis Dha’if karena sanadnya terputus
Dari segi persambungan sanad, para ulama menemukan banyak hadis yang jika dilihat dari sudut sanadnya ternyata tidak bersambung. Tidak bersambungnya sanad ini menunjukkan bahwa hadis tesebut adalah hadis Dha’if. Hadis yang tergolong dalam kelompok ini ialah hadis al-mursal, al-munqathi’, dan al-mudallas.
(1)   Hadis Mu’allaq adalah hadis yang terputus di awal sanad, atau dapat dikatakan bahwa hadis mu’allaq yaitu hadis yang periwayatannya di awal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis[19]) gugur atau terputus seorang atau lebih secara berurut.
(2)  Hadis Mursal ialah hadis yang gugur sanadnya setelah tabi’in, yang dimaksud gugur disini adalah tidak disebutkannya sanad terkahir, padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadis dari Rasulullah Saw.
(3)  Hadis Munqathi’ ialah hadis yang pada sanadnya terdaoat seorang perawi yang gugur atau pada sanad tersebut disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya, atau pendapat lain mengatakan bahwa hadis munqathi’ ialah hadis yang seorang perawinya gugur sebelum sahabat pada suatu tempat atau gugur dua orang perawinya pada dua tempat yang tidak berturut-turut.
(4)  Hadis Mu’dal ialah hadis yang gugur dua sanadnya atau lebih secara berturut-turut atau dapat dikatakan juga bahwa suatu hadis yang gugur dua orang perawinya atau lebih secara berturut-turut baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in atau dua orang sebelumnya.
(5)  Hadis Mauquf ialah hadis yang diriwayatakan dari para sahabat, itu berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya, baik periwayatannya itu bersambung atau tidak atau dapat dikatakan juga hadis yang disandarakan kepada sahabat.
(6)  Hadis Maqtu’ ialah hadis yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarakan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya.
b)    Hadis Dha’if  karena periwayatnya tidak adil
(1)  Hadis Munkar ialah ghadis ya g diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dha’if), yang bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.
(2)  Hadis Mawdhu’ adalah hadis dusta yang di buat-buat dan dinisbahkan kepada Rasulullah.
(3)  Hadis Matruk ialah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadis yang diriwayatkan), atau nampak kefasikannya baik pada perbuatan atau pada perkataannya atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu. Dalam istilah ilmu hadist, hadis matruk ialah hadis yang terdapat pada sandanya perawi yang tertuduh dusta.
c)    Hadis Karena Periwayatnya tidak Dhabit
(1)  Hadis Maqlub ialah mengganti suatu lafal dengan lafal yang lainpada sanad hadis atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau dengan mengakhirkannya.
(2)  Hadis Mudallas adalah suatu hadis yang terdapat didalamnya tipuan atau cacat.
(3)  Hadis Mudraj adalah hadis yang bentuk sanadnya di ubah atau ke dalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut tanpa ada pemisah.
(4)  Hadis Mazid adalaha hadis yang mendapat tambahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik pada sanad maupun matan.
(5)  Hadis Mudtharib adalah hadis yang di riwayatkan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi sama dalam kekuatannya, maksudnya hadis yang di riwayatkan dengan bentuk yang bertentangan dan berbeda serta tidak mungkin dilakukan kompromi.
(6)  Hadis Mushahhaf adalah hadis yang mengalami perubahan lafal ataupun makna baik perubahan karena faktor pendengaran atau penglihatan yang terjadi pada sanad atau matan.
(7)  Hadis Majhul adalah hadis yang tidak diketahui jati diri periwayat atau keadaannya.
d)    Hadis dha’if karena mengandung Syadzs ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya lebih utama atau dapat dikatakan bahwa hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang terpercaya atau siqah tanpa ada sanad lain yang menguatkannya sebagai muttabi’.

E.    KEHUJJAHAN HADIS SHAHIH, HADIS HASAN DAN HADIS DHA’IF
1.    Kehujjahan Hadis Shahih
Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadidalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau harambya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah (keyakinan).
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i yaitu Al-Qur’an dan hadis mutawatir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadis ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwahadis shahih memfaedahkan Ilmu Qath’i dan wajib diyakini. Dengan demikian hadis shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.
2.    Kehujjahan Hadis Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti hadis shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadis hasan ini baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih kedalam kelompok shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, dan  Ibnu Khuzaimah, meskipun mereka tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para ulama dan fuqaha banyak yang beramal dengan hadis hasan ini. Agaknya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadis ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan di sini (yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah hadis hasan li dzatihi.
Sedangkan hadis hasan li ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh banyaknya riwayat (riwayata lain), maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian, tidak sah berhujjah dengannya. Tapi pada hakikatnya hasan li ghairihi pun bisa dipergunakan senagai hujjah. 
Sementara para ulama yang membedakan kehujjahan hadis berdasarkan kualitas , hadis hasan li dzatihi dengan li gharihi dan shahih li dztihi dengan li ghairihi, maupun antara shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadis-hadis tersebut berdasarkan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menempatkan hadis-hadis riwayat Muttafaqun ‘alaih, dan seterusnya.
Penempatan hadis tersebut berdasarkan urutan-urutan diatas, akan terlihat kegunaannya ketika terjadi atau terlihat adanya pertentangan (ta’arudh) antara dua hadis.
3.    Kehujjahan Hadis Dha’if
Dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadis dha’if. Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadis jenis ini. Pertama, menurut Yahya Ibn Ma’in, Abu Bakar Ibn ‘Arabi, al-Bukhari, Muslim, dan Ibn Hazm, hadis dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fadhail al’mal maupun hukum. Kedua, Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hanbal berpendapat bahwa hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak. Menurut keduanya, bagaimanapun hadis dha’if itu lebih kuat dari pada pendapat manusia. Ketiga, menurut Ibn Hajar al-Asqalani hadis dha’if dapat di jadikan hujjah dalam masalah fadhail al-mal, mawa’izh, al-tarhib wa al-targhib, dan sebagaimana jika memenuhi syarat –syarat tertentu.
Syarat-syarat itu adalah: Ke-dhai’if-annya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para pendusta atau tertuduh dusta atau sangat banyak mengalami kesalahan. Terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan, ketika mengamalkannya tidak beriktikad bahwa hadis itu tsubut, tetapi sebaiknya dalam rangka berhati-hati.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.    Para ulama ahli hadis membagi hadis di tinjau dari segi kualitasnya menjadi dua yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Maqbul ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat diterimanya. Mardud ialah hadis yang tidak memenuhi syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.
2.    Pembagian hadis dilihat dari diterima –tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu: hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if.
a.       Hadis shahih adalah ”Hadis yang di sandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabith, diterima dari periwayat yang ‘adil dan dhabith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syadz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.
b.      Hadis hasan adalah ”Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘iilat, dan tidak pula mengandung syadz”.
c.       Hadis dha’if adalah “Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan”.
3.    Syarat-syarat hadis shahih yaitu Sanadnya bersambung (ittishal al-sannad), Perawinya ‘Adil,  Perawinya dhabit, Tidak syadz (janggal), dan tidak ber-illat (Ghair Mu’allal). Syarat-syarat hadis hasan yaitu Muttasil sanadnya, rawinya ‘adil dan dhabit,  tidak termasuk hadis syadz, tidak terdapat illat(cacat). Syarat hadis dha’if yaitu  kehilangan salah satu syarat sebagai hadis shahih atau hadis hasan.
4.    Hadis shahih terbagi menjadi dua yaitu Shahih li dzatihi dan Shahih li Ghairihi. Hadis hasan terbagi dua yaitu Hadis hasan li Dzatih dan Hadis li Ghairihi. Hadis dha’if terbagi menjadi  4 yaitu hadis dha’if karena sanadnya terputus (hadis mu’allaq, hadis mursal, hadis


munqathi’,hadis mu’dal, hadis mauquf dan hadis maqtu’), hadis dha’if karena periwayatnya adil (hadis munkar, hadis mawdhu’, hadis matruk), hadis dha’if karena periwayatnya tidak dhabit (hadis maqlub, hadis mudallas, hads mudraj, hadis mazid, hadis mudtharib, hadis mushahhaf, dan hadis majhul), dan hadis dha’if karena mengandung syadzs.
5.    Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti hadis shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadis dha’if. Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadis dha’if.


B.    SARAN
Dalam pembuatan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Kritik dan saran yang sifatnya membangun kami harapkan dari para pembaca yang budiman untuk masukan dalam pembuatan makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad,Muhammad & Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia
Idri., Studi Hadis, Jakarta:Kencana,2010
Izzan,Ahmad & Saifudin Nur. 2011. Ulumul hadis. Bandung: Tafakur (kelompok HUMANIORA)- Anggota Ikapi berkhidmat untuk umat
Kaeruman,Badri. 2010. UlumAl-Hadis. Bandung: Pustaka Seti
Sahrani Sohari.,Ulumul Hadis,Serang Banten:Ghalia Indonesia,2010
Suparta Munzier.,Ilmu Hadis,Jakarta:Rajawali Pers,2010
Tihami,M.A. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Yuslem,Nawir. 2001. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya
http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html




[1] Mahmud Thahan., op.cit.,hlm 31
[2] Pembicaraan tentang hadis maudhu’, ada sebagian ulama yang menganggap hadis maudhu’ sebagai sebuah hadis dan ada yang tidak. Yang menganggap hadis pun ada yang memasukkan ke dalam jenis hadis dha’if dan ada yang memisahkannya dari hadis dha’if. Sebab hadis dha’if itu ada yang diamalkan meskipun sebatas hadis fadhail al-a’mal-nya, sementara hadis maudhu’ para ulama ahli hadis sepakat melarang pengamalannya.
[3] Pembagian ini kemudian juga mempengaruhi pada kualitas hadis-hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, bahwasanya hadis-hadis dha’if yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad mempunyai kualitas hasan dalam pandangan para ulama setelahnya.
[4] Ibnu Taymiyah, ‘Ilmu al-Hadis, Beirut:Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyah,1989,Cet-2,hlm 31
[5] Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Beiurut:Dar al-‘Ilm li al-Malayin. 1988.hlm  145
[6] Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Haist, al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Islmaiyah. 1972. Hlm10
[7] Ahmad Ibn ‘Ali ibn Hajar al-Asqalani , Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar, Semarang:Maktabah al-Munawwar,tth.,hlm 51
[8] http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html (Di download di Palangka Raya, 18 Desember 2014,06.10 WIB)
[9] Al-Turmudzi, Sunan al-Turmudz,Beirut Dar al-Kutub al-‘llmiyah,tth,juz I, hlm 76
[10] Ibn Hajr al-‘Asqalani,Nukhbah al-Fikar,hlm 52
[11] Idri,Studi Hadis Cet-1,Jakarta:Kencana.2010,hlm 159
[12] Muhammad al-Sabbagh, al-Hadis al-Nabawi Musthalahuh wa Balaghatuh, Ttt Mansyrat al-Maktab al-Isami, tth,hlm 171
[13] Nur al-Din ‘Itr dalam  al-Madkhal Ila ‘Ullum al-Hadits, al-Madinah al-Munawwarah:al-Maktabah al-‘llmiyah, 1972 M,hlm 286
[14] Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani,op.cit.,hlm 242
[15] W.J.S.Poerwadarminta,op.cit.,hlm 16, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawar Kamus Arab Indonesi,Jogyakarta:Unit Pengadaan buku-buku Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munnawir,1984,hlm971-972
[16] Ibn Hajr Al-‘Asqalani,Syarkh NukhbatAl-Fikr,op.cit.,hlm 35,Al-Tirmidzi.,op.cit,hlm 9
[17] Louis Ma’luf,Al-Munjid fi Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-‘A’lam,Beirut:Dar Al-Masyriq,1992,hlm 445
[18] Ibn Hajr Al-‘Asqalani, Nushat Al-Nasar,op.cit.,hlm 13, Al-Syakhawi,op.cit, hlm 18
[19] Ahmad bin Ali Ibn Hajr al-‘Asqalani, Nuzhah, hlm 26 dan Muhammad al-Sabbagh, al-Hadis al-Nabawi, hlm 186

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...