Semua manusia di dunia ini secara fisik tunduk kepada fenomena
penciptaan-Nya. Ia akan meniti fase shobi (bayi), thifl (balita), murahiq
(pemuda), kuhulah (dewasa), dan syaikh (tua). Makhluk-makhluk-Nya itu selalu
bertasbih kepada Allah Swt dengan bahasanya sendiri. Tetapi, usia paling
menentukan arah kehidupan seseorang adalah fase murahaqa (puber) dan kuhulah
(produktif) antara usia 15-35 tahun.
Ada sebuah ungkapan ahli hikmah: “Siapa yang tumbuh, berkembang pada masa
mudanya di atas, akhlak, orientasi (ittijah), kepribadian (syakhshiyyah),
karakter, bakat (syakilah) khusus, maka rambutnya akan memutih (al masyiibu)
dalam keadaan ia memiliki tradisi (daabu), akhlak seperti itu.”
Ahli sastra Arab dahulu pernah menjelaskan impian orang tua yang ingin
kembali pada masa muda. Tetapi, itu suatu kemustahilan.
“Alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini. Aku akan
memberitahukan kepada khalayak (ramai) tentang apa yang dilakukan oleh orang
yang sudah pikun dan beruban”.
Marilah kita hitung usia produktif dalam logika kehidupan manusia.
Umumnya umat Rasulullah Saw berusia antara 60-70 tahun (HR. Ahmad). Seumpama
kita ditakdirkan berumur 63 tahun seperti uswah, qudwah (panutan) kita, 13
tahun pertama tentu tidak masuk perhitungan, berarti tidak bisa kita nilai.
Kita belum baligh. Jadi, usia kita yang bisa dihitung 47 tahun.
Jika dalam sehari tidur belasan jam. Yang tersisa setiap hari 2/3.
Tinggallah seputar 16 jam. Dalam aktivitas tidur tersebut tidak ada catatan
amal. Untuk ukuran ini saja, dari 47 tahun, yang tertinggal 2/3-nya.
Lantas, sebagian besar ke mana? Orang itu produktif pada usia puber atau
pada usia tua? Pertanyaan itu perlu kita jawab secara serius. Supaya aktivitas
kita bisa dihisab oleh Allah Swt.
Semakin sering kita berhasil menghadapi godaan pada usia muda, seperti
itulah ending kita pada masa tua (syaikhukhah). Sebaliknya, semakin sering kita
kalah dalam mengantisipasi ujian, seperti itulah akhir kehidupan kita.
Pertarungan yang paling berat dan keras adalah pada usia muda. Kalau
diibaratkan seperti matahari, maka usia muda adalah ketika sinar matahari
berada persis di tengah-tengah kita. Betapa teriknya pada siang bolong itu.
Itulah sebabnya Allah Swt memberikan penghargaan kepada pemuda yang tumbuh
dalam keadaan beribadah kepada Allah Swt (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah).
Bahkan Allah Swt memberikan perlindungan di padang Mahsyar, ketika tiada
naungan kecuali naungan-Nya. Karena pada usia produktif tersebut dorongan kuat
untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar. Maka, mengelola
masa muda agar tunduk kepada karakter keagamaan merupakan perjuangan yang
berliku, licin, dan mendaki. Hanya pemuda yang mendapat rahmat dari-Nya yang
berhasil melewati godaan.
“Ya Allah, jadikanlah usiaku yang paling baik adalah pada penghujungnya, dan
amalku yang terbaik adalah pungkasannya, dan hari-hariku yang terbaik adalah
hari-hari saya bertemu dengan-MU.” [al Hadits].
Secara sunnatullah keberhasilan masa tua kita ditentukan oleh perjuangan
yang tak kenal menyerah di masa muda. Keberhasilan mustahil diperoleh dengan
gratis (majjanan), tanpa melewati proses ujian. Ibarat anak sekolah, untuk naik
kelas harus mengikuti ujian. Jika kita kurang terampil mengelola masa muda
dengan menggali potensi thalabul ‘ilmi (ijtihad), taqarrub ilallah (mujahadah),
jihad fii sabilillah (jihad), secara maksimal kelak akan kita pertanggungjawabkan
di Mahkamah Ilahi (‘an syabaabihi fiimaa ablaahu).
Ali bin Abi Thalib mengatakan:
“Barangsiapa jelek akhlaknya (ketika pemuda), ia akan tersiksa ketika tua.”
Mengikuti Siklus Ibadah
Mengapa kita perlu shalat lima waktu sehari semalam. Kita ibarat membuat
kolam renang di depan rumah, setiap kali azan berkumandang kita segera
membersihkan lumpur yang menempel dalam diri kita. Sehingga tidak tersisa sisi
gelap dalam pikiran dan hati kita, demikianlah sabda Rasulullah Saw.
demikian sabda Nabi.
Allah Swt membuat perencanaan ibadah, agar kita selalu terjaga. Ibadah
yaumiyyah, harian (shalat lima waktu), usbuiyyah, mingguan (shalat Jum’at,
puasa Senin Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan), syahriyyah, bulanan (puasa
Ramadan), sanawiyyah, tahunan (shalat idul fithr dan idul qurban), marrotan fil
umr, sekali seumur hidup (ibadah haji ke Baitullah).
Maka, kita perlu membuat standarisasi dalam beribadah. Ada empat kegiatan
ubudiyah yang perlu kita lakukan dengan istiqomah (konsisten) dan mudawamah wal
istimror (secara berkesinambungan).
Pertama : Shalat fardhu secara berjamaah di masjid
Kedua : Shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah
Ketiga : Membaca al Quran satu juz sehari
Keempat : Ditambah dengan ibadah bulanan
Muhasabah : Seminggu sekali
Ibadah harian yang perlu dipertahankan untuk menjaga stamina ritme
spiritual. Ibadah wajib kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt
(taqarrub). Ibadah sunnah kita lakukan, untuk membangun kecintaan secara timbal
balik antara kita dengan Allah Swt. Jika kita sudah dicintai, aktifitas kita
merupakan jelmaan dari kehendak-kehendak-Nya.
Supaya kita dekat dengan diri kita sendiri, kita perlu muhasabah usbuiyyah
(intropeksi mingguan). Hati kita mengalami gerakan yang tidak berhenti. Dan itu
harus selalu dikontrol. Jika kita sudah mencapai kenaikan grafik amal, dan
kekurangan kita bisa kita hitung. Berarti kita dalam posisi ideal. Terjaga dari
dosa, hanya Rasulullah Saw.
Bangkit Dari Keterpurukan
Jika kita terjatuh melakukan dosa, kita segera bangkit. Setiap langkah
menuju dosa harus kita persempit ruangnya. Karena, dosa kecil yang kita
remehkan, akan mengajak kepada dosa-dosa kecil berikutnya. Dosa itu beranak
pinak, berkembang biak.
Langkah-langkah untuk bangkit, sebagai berikut:
Pertama: Istighfar (memohon ampun kepada Allah Swt). Bukan sekedar
memperbanyak istighfar, sekalipun itu berpahala. Yang paling penting adalah
dengan istighfar kita selalu menyadari seharusnya makin hari kekurangan, bau
tidak sedap dalam diri kita semakin tertutupi (hilang).
Kedua, beramal. Setiap kali melakukan kejahatan, susullah dengan amal saleh.
(ittaqillah haitsumaa kunta wa atbi’issayyiata al hasanata tamhuhaa). Kebaikan
itu bisa menghapus dosa. Jika kita senang melakukan satu kebaikan, akan
mengajak kepada kebaikan berikutnya. Misalnya, jika kita suka ke masjid, maka
dengan sendirinya kita akan termotivasi untuk melakukan berbagai amal saleh di
situ. Sholat fardhu, sholat sunnah, membaca Al-Quran, zikir dll.
Rasulullah Saw bersabda : “Jika engkau melihat seorang laki-laki terbiasa ke
masjid, saksikanlah sesungguhnya ia seorang beriman.” [al Hadits].
Demikian pula jika kita senang melangkahkan kaki menuju ke tempat maksiat,
maka akan mengerakkan untuk berbuat dosa berikutnya.
Jika kita sedang bersemangat dalam beribadah, lakukanlah sebanyak mungkin
yang Anda mampu. Jika grafik ibadah menurun, minimal pertahankan yang wajib.
Hati kita elastis, fluktuatif. Kita memiliki saat maju dan saat mundur. Dengan
cara di atas kita bisa mengelola naik turunnya hati kita dengan baik.
Terakhir: Berdoa kepada Allah Saw, semoga kita tetap teguh dalam agama-Nya.
Ya muqollibal qulub tsabbit qolbii ‘alaa diinik (Wahai Yang Membolak Balikkan
hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-MU).
Penutup, wahai para pemuda, ingatlah falsafah pohon pisang. “Janganlah mati
sebelum berbuah.”
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...