Para ulama terdahulu tidak pernah malu berterus terang jika mereka
benar-benar tidak tahu. Karena mereka tahu, bahwa konsekwensi berfatwa tidak
didasari ilmu adalah berat. Dan sifat mereka yang hati-hati inilah yang justru
menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu. Banyak yang bisa kita
tiru dari sifat-sifat baik mereka.
Al Khatib Al Baghdadi mengisahkan bahwa Imam Malik ditanya 48 masalah, hanya
dua yang dijawab, dan 30 masalah lainnya dijawab dengan, “la adri“ (saya tidak
tahu) (Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/170).
Kejadian ini tidak hanya sekali. Dirwayatkan juga oleh Ibnu Mahdi bahwa
seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik, akan tetapi tidak satupun dijawab
oleh beliau hingga lelaki itu mengatakan:“Aku telah melakukan perjalanan selama
6 bulan, diutus oleh penduduk bertanya kepadamu, apa yang hendak aku katakan
kepada mereka?“ Imam Malik menjawab, “katakan bahwa Malik tidak bisa menjawab!“
(Nukilan dari Al Maqalat Al Kautsari, 398).
Seorang faqih besar Madinah, Imam Madzhab yang dianut ribuan ulama hingga
kini, yang madzhabnya menyebar hingga Andalusia tidak segan-segan menyatakan
bahwa dirinya tidak mampu menjawab. Tidak hanya beliau, para ulama Madinah juga
amat berhati-hati dalam menjawab masalah halal dan haram. Karena jika tidak
mengetahui masalah, kemudian memaksakan menjawab, sama dengan menisbatkan suatu
perkara yang bukan syari’at kepada syari’at. Beliau menyatakan:“Tidak ada
sesuatu yang paling berat bagiku, melebihi pertanyaan seseorang tentang halal
dan haram. Karena hal ini memutuskan hukum Allah. Kami mengetahui bahwa ulama
di negeri kami (Madinah), jika salah satu dari mereka ditanya, sekan-akan
kematian lebih baik darinya.“ (dari Maqalat Al Kautsari, 399).
Abu Hanifah, Imam Madzhab paling tua dari empat madzhab juga pernah ditanya
9 masalah, semua dijawab dengan “la adri”. (lihat, Al Faqih wa Al Mutafaqqih,
2/171).
“La Adri“, Bagian dari Ilmu
Sampai saat ini ada juga yang masih mengira, jika seseorang tidak tahu, lalu
ia terus terang mengatakan “saya tidak tahu“, maka sederet stigma negatif akan
menempel kepadanya, seperti kurang pengetahuan, bodoh, kuper dll.
Padahal tidak demikian, beberapa ulama seperti Al Mawardi dan Al Munawi
menjelaskan, justru merupakan sifat orang alim, jika ia tidak tahu maka ia
terus terang. Sebaliknya sifat orang bodoh, jika ia takut mengatakan kalau
dirinya tidak tahu, dan hal itu bukanlah sebuah aib.
Beliau menjelaskan:“Kedudukan seorang alim tidak akan jatuh dengan
mengatakan “saya tidak tahu“ terhadap hal-hal yang tidak ia ketahui. Ini malah
menunjukkan ketinggian kedudukannya, keteguhan dien-nya, takutnya kepada Allah
Ta’ala, kesucian hatinya, sempurna pengetahuannya serta kebaikan niatnya. Orang
yang lemah dien-nya merasa berat melakukan hal itu. Karena ia takut derajatnya
jatuh di depan para hadirin dan tidak takut jatuh dalam pandangan Allah. Ini
menunjukkan kebodohan dan keringkihan diennya“. (Faidh Al Qadir, 4/387-388).
Imam Al Mawardi juga menyebutkan: “Jika tidak memungkinkan mendapat
kesempatan untuk menguasai seluruh ilmu, maka jahil terhadap beberapa masalah
bukan merupakan suatu aib. Jika demikian maka janganlah engkau malu
mengatakan,“saya tidak tahu“, menyangkut hal-hal yang engkau tidak tahu“.
(lihat, Adab Ad Dunya wa Ad Din, 82)
Sehingga tidaklah heran jika para salaf menyatakan bahwa “la adri“ (saya
tidak tahu) adalah bagian dari ilmu. Seperti Abdullah bin Umar yang menyatakan:
“Ilmu ada tiga: Kitab yang dibaca, Sunnah yang ditegakkan, dan la adri.“
(Riwayat Ibnu Majah).
Begitu pula Ibnu Mas’ud: “Sudah masuk bagian ilmu, dengan mengatakan “Allahu
A’lam“, bagi hal yang tidak diketahui. (Riwayat An Nasai).
Bahkan Al Ghazali menilai bahwa pahala mereka yang mengaku terus terang,
tentang ketidaktahuannya, tidak lebih sedikit, jika dibandingkan mereka yang
mampu menjawab. Beliau menjelaskan: “La adri adalah setengah dari pengetahuan.
Barang siapa diam karena tidak tahu dan itu dilakukan karena Allah, maka
pahalanya tidak lebih rendah daripada mengatakan (karena dia tahu). Karena
mengakui ketidaktahuan amat berat. Karena kabaikan diam disebabkan tidak tahu
karena Allah adalah bentuk kewara’an (kehati-hatian) seperti mereka yang
menjawab karena tahu adalah tabaru’an (pemberian). (lihat, Ihya’ ‘Ulum Ad Din,
1/69).
Jika demikian, janganlah kita malu mengatakan terus terang , “saya tidak
tahu“, terhadap apa yang tidak kita ketahui. Dan janganlah kita memaksa untuk
berbicara tentang hal yang tidak kita ketahui.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...