BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai
diketahui, banyak istilah untukmmenyebut nama-nama hadis sesuai dengan
fungsinya dalam menetapkan syariat islam. Ada hadis sahih, hasan dan Dhaif.
Masing-masing memiliki persyaratan senidri-sendiri. Persyaratn itu ada yang
berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui
hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan
matan akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadis itu bersambung
sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadis yang dicantumkan didalam
sanad hadis itu orang-orang yang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang
berkaitan degan matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui
apakah informasi yang terkandung didalamnya berasal dari nabi atau tidak.
Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
Secara
garis besar ilmu hadis dibagi atas ilmu hadis riwayat dan ilmu hadis dirayat,
jika ilmu hadis riwayat membahas materi hadits yang menjadi kandungan makna,
maka ilmu hadis dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik
yang berhubungan dengan sanad atau matan hadis.
Kedua ilmu pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu
yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan
Rasullah. Harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu
yang kedua, setiap muslim dan siapa pun yang mempelajari dengan baik akan
mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel tentang hadis Nabi/Rasulullah
SAW. Dibawah ini akan dibahas tentang
pengertian ulumul hadis serta sejarah perkembangannya menurut periode klasik,
pertengahan dan modern.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian ulumul hadits ?
2. Bagaimana
sejarah perkembangan ulumul hadis pada periode klasik, pertengahan dan modern ?
C.
Tujuan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini
yaitu agar Mahasiswa mengetahui apa pengertian ulumul hadis serta pembagian
hadis secara umum dan juga mahasiswa dapat mengetahui perkembangan hadis pada
masa klasik, pertengahan dan modern.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ulumul Hadis
Ulumul hadits adalah istilah
ilmu hadis didalam tradisi ulama hadis. (Arabnya : ulul al-hadits). Ulum al-hadis terdiri dari dua kata, yaitu ulum
dan al-hadis. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi
berarti ilmu, ilmu, sedangkan al-hadis dikalangan ulama hadis berarti segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw dari perkataan, perbuatan, taqrir atau
sifat. Dengan demikian, gabungan kata ulum al-hadis mengandung pengertian
ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis nabi SAW.
Pada mulanya, ilmu hadis
memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang
berbicara tentang hadis Nabi SAW dengan ara perawinya, seperti ilmu al-hadis al
sahih, ilmu al-mursal, ilmu al-asma wa al-kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu
hadis secara parsial dilakukan khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Seperti
ulama Yahya Ma’in (234 H/848M) menulis tarikh al-rijal, muhammad ibnu saad (230
H/844 M), dan alin-lain.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan
parsial tersebut disebut ulumul hadis, karena masing-masing membicarakan
tentang hadis da para perawinya. Akan tetati pada masa berikutnya, ilmu-ilmu
yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya
dipandang satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu-ilmu yang
sudah digabungkan dan menjadi satu-kesatuan
tersebut tetap dipergunakan nama ulumul hadis, sebagaimana halnya
sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak ulumul hadis, setelah mengandung
makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadis, karena telah terjadi perubahan
makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama pertama- beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama
dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah mushthalah
al-hadits. Para ulama yang menggunakan nama ulum al-hadits, diantaranya adalah imam al-hakim al-
Nauisaburi (405 H/1014 M), dan lain-lain
menggunakan lafaz mufrad, yaitu ilmu al-hadits didalam berbagai karya mereka.
Secara umum para ulama
membagi ilmu hadis kepada kedua bagian, yaitu ilmu hadis Riwayah (Ilm al-hadits Riwayah)
dan ilmu hadis Dirayah (ilm al-hadits
Dirayah).[1]
1.
Ilmu
Hadis Riwayah
Menurut ibnu al-Akhfi,
sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuti, bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadis
Riwayah adalah:
وسلم عليه الله صل النبي أقوال نقل عل يشتمل علم بالرواية الخاص الحديث علم
وروايتهاوضبطهاوتحريرألفاظها وأفعاله
Ilmu hadis yang khususnya
berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan)
perkataan nabi Saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan
penguraian lafaz-lafaznya.
Sedangkan
pengertianbnya menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khithib adalah:
أوفعل قول من عليهوسلم ضلىالله البني إلى ماأضيف نقل عل يقوم هوالعلم
نقلادقيقامحرّرا أوتقريرأوصفةخلقيةأوخلقية
Yaitu
ilmu yang membahsa tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi Saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketepatan
atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang
teliti dan terperinci.
Dari
kedua definisi diatas dapat dipahami bahwa ilmu hadis riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi Saw.
Objek
kajian ilmu hadis riwayah adalah
hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut
mencakup:
a) Cara
periwayatan hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara
penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain.
b) Cara
pemeliharaan hadis, yaitu dalam bentuk penghapalan, penulisan dan
pembukuaannya.
Sedangkan
tujuan dan urgensi ilmu ini adalah pemeliharaan terhadap hadis Nabi Saw agar
tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindr dari kekeliruan dan kesalahn dari
proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuaanya. Dengan demikian,
hadis-hadis Nabi saw dapat terpelihara kemurniaanya dan dapat diamalkan
hukum-hukum dan tuntunan yang terkandung didalamnya, yang hal ini sejalan
dengan perintah Allah Swt agar menjadikan Nabi Saw sebagai ikutan dan suri
tauladan dalam kehidupan ini (Q.S Al-Ahzab:21)
Ilmu
hadis riwayah ini sudah ada semenjak
Nabi Saw Masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu
sendiri. Para sahabat nabi Saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis
Nabi Saw. Mereka berupaya untuk memperoleh hadis-hadis Nai Saw dengan cara
mendatangi majelis Rasul Saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat
yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang
mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menhadiri majelis Nabi Saw
tersebut.
Apa
yang telah dimiliki dan dihafal oleh para sahabat dari hadis-hadis Nabi Saw,
selanjutnya mereka sampaikan dengan sangat hati-hati kepada sahabat yang lain
yang kebetulan belum mengetahuinya, atau kepada para tabiin. Para tabiin pun
melakukan hal yang sama, yaitu memelihara, memahami dan menyampaikan
hadis-hadis Nabi Saw kepada tabiin lain. Hal ini selain dalam rangka memelihara
kelestarian hadis Nabi saw juga dalam rangka memelihara kelestarianhadis Nabi
saw juga dalam rangka menunaikan pesan yang terkandung didalam hadis nabi Saw
yang di antaranya berbunyi:
Semoga Allah membaguskanrupa
seorang yang mendengar sesuatu (hadis) dari kami, lantas ia menyampaikannya sebagaimana
yang ia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hapal dari pada
yang mendengar.
Demikian
periwayatan dan pemeliharaan hadis nabi Saw berlangsung hingga usaha
penghimpunan hadis secara resmi dilakukan pada massa pemerintahan Khalifah Umar
ibn abd al-aziz (memerintah 99 H/717 M-102 H/720 M). Usaha tersebut diantaranya
dipelopori oleh Abu Bakar Muha muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51 H/671 M –
124H/742 M). Al-Zuhri degan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor ilmu
hadis riwayah, dan didalam sejarah perkembangan hadis, dia dicatat sebagai
ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi Saw atas perintah Khalifah Umar ibn
Abd al-aziz.
Usaha
penghimpunan, penyeleksian, penulisan dan pembukuan hadis secara besar-besaran
terjadi pada abad ke-3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam
al-Bukhari, imam muslim, Imam Abu Daud, Imam Al-tharmizidan lain-lain. Dengan
telah dibukukannnya hadis-hadis Saw oleh para ulama diatas dan buku-buku mereka
pada masa selanjutnya telah menjadi rujukan bagi para ulama yang datang
kemudian, maka dengan sendirinya ilmu hadis riwayah
tidak lagi benyak berkembang. Berbeda dengan halnya hadis dirayah,
pembicaraan dan perkembangannya tetap berjalan sejalan dengan perkembangan dan
lahirnya berbagai cabang dalam ilmu hadis. Dengan demikian, masa berikutnya
apabila terdapat pembicaraan dan pengkajian tentang hadis, maka yang dimaksud
adalah ilmu hadis dirayah. Yang oleh para ulama hadis disebut juga dengan ‘Ilm Mushthalah al-Hadits atau ‘Ilm Ushul al-hadis.
2.
Ilmu
Hadis Dirayah
Istilah ilmu al-hadist atau disebut juga ilmu dirayah al-hadits menurut
as-Suyuti, muncul setelah masa al-khatib al-bagdadi, yaitu masa Ibn al-Akfani.
Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul
al-hadits, ulama al-hadits,
musthahalah al-hadits, dan qawa’id
at-tahdis.
Diantara semua istilah
diatas, pada dasarnya tidak ada perbedaan makna sehingga tidak menimbulkan
perbedaan dalam materi pembahasannya, namun yang lebih mencakup dari istilah
tersebut ialah istilah uulm hadits.
Istilah ini meskipun memberikankesan masuknya ilmu hadis riwayah didalamnya,
tetapi dalam pemakaian sehari-hari tidak demikian.
Dalam bahasa indonesia,
istilah yang sudah baku ialah “ilmu hadis.” Istilah ini meskipun dengan memakai
sebutan tunggal, akan tetapi (dimaksudkan) didalamnya mencakup semua materi
yang terkait. Tentu saja ilmu hadis riwayah tidak termasuk didalamnya, karena
pembahsan tentang hadis (sebagai materi dari ilmu hadis Riwayah) sudah mempunyai sebutan tersendiri secara terpisah,
yang dipisahkan dari materi ilmu hadis.[2]
Secara
terminologi, yang dimaksud dengan ilmu hadist dirayah sebagaimana yang
didefinisikan oleh Muhammad Mahfuzh at-Tirmizi ialah:
السّنَدِوَالْمَتَنِ يَدْرِبِهَاأَحْوَالُ قَوَانِيْنٌ
Undang undang atau kaidah-kaidah untuk
mengetahui sanad dan matan.
Yang terkandung dalam
pengertian diatas ialah segala ketentuan, baik berkaitan dengan kualitas
kesahihannya (sahih, hasan, dan dhaiifnya
hadis), sandarannya (marfu, mauquf,
dan maqthu-nya), serta menerima dan meriwayatkannnya (kafiyat at-tahmul wa al-ada),
maupun sifat-sifat dan mendefenisikannya dengan:
Ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam
dan hukum-hukumnya, serta untuk mengetahui keadaan para perawi, bak
syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan, dan segala yang
berkaitan dengannya.
Hakikat ar-riwayah, artinya
penukilan hadis dan penyandraanya kepada sumber hadis atau sumber berita itu
sendiri, yaitu nabi Saw.. syarat-syarat periwayatan ialah penerimaan perawi
terhadap hadis yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan qira’ah (pembacaan), al-wasiyah (berwasiat), al-ijazah (pemberian izizn dari perawi).
Objek
ilmu dirayah ialah sanad rawi dan matan, dari sudut diterima (maqbul) atau
ditolaknya (mardud-nya) suatu hadis. Dari aspek sanadnya diteliti tentang
keadilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menyampaikan hadisnya, serta ittishal as-sanad atau bersambung
tidaknya antara sanad-sanad hadis
tersebut.
Pembahasan tentang sanad
meliputi: (i) segi persambungan sanad (ittihsal
as-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad
hadis haruslah bersambung, mulai dari sahabat sampai pada periwayatan terakhir
yang menuliskan atau membukukan hadis tersebut. Oleh karenanya, tidak
dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut
terputuss, tersembunyi, atau tidak diketahui identitasnya atau tersamar. (ii)
segi keterpercayaan sanad (tsiqat as
sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat didalam sanad suatu hadis harus memiliki sifat
adil dan dhabit (kuat dan cermat
hapalan atau dokumentasi hadisnya). (iii) segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz). (iv) keselamatan dari cacat (illat), dan (v) tinggi dan rendahnya
martabat suatu sanad.
Sedanglan pembahasan
mengenai matan adalah meliputi segi
kesahihhannya atau kedhabitannya. Hal tersebut dapat dilihat melalui
kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung didalam al-qur’an, atau
selamatnya dari : (i) cacat atau kejanggalan maknanya (fasad al-makna), karena bertentangan dengan akal dan pnca indera, atau
dengan kandungan dan makna Al-qur’an, atau dengan fakta sejarah, dan (ii) dari
kata-kata asing (gharib), yaitu
kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi ilmu
hadis dirayah adalah untuk mengetahui
dan menetapkan hadis-hadis yan maqbul
(yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan )dan yang mardud
(yang ditolak).[3]
Dengan demikian mempelajari ilmu hadis dirayah ini, banyak kegunaan yang
diperoleh, antara lain: pertama,
dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa
kemasa sejak masa Rasulullah saw sampai dengan masa sekarang. Kedua, dapat mengetahui tokoh-tokoh
serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan
meriwayatkan hadis. Ketiga, dapat
mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam
mengklasifikasikan hadis lebih lanjut. Keempat,
dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam
mengklasifikasikan hadis lebih lanjut.
Kelima, dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria hadis
sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum syarak.[4]
B.
Sejarah Perkembangan Hadis
Ilmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi
SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat,
terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan
mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung
atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada
perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan oleh para ulama
yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan
diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga
menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Uraian berikut akan menitik beratkan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi tiga periodesasi yaitu awal
lahirnya ilmu hadits sampai pada masa kekininan.
1. Periode
Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab
hadits yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima
dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh sahabat
dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir
ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya
dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan
kodifikasi hadits.
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama
dengan penerimaan hadits di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa
Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin
dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar
untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras
mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima
atau lihat secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka
mereka mencari sahabat yang kebe Ketigatulan mengikuti atau hadir bersama Nabi
SAW ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau.
Pada masa ini kritik atau penelitian terhadap suatu
riwayat (hadits) yang menjadi cikal bakal ilmu hadits terutama ilmu hadits dirayah
dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang
sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera
menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk
mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadits tersebut.
Pada masa Sahabat yang dimulai dari khalifah Abu
Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya,
terus menjunjung tinggi hadits-hadits Nabi SAW. Adapun perhatian khulafa
al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:
a.
Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat
berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka setiap amalan syariat
Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar
hukum umat Islam.
b.
Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang
diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat
terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada
yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran.
Dalam
prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.
Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka
terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
b.
Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan
maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi
SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin
terutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya
orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan
sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
a.
Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits
dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman
agama.
b.
Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti
keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadits
mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits yang diragukan, para
sahabat meminta saksi, keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
c.
Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum
dapat difahami sacara umum.
Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadits
menyangkut sanad maupun matan hadits semakin menampakkan
wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah hadits, seperti halnya yang
telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang diikuti sahabat sesudahnya,
yaitu tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan seseorang, kecuali yang
bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang
disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam
menerima suatu hadits, yaitu orang yang menyampaikan sebuah hadits harus
bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang dibawanya.
Perinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam
kebijaksaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula
oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah
Sa’id bin Mussab (15-94 H), Al-Hasan Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi
Asy-sya’bi (17-104 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Dalam catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani,
ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu
lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad
Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina
Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling
populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh
para ulama-ulama berikutnya.
Kemudian muncul ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti
Al-Hakim Abu Abdillah (405 H), yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits,
yang isinya membagi ilmu hadits menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh
Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), yang menambah beberapa pembahasan yang telah
dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau
mengarang beberapa macam kitab ilmu hadits, yang dijadikan rujukan oleh
ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti dalam masalah Qawaninur Riwayat
(aturan-aturan periwayatan), beliau menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur
Riwayah dan dalam masalah adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’
li Adabibsy Syaikh was Sami’.
Setelah itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun
kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb
dan setelah itu bermunculan ulama-ulama yang menyusun ilmu seperti ini, seperti
Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H) dalam
kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadits yang
dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab
ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya
yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan
oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang mengikhtisarkan seperti An
Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab At-Taqrib
yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar
al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib
al-Nawawi. Demikian perkembangan ilmu hadits pada abad ini yang kemudian di
sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang datang belakangan. [5]
2. Periode Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Periode pertengahan dalam sejarah Islam dimulai sejak pasca keruntuhan Bani
Abbasiyah, yaitu sekitar tahun 1254 M. Ciri yang paling populer pada periode
ini adalah munculnya sistem pembelajaran lewat madrasah, berbeda dengan masa
klasik yang cenderung berpusat pada individu. Oleh karena itu, tidak aneh bila
kemunculan setiap karya, khususnya ulumul
hadits didasarkan pada keperluan peembelajaran[6].
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas
kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar
Muqaddamah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits
yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian
disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul
Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadits.
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli
Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab
kecil yang diringkasan namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling
baik susunan dan pembagiaanya, serta telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri
dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin
Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadits dalam
sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadits
yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi.
Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh
Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).[7]
3. Periode Modern (Abad 14 H sampai Sekarang)
Perkembangan ilmu hadis abad demi abad terus mengalami
perkembangan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadis dari
ulama muhadisin adalah assy-Syaikh Thair Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya
Taujihun Nadhar ila ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunyai nilai
tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid jamaludin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya
Qawaidut Tahdits Fi Funulil Hadis, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat
tertib susunannya.
Dan
diantara aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
a. Mengurangi
periwayatan hadis
Mereka khawatir dengan banyakanya riwayat akan tergelincir
pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap rasul SAW,
selain itu mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan
menyibukkan umat islam terhadap As-Sunah dan mengabaikan Al-Qur’an.
b. Ketelitian
dan periwayatan Hadis
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadis
tanpa adanya perawi yang benar-benar dapat dipercaya, karena mereka sangat
takut terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi SAW.
c. Kritik
terhadap riwayat
Adapun kritik terhadap riwayat adalah dengan cara
memapar dan membandingkan riwayat dengan Al-Qur’an, jika bertentangan maka
mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Ketelitian
dan sikap hati-hati para sahabat Nabi Muhammad tersebut diikuti pula oleh para
ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut diikuti pula oleh para
ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditinggalkan
terutama setelah munculnya hadis-hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah
masa pemerintahan Khalifah Ali bin abi talib r.a. semenjak itu mulailah
dilakukan penilitian terhadap sanad hadis dengan mempraktikan ilmu al-hajarah wa al-ta’dil dan sekaligus
mulai pulalah ilmu ini tumbuh dan berkembang. Setelah munculnya kegiatan pemalsuan hadis dari
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas tertentu
dilakukan oleh para ulama dalam rangka memlihara kemurnian hadis, yakni seperti
: a) melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap
keadaan setiap perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan,
b) melakukan perjalanan (rhilah)
dalam mencari sumber hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya
dan menilit kebenaran riwayat tersebut melaluinya, c) melakukan perbandingan
antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih stiqat dan
terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dhifan atau kepalsuan suatu hadis.
Dengan
demikian kegiatan para ulama hadis diabad pertama hijriah yang telah
memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Bahkan pada akhir abd
pertama itu telah terdapat beberapa klasifikasi hadis, yaitu: hadis Marfu, Hadis Muttasil, dan Hadis Mursal. Dari macam-macam hadis
tersebut, juga telah dibedakan antara hadis maqbul, yang pada masa berikutnya
disebut dengan hadis Shahih dan hadis Hasan, serta hadis mardud yang dikenal
dengan hadis dhaif dengan berbagai macamnya.
Pada abad
kedua hijriah, ketika hadis telah
dibukukan secara resmi atas prakarsa khalifah Umar bin Abdul Aziz dan dimotori
oleh Muhammad ibn Syhab Al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan
membukukan hadis tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadis yang sudah
ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhatikan
ketentuan-ketentuan hadis sahih, demikian juga perawinya. Hal ini dilakukan
lantaran semakin banykanya para penghapal hadis yang wafat.
Pada abad
ketiga hijriah yang dikenal pada masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadis, mulailah ketentuan dan perumusan kaidah-kaidah hadis dituliskan dan
dibukukan, namun masih bersifat parsial.
Pada abad
keempat dan kelima hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu hadis yang bersifat komperehensif. Selanjutnya, pada abad
setelah itu mulailah bermunculan karya-karya dibidang ilmu hadis ini sampai
saaat ini masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadis. Adapun
ulamma yang menyusun kitab dalam bidan ini adalah al-Qadhi Abu Muhammad
al-Hasan.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ulumul hadits adalah istilah ilmu hadis
didalam tradisi ulama hadis. (Arabnya : ulul
al-hadits). Ulum al-hadis terdiri dari dua kata, yaitu ulum dan al-hadis.
gabungan kata ulum al-hadis mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan dengan hadis nabi SAW.
perkembangan ilmu hadits menjadi tiga periodesasi
yaitu awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa kekininan.
1. Periode
Klasik (masa Nabi SAW sampai abad 7)
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama
dengan penerimaan hadits di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa
Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin
dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar
untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras
mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima
atau lihat secara langsung.
2. Periode Pertengahan
(abad 7 H-14 H)
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas
kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar
Muqaddamah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits
yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian
disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul
Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadits.
3. Periode
Modern (abad 14 H sampai sekarang)
Perkembangan ilmu hadis abad demi abad terus mengalami
perkembangan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadis dari
ulama muhadisin adalah assy-Syaikh Thair Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya
Taujihun Nadhar ila ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunyai nilai
tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid jamaludin
Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits Fi
Funulil Hadis, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini
tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami
mengaharapkan adanya saran dan kritik yang membangun guna untuk kemajuan makalah
ini menjadi lebih baik. Semoga makalah sederhana ini dapat membantu pembaca
untuk menambah wawasan.
DAFTAR
PUSTAKA
- Ahmad
Izzan, Saifudin Nur, Ulumul Hadis, BandungTafakur
- Sohari
Sahrani,2010, Ulumul Hadis, Serang,
Ghalia Indonesia
[1] Ahmad
Izzan, Saifudin Nur, Ulumul Hadis, Bandung,
h.94, Tafakur
[2]
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Serang,
h.73, Ghalia Indonesia
[3] Ibid. h. 75
[4] Ibid. h.75
[5] http://nurhasn9.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html
[6] http://www.darulmuhibbin-nw.com/2012/01/mengenal-kitab-ulmumul hadits-masa.html
[7] http://nurhasn9.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html
[8] http://www.academia.edu/5727527/Ilmu_Hadis_Sejarah_dan_Perkembangannya
(Selasa, 14 Oktober 2014)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...