Menu Bar 1

Monday 3 July 2017

Makalah Ulumul Hadist "Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis Pada Periode Klasik, Pertentangan Dan Modern"

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Sebagai diketahui, banyak istilah untukmmenyebut nama-nama hadis sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syariat islam. Ada hadis sahih, hasan dan Dhaif. Masing-masing memiliki persyaratan senidri-sendiri. Persyaratn itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan matan akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadis itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadis yang dicantumkan didalam sanad hadis itu orang-orang yang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan degan matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung didalamnya berasal dari nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
Secara garis besar ilmu hadis dibagi atas ilmu hadis riwayat dan ilmu hadis dirayat, jika ilmu hadis riwayat membahas materi hadits yang menjadi kandungan makna, maka ilmu hadis dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungan dengan sanad atau matan hadis.  Kedua ilmu pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan Rasullah. Harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapa pun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel tentang hadis Nabi/Rasulullah SAW. Dibawah ini akan dibahas  tentang pengertian ulumul hadis serta sejarah perkembangannya menurut periode klasik, pertengahan dan modern.

B.   Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian ulumul hadits ?
2.    Bagaimana sejarah perkembangan ulumul hadis pada periode klasik, pertengahan dan modern ?

C.   Tujuan Makalah

Tujuan pembuatan makalah ini yaitu agar Mahasiswa mengetahui apa pengertian ulumul hadis serta pembagian hadis secara umum dan juga mahasiswa dapat mengetahui perkembangan hadis pada masa klasik, pertengahan dan modern.

BAB II

PEMBAHASAN


A.   Pengertian Ulumul Hadis

Ulumul hadits adalah istilah ilmu hadis didalam tradisi ulama hadis. (Arabnya : ulul al-hadits). Ulum al-hadis terdiri dari dua kata, yaitu ulum dan al-hadis. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi berarti ilmu, ilmu, sedangkan al-hadis dikalangan ulama hadis berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian, gabungan kata ulum al-hadis mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis nabi SAW.
Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang hadis Nabi SAW dengan ara perawinya, seperti ilmu al-hadis al sahih, ilmu al-mursal, ilmu al-asma wa al-kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu hadis secara parsial dilakukan khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Seperti ulama Yahya Ma’in (234 H/848M) menulis tarikh al-rijal, muhammad ibnu saad (230 H/844 M), dan alin-lain.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan parsial tersebut disebut ulumul hadis, karena masing-masing membicarakan tentang hadis da para perawinya. Akan tetati pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu-ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu-kesatuan  tersebut tetap dipergunakan nama ulumul hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak ulumul hadis, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama pertama-  beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah mushthalah al-hadits. Para ulama yang menggunakan nama ulum al-hadits, diantaranya adalah  imam al-hakim al-


Nauisaburi (405 H/1014 M), dan lain-lain menggunakan lafaz mufrad, yaitu ilmu al-hadits didalam berbagai karya mereka.
Secara umum para ulama membagi ilmu hadis kepada kedua bagian, yaitu ilmu hadis Riwayah  (Ilm al-hadits Riwayah) dan ilmu hadis Dirayah (ilm al-hadits Dirayah).[1]
1.    Ilmu Hadis Riwayah
Menurut ibnu al-Akhfi, sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuti, bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadis Riwayah adalah:
وسلم عليه الله صل النبي أقوال نقل عل يشتمل علم بالرواية الخاص الحديث علم
وروايتهاوضبطهاوتحريرألفاظها وأفعاله
            Ilmu hadis yang khususnya berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan nabi Saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya.
            Sedangkan pengertianbnya menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khithib adalah:
 أوفعل قول من عليهوسلم ضلىالله البني إلى ماأضيف نقل عل يقوم هوالعلم
نقلادقيقامحرّرا أوتقريرأوصفةخلقيةأوخلقية
            Yaitu ilmu yang membahsa tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketepatan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
            Dari kedua definisi diatas dapat dipahami bahwa ilmu hadis riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi Saw.
            Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
a)    Cara periwayatan hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain.
b)    Cara pemeliharaan hadis, yaitu dalam bentuk penghapalan, penulisan dan pembukuaannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah pemeliharaan terhadap hadis Nabi Saw agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindr dari kekeliruan dan kesalahn dari proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuaanya. Dengan demikian, hadis-hadis Nabi saw dapat terpelihara kemurniaanya dan dapat diamalkan hukum-hukum dan tuntunan yang terkandung didalamnya, yang hal ini sejalan dengan perintah Allah Swt agar menjadikan Nabi Saw sebagai ikutan dan suri tauladan dalam kehidupan ini (Q.S Al-Ahzab:21)
Ilmu hadis riwayah ini sudah ada semenjak Nabi Saw Masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Para sahabat nabi Saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi Saw. Mereka berupaya untuk memperoleh hadis-hadis Nai Saw dengan cara mendatangi majelis Rasul Saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menhadiri majelis Nabi Saw tersebut.
Apa yang telah dimiliki dan dihafal oleh para sahabat dari hadis-hadis Nabi Saw, selanjutnya mereka sampaikan dengan sangat hati-hati kepada sahabat yang lain yang kebetulan belum mengetahuinya, atau kepada para tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, yaitu memelihara, memahami dan menyampaikan hadis-hadis Nabi Saw kepada tabiin lain. Hal ini selain dalam rangka memelihara kelestarian hadis Nabi saw juga dalam rangka memelihara kelestarianhadis Nabi saw juga dalam rangka menunaikan pesan yang terkandung didalam hadis nabi Saw yang di antaranya berbunyi:
Semoga Allah membaguskanrupa seorang yang mendengar sesuatu (hadis) dari kami, lantas ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hapal dari pada yang mendengar.
Demikian periwayatan dan pemeliharaan hadis nabi Saw berlangsung hingga usaha penghimpunan hadis secara resmi dilakukan pada massa pemerintahan Khalifah Umar ibn abd al-aziz (memerintah 99 H/717 M-102 H/720 M). Usaha tersebut diantaranya dipelopori oleh Abu Bakar Muha muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51 H/671 M – 124H/742 M). Al-Zuhri degan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah, dan didalam sejarah perkembangan hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi Saw atas perintah Khalifah Umar ibn Abd al-aziz.
Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan dan pembukuan hadis secara besar-besaran terjadi pada abad ke-3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, imam muslim, Imam Abu Daud, Imam Al-tharmizidan lain-lain. Dengan telah dibukukannnya hadis-hadis Saw oleh para ulama diatas dan buku-buku mereka pada masa selanjutnya telah menjadi rujukan bagi para ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya ilmu hadis riwayah tidak lagi benyak berkembang. Berbeda dengan halnya hadis dirayah, pembicaraan dan perkembangannya tetap berjalan sejalan dengan perkembangan dan lahirnya berbagai cabang dalam ilmu hadis. Dengan demikian, masa berikutnya apabila terdapat pembicaraan dan pengkajian tentang hadis, maka yang dimaksud adalah ilmu hadis dirayah. Yang oleh para ulama hadis disebut juga dengan ‘Ilm Mushthalah al-Hadits atau ‘Ilm Ushul al-hadis.

2.   Ilmu Hadis Dirayah
Istilah ilmu al-hadist atau disebut juga ilmu dirayah al-hadits menurut as-Suyuti, muncul setelah masa al-khatib al-bagdadi, yaitu masa Ibn al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul al-hadits, ulama al-hadits, musthahalah al-hadits, dan qawa’id at-tahdis.
Diantara semua istilah diatas, pada dasarnya tidak ada perbedaan makna sehingga tidak menimbulkan perbedaan dalam materi pembahasannya, namun yang lebih mencakup dari istilah tersebut ialah istilah uulm hadits. Istilah ini meskipun memberikankesan masuknya ilmu hadis riwayah didalamnya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari tidak demikian.
Dalam bahasa indonesia, istilah yang sudah baku ialah “ilmu hadis.” Istilah ini meskipun dengan memakai sebutan tunggal, akan tetapi (dimaksudkan) didalamnya mencakup semua materi yang terkait. Tentu saja ilmu hadis riwayah tidak termasuk didalamnya, karena pembahsan tentang hadis (sebagai materi dari ilmu hadis Riwayah) sudah mempunyai sebutan tersendiri secara terpisah, yang dipisahkan dari materi ilmu hadis.[2]
Secara terminologi, yang dimaksud dengan ilmu hadist dirayah sebagaimana yang didefinisikan oleh Muhammad Mahfuzh at-Tirmizi ialah:
السّنَدِوَالْمَتَنِ  يَدْرِبِهَاأَحْوَالُ قَوَانِيْنٌ
      Undang undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui sanad dan matan.
Yang terkandung dalam pengertian diatas ialah segala ketentuan, baik berkaitan dengan kualitas kesahihannya (sahih, hasan, dan dhaiifnya hadis), sandarannya (marfu, mauquf, dan maqthu-nya), serta menerima dan meriwayatkannnya (kafiyat at-tahmul wa al-ada),  maupun sifat-sifat dan mendefenisikannya dengan:
Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya, serta untuk mengetahui keadaan para perawi, bak syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan, dan segala yang berkaitan dengannya.
Hakikat ar-riwayah, artinya penukilan hadis dan penyandraanya kepada sumber hadis atau sumber berita itu sendiri, yaitu nabi Saw.. syarat-syarat periwayatan ialah penerimaan perawi terhadap hadis yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan qira’ah (pembacaan), al-wasiyah (berwasiat), al-ijazah (pemberian izizn dari perawi).
            Objek ilmu dirayah ialah sanad rawi dan matan, dari sudut diterima (maqbul) atau ditolaknya (mardud-nya) suatu hadis. Dari aspek sanadnya diteliti tentang keadilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menyampaikan hadisnya, serta ittishal as-sanad atau bersambung tidaknya antara sanad-sanad hadis tersebut.
Pembahasan tentang sanad meliputi: (i) segi persambungan sanad (ittihsal as-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadis haruslah bersambung, mulai dari sahabat sampai pada periwayatan terakhir yang menuliskan atau membukukan hadis tersebut. Oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut terputuss, tersembunyi, atau tidak diketahui identitasnya atau tersamar. (ii) segi keterpercayaan sanad (tsiqat as sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat didalam sanad suatu hadis harus memiliki sifat adil dan dhabit (kuat dan cermat hapalan atau dokumentasi hadisnya). (iii) segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz). (iv) keselamatan dari cacat (illat), dan (v) tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedanglan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi kesahihhannya atau kedhabitannya. Hal tersebut dapat dilihat melalui kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung didalam al-qur’an, atau selamatnya dari : (i) cacat atau kejanggalan maknanya (fasad al-makna), karena bertentangan dengan akal dan pnca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-qur’an, atau dengan fakta sejarah, dan (ii) dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan hadis-hadis yan maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan )dan  yang mardud (yang ditolak).[3]
 Dengan demikian mempelajari ilmu hadis dirayah ini, banyak kegunaan yang diperoleh, antara lain: pertama, dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa kemasa sejak masa Rasulullah saw sampai dengan masa sekarang. Kedua, dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadis. Ketiga, dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut. Keempat, dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut. Kelima, dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum syarak.[4]

B.   Sejarah Perkembangan Hadis

Ilmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Uraian berikut akan menitik beratkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi tiga periodesasi yaitu awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa kekininan.
1.    Periode Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebe Ketigatulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau.
Pada masa ini kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadits) yang menjadi cikal bakal ilmu hadits terutama ilmu hadits dirayah  dilakukan dengan cara yang  sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadits tersebut.
Pada masa Sahabat yang dimulai dari khalifah  Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadits-hadits Nabi SAW. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:
a.       Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
b.      Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.       Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
b.      Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
a.       Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
b.       Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi, keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
c.       Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.
Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadits menyangkut sanad maupun matan hadits semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah hadits, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadits, yaitu orang yang menyampaikan sebuah hadits harus bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang dibawanya.  
Perinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab (15-94 H), Al-Hasan Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi (17-104 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Dalam catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para ulama-ulama berikutnya.    
Kemudian muncul ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405 H), yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits, yang isinya membagi ilmu hadits menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), yang menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu hadits, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami’.    
Setelah itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H) dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadits yang dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab At-Taqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Demikian perkembangan ilmu hadits pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang datang belakangan. [5]

2.    Periode  Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Periode pertengahan dalam sejarah Islam dimulai sejak pasca keruntuhan Bani Abbasiyah, yaitu sekitar tahun 1254 M. Ciri yang paling populer pada periode ini adalah munculnya sistem pembelajaran lewat madrasah, berbeda dengan masa klasik yang cenderung berpusat pada individu. Oleh karena itu, tidak aneh bila kemunculan setiap karya, khususnya ulumul hadits didasarkan pada keperluan peembelajaran[6].
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadits
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadits dalam sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadits yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi.  Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).[7]

3.    Periode Modern (Abad 14 H sampai Sekarang)
Perkembangan ilmu hadis abad demi abad terus mengalami perkembangan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadis dari ulama muhadisin adalah assy-Syaikh Thair Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunyai nilai tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid jamaludin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits Fi Funulil Hadis, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya.
          Dan diantara aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
a.    Mengurangi periwayatan hadis
Mereka khawatir dengan banyakanya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap rasul SAW, selain itu mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan menyibukkan umat islam terhadap As-Sunah dan mengabaikan Al-Qur’an.
b.    Ketelitian dan periwayatan Hadis
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadis tanpa adanya perawi yang benar-benar dapat dipercaya, karena mereka sangat takut terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi SAW.
c.    Kritik terhadap riwayat
Adapun kritik terhadap riwayat adalah dengan cara memapar dan membandingkan riwayat dengan Al-Qur’an, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat Nabi Muhammad tersebut diikuti pula oleh para ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut diikuti pula oleh para ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditinggalkan terutama setelah munculnya hadis-hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah masa pemerintahan Khalifah Ali bin abi talib r.a. semenjak itu mulailah dilakukan penilitian terhadap sanad hadis dengan mempraktikan ilmu al-hajarah wa al-ta’dil dan sekaligus mulai pulalah ilmu ini tumbuh dan berkembang. Setelah  munculnya kegiatan pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas tertentu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memlihara kemurnian hadis, yakni seperti : a) melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan, b) melakukan perjalanan (rhilah) dalam mencari sumber hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan menilit kebenaran riwayat tersebut melaluinya, c) melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih stiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dhifan atau kepalsuan suatu hadis.
Dengan demikian kegiatan para ulama hadis diabad pertama hijriah yang telah memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Bahkan pada akhir abd pertama itu telah terdapat beberapa klasifikasi hadis, yaitu: hadis Marfu, Hadis Muttasil, dan Hadis Mursal. Dari macam-macam hadis tersebut, juga telah dibedakan antara hadis maqbul, yang pada masa berikutnya disebut dengan hadis Shahih dan hadis Hasan, serta hadis mardud yang dikenal dengan hadis dhaif dengan berbagai macamnya.
Pada abad kedua hijriah,  ketika hadis telah dibukukan secara resmi atas prakarsa khalifah Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad ibn Syhab Al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadis tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadis yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan hadis sahih, demikian juga perawinya. Hal ini dilakukan lantaran semakin banykanya para penghapal hadis yang wafat.
Pada abad ketiga hijriah yang dikenal pada masa keemasan dalam sejarah perkembangan hadis, mulailah ketentuan dan perumusan kaidah-kaidah hadis dituliskan dan dibukukan, namun masih bersifat parsial.
Pada abad keempat dan kelima hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadis yang bersifat komperehensif. Selanjutnya, pada abad setelah itu mulailah bermunculan karya-karya dibidang ilmu hadis ini sampai saaat ini masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadis. Adapun ulamma yang menyusun kitab dalam bidan ini adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan.[8]


BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Ulumul hadits adalah istilah ilmu hadis didalam tradisi ulama hadis. (Arabnya : ulul al-hadits). Ulum al-hadis terdiri dari dua kata, yaitu ulum dan al-hadis. gabungan kata ulum al-hadis mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis nabi SAW.
perkembangan ilmu hadits menjadi tiga periodesasi yaitu awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa kekininan.
1.    Periode Klasik (masa Nabi SAW sampai abad 7)
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung.
2.    Periode Pertengahan (abad 7 H-14 H)
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadits
3.   Periode Modern (abad 14 H sampai sekarang)
Perkembangan ilmu hadis abad demi abad terus mengalami perkembangan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadis dari ulama muhadisin adalah assy-Syaikh Thair Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunyai nilai tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid jamaludin


Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits Fi Funulil Hadis, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya.

B.   Saran

Dalam pembuatan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kami mengaharapkan adanya saran dan kritik yang membangun guna untuk kemajuan makalah ini menjadi lebih baik. Semoga makalah sederhana ini dapat membantu pembaca untuk menambah wawasan.

DAFTAR PUSTAKA


-       Ahmad Izzan, Saifudin Nur, Ulumul Hadis, BandungTafakur
-       Sohari Sahrani,2010, Ulumul Hadis, Serang, Ghalia Indonesia




[1] Ahmad Izzan, Saifudin Nur, Ulumul Hadis, Bandung, h.94, Tafakur
[2] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Serang, h.73, Ghalia Indonesia
[3] Ibid. h. 75
[4] Ibid. h.75
[5] http://nurhasn9.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html
[6] http://www.darulmuhibbin-nw.com/2012/01/mengenal-kitab-ulmumul hadits-masa.html
[7] http://nurhasn9.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html
[8] http://www.academia.edu/5727527/Ilmu_Hadis_Sejarah_dan_Perkembangannya (Selasa, 14 Oktober 2014)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...