Kelapa sawit adalah komoditas primadona Indonesia sekarang ini. Ini dibuktikan dengan besarnya kontribusi kelapa sawit terhadap ekspor, produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan pekebun, penyerapan tenaga kerja. Produksi sawit Indonesia mencapai 17,4 juta ton dalam kawasan 6,7 juta hektar, dan ekspornya mencapai 11 juta ton CPO (crude palm oil) senilai US$ 6,2 milyar, menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar sawit di dunia. Namun demikian pembangunan perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif kalau dilakukan secara sembarangan. Dampak ini dapat merusak lingkungan, keragaman hayati, dan bahkan merusak budaya masyarakat setempat.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan akan
melibatkan pemerintah, investor, masyarakat, yang masing-masing mempunyai
kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu ada kemitraan antara ketiga
pelaku (stakeholders) bisnis kelapa sawit tersebut.
Kemitraan pada dasarnya adalah kegiatan kerjasama
usaha antara usaha kecil/pekebun dengan usaha menengah dan/atau usaha besar
sebagai mitra usaha disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh usaha
menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan.
Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan
angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi
kepentingannya untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan
areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman
terhadap keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa
sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi.
Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga
kini bahkan semakin menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai
maksudnya tadi, pemerintah banyak membuat program ekspnasi wilayah kebun meski
harus mengkonversi hutan.
Sebut saja Program sawit di wilayah perbatasan
Indonesia – Malaysia di pulau Kalimantan seluas 1,8 jt ha dan Program Biofuel 6
juta ( tribun Kaltim, 6 juta ha untuk kembangkan biofuel) ha. Program
pemerintah itu tentu saja sangat diminati investor, karena lahan peruntukan
kebun yang ditunjuk pemerintah adalah wilayah hutan. sebelum mulai berinvestasi
para investor sudah bisa mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari hutan
dengan hanya mengurus surat Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepda pihak pemerintah,
dalam hal ini departemen kehutanan.
Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia
mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan
tropis. Juga menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan.
Disamping itu praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan
kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah
menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru,
sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan
yang direncanakan.
Dampak negatif yang terungkap
dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranyai:
1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas
dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu
kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi,
hama dan penyakit.
2. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara
tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan
waktu.
3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur
seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12
liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc
Pekanbaru/ Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit
mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan
kimia lainnya.
4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena
jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras
dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis
tanaman akibat monokulturasi.
5. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari
pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan
cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama.
Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan
yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
6. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat
masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak
dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara
masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
7. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana
alam seperti banjir dan tanah longsor
Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah
serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya
terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan
produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki
ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi
(Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).
Masihkan kita
membutuhkan konversi hutan untuk menjadi kebun sawit mengingat dampak negatif
yang munculkannya begitu banyak bahaya dan jelas-jelas mengancam
keberlangsungan lingkungan hidup? Sebuah pertanyaan untuk kita
permenungkan demi kelangsungan dan keseimbangan alam serta penghuninya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...