PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Pada
dasarnya semua agama tentulah memiliki suatu ajaran yang terkait dengan hal-hal
yang bersifat sakral, sehingga muncullah istilah “Ritual” yang merupakan sebuah
tindakan yang dapat memepererat hubungan antara pelaku dengan obyek yang
dianggap suci. Akan tetapi dalam pengimplementasinya tidak sedikit yang dinilai
masih kurang, apakah hal ini disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan tentang arti
dan definisi ritual yang sebenarnya, atau adanya penyebab lain yang dapat
memunculkan sosok individu yang selalu ingin tampil instan tanpa mempedulikan
dan mempraktekkan ritual yang menjadi sarana pokok untuk memperkokoh hubungan
pelaku dengan obJek yang dianggap dalam agamanya.
Sebagai warga negara yang percaya
dan menganut suatu agama tentulah kiranya kita harus mengetahui dan mempelajari
tentang hal-hal yang terkait dengan masalah agama itu sendiri, seperti Ritual
dan Institusi Islam. Sehingga dengan demikian diharapkan tidak adanya lagi
fenomena-fenomena yang sudah menjamur seperti Islam KTP dan lain sebagainya.
Dalam makalah ini, penulis ingin menjelaskan sedikit tentang apa itu Ritual dan
Institusi Islam, dengan harapan dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua,
Amin.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini yaitu :
1. Bagaimanakah ritual dalam
perspektif sosiologi ?
2. Apa yang dimaksud dengan
ritual islam ?
3. Apa pengertian dari
institusi ?
4. Apa saja fungsi dan
unsur-unsur institusi ?
5. Bagaimanakah institusi
dalam islam ?
1.3 Tujuan Makalah
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1.
Mengetahui ritual dalam perspektif sosiologi.
2.
Mengetahui pengertian ritual islam dari berbagai macam perspektif.
3.
Mengetahui pengertian dari institusi.
4.
Mengetahui fungsi dan unsur-unsur institusi.
5.
Mengetahui institusi dalam islam.
1.4
Batasan Masalah
Adapun
mengenai batasan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi ritual
dalam perspektif sosiologi, pengertian ritual islam dari berbagai macam
perspektif, pengertian dari institusi, fungsi dan unsur-unsur institusi, serta
institusi dalam islam.
1.5
Metode Pengumpulan Data
Adapun
metode yang penulis gunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan metode
akses di internet serta telaah kepustakaan dengan menggunakan buku perpustakaan
sebagai bahan referensi. Dimana penulis mencari literatur yang berkaitan dengan
makalah yang penulis buat, dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk
makalah.
PEMBAHASAN
2.1
Ritual dalam Perspektif Sosiologi
Semua agama mengenal ritual, karena
setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan
pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Ritual
merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci, dan
memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.
(Djamari, 1993: 35).[1][1]
Hampir semua masyarakat yang
melakukan ritual keagamaan dilator belakangi oleh kepercayaan. Adanya
kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Karena itu, ritual
didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai
dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara
melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual
diyakini akan mendatangkan keberkahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu
yang sakral. Sedangkan perilaku profane dilakukan secara bebas. (Djamari,
1993:36).
Dalam analisis Djamari (1993:36),
ritual ditinjau dari dua segi tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada
ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya
mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada
yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Dari segi cara,
ritual dapat dibedakan menjadi dua; individual dan kolektif. Sebagian ritual
dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri
dari keramaian, seperti meditasi, betapa, dan yoga. Ada pun ritual yang
dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993:38)
menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal
dari kecemasan. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan
yang bersifat “sangat”, yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang
biasa, yang ia sebut kecemasan sekunder.[2][2]
Dr. Ali Shariati dalam "The
Visage of Muhammed” dan diterjemahkan oleh Ir. Ibnu Muhammad dengan judul
"Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama", mengatakan bahwa proses
dialektikal kecenderungan budaya atau keagamaan masyarakat dunia dari zaman ke
zaman yang secara berturutan melahirkan "nabi-nabi" yang mengajarkan
"agama-agama" sesuai dengan tuntutan zamannya yang selalu menghendaki
adanya keseimbangan.
Menurut Shariati, suatu masyarakat
sebagaimana suatu objek, akibat berbagai faktor dan kondisi bisa menyimpang
dari posisi keseimbangannya menuju, misalnya spritualisme dan kesalehan ekstrim
dan kecenderungan kepada keakhiratan, atau menuju kepada kebalikannya yaitu
materialisme atau korupsi ekstrim dan kecenderungan kepada keduniawian. Selalu
pada tahap ini suatu agama besar tampil, dan arah tendensi masyarakat umum
tampak sangat jelas.
Saat situasi ekstrim terjadi, maka muncullah seorang nabi dan dengan kekuatan agamanya menerapkan suatu gaya yang berlawanan dengan ekstrim tersebut, sehingga perluasan agama ini dan penyebarannya dalam masyarakat menyebabkan terjadinya equilibrium terhadap arah penyimpangannya, dan pada tahap ini misi keagamaan secara logis telah berakhir, tetapi kita tidak pernah mendapati adanya para pengikut agama tersebut mengumumkan akhir dari misi keagamaannya. Akibat dari agama yang terus menerus melancarkan kekuatannya ke dalam masyarakat dengan arah yang sama, dan mencapai pada tahapan di mana agama secara paksa menjadi kekuatan negatif dan menyimpangkan sehingga menjadi ketersebaban penyimpangan ke arah yang lain (ekstrim), sehingga masyarakat menjadi teralienasi atas semuanya dan mendekati kematiannya, tiba-tiba saja terbangkitkan seorang nabi yang lain melawan kekuatan agama yang lama. Kekuatan ini dilancarkan begitu hebat dan memaksa penyimpangan/ekstrim yang terdahulu untuk mencapai suatu equilibrium yang baru, hal ini berlaku secara terus-menerus di dalam masyarakat dan ini bisa terlihat pada agama-agama masa lalu.[3][3]
Saat situasi ekstrim terjadi, maka muncullah seorang nabi dan dengan kekuatan agamanya menerapkan suatu gaya yang berlawanan dengan ekstrim tersebut, sehingga perluasan agama ini dan penyebarannya dalam masyarakat menyebabkan terjadinya equilibrium terhadap arah penyimpangannya, dan pada tahap ini misi keagamaan secara logis telah berakhir, tetapi kita tidak pernah mendapati adanya para pengikut agama tersebut mengumumkan akhir dari misi keagamaannya. Akibat dari agama yang terus menerus melancarkan kekuatannya ke dalam masyarakat dengan arah yang sama, dan mencapai pada tahapan di mana agama secara paksa menjadi kekuatan negatif dan menyimpangkan sehingga menjadi ketersebaban penyimpangan ke arah yang lain (ekstrim), sehingga masyarakat menjadi teralienasi atas semuanya dan mendekati kematiannya, tiba-tiba saja terbangkitkan seorang nabi yang lain melawan kekuatan agama yang lama. Kekuatan ini dilancarkan begitu hebat dan memaksa penyimpangan/ekstrim yang terdahulu untuk mencapai suatu equilibrium yang baru, hal ini berlaku secara terus-menerus di dalam masyarakat dan ini bisa terlihat pada agama-agama masa lalu.[3][3]
2.2
Ritual Islam
Secara umum, ritual dalam islam
dapat dibedakan menjadi dua ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan
eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik
dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama
adalah salat. Allah berfirman dalam surat al-isra ayat 78 yang berbunyi.
مَشْهُودًا كَانَ الصَّلاَةَ
لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ
الْفَجْرِ أَقِمِ
Artinya :“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan
(oleh malaikat).”
Sedangkan contoh ritual kedua adalah
marhabaan, peringatan hari (bulan)
kelahiran Nabi Muhammad Saw (muludan ,Sunda),
dan tahlil yang dilakukan keluarga
salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji.
Selain perbedaan tersebut, ritual
dalam islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam
islam dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu primer, sekunder, dan tertier.
1. Ritual islam primer adalah ritual yang wajib dilakukan
oleh umat islam.Umpamanya, salat wajib lima waktu dalam sehari semalam.
Kewajiban ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al-Quran dan hadist
Nabi Muhammad Saw.
2. Ritual islam sekunder adalah ibadah salat sunah,
umpamanya bacaan dalam rukuk dan sujud,
salat berjamaah, salat tahajud dan salat duha.
3. Ritual islam tertier adalah ritual yang berupa anjuran
dan tidak sampai pada derajat sunah.
Umpamanya, dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Imam al-Nasa’i dan Ibnu Hibban yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw
bersabda,”Orang yang membaca ayat kursiy setelah salat wajib, tidak aka nada
yang mengahalanginya untuk masuk surga.”[4][4]
Ritual
sudut mukalaf dapat dibedakan menjadi 2 :
1. Ritual yang diwajibkan kepada setiap
orang.
2. Ritual yang diwajibkan kepadab
setiap individu tetapi pelaksanaannya
dapat diwakili oleh sebagian orang.
Ritual
dari segi tujuan dibedakan menjadi 2 :
1. Ritual yang bertujuan mendapatkan
rida Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi.
2. Ritual yang bertujuan mendapatkan
balasan di dunia.
Dengan
meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini diambil dari
Homans), ritual dalam islam juga dapat dibagi
menjadi 2 yaitu ritual primer dan sekunder. Ritual primer adalah ritual
yang merupakan kewajiban sebagai pemeluk islam. Contohnya , kewajiban
melaksanakan salat Jumat bagi Muslim laki-laki. Di sebagian masyarakat
Indonesia, terdapat kebiasaan salat i’adah, yaitu salat zuhur yang dilakukan
secara berjamaah setelah salat Jumat. Dalam kasus itu, salat Jumat berkedudukan
sebagai ritual primer, dan salat zuhur sesudah Jumat berkedudukan sebagai
ritual sekunder.[5][5]
2.3 Institusi
Apabila kita membuaka kamus besar
bahasa Indonesia, kita akan menjumpai beberapa arti tentang lembaga. Arti
pertama adalah asal sesuatu; kedua, acuan : sesuatu ytang memberi bentuk kepada
yang lain; ketiga, badan atau organisasi yang bertujuan melakukan sesuatu
pnelitian keilmuan atau melakukan suatu usaha.[6][6]
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua
istiiah yang mengacu kepada pengertian institusi (Iembaga), yaitu institute dan
institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai
sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua
menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi
kebutuhan.
Istilah lembaga kemasyarakatan
merupakan pengalihbahasaan dari istilah Inggris, social institution.
Pengertian-pengertian social instiuction yang lain yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto, (1987: 179) adalah sebagai berikut :
1. Howard Becker mengartikan social institution dari sudut fungsinya.
Menurutnya, ia merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar
kelompok manusia yang berfungsi meraih dan memelihara kebutuhan hidup mereka.
2. Sumner melihat social institution
dari sisi kebudayaan. Menurut dia, sosial institution ialah perbuatan,
cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang
bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masvarakat.
3. Menurut Robert Mac Iver dan Charles
H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan
untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.
Norma-norma yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat, berubah sesuai dengan keperluan dan kebutuhan
masyarakat. Maka lahirlah, umpamanya, kelompok norma kekerabatan yang
menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan. Kelompok norma
pendidikan yang melahirkan institusi pendidikan. Kelompok norma hukum
melahirkan institusi hukum, seperti peradilan. Dan kelompok norma agama yang
melahirkan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya,
secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage); kedua, kebiasaan (folkways);
ketiga, tata kelauan (mores) dan keempat, adat istiadat (custom).[7][7]
2.4 Fungsi dan
Unsur-Unsur Institusi
Fungsi
institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut :
1. Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan
pengendalian social berdasarkan sistem tertentu, yaitu system pengawasan
tingkah laku.
2. Menjaga stabilitas dan keamanan
masyarakat.
3. Memberikan dorongan pedoman kepada
masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi
kebutuhan mereka.
Menurut Mac Iver dan Charles H.
Page, dalam bukunya yang berjudul Society: an Introductory Analysis yang
ditulis dan disadur oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi elemen
institusi itu ada tiga: pertama, association; kedua, characteristic
institutions; dan ketiga, special interest.[8][8]
1.
Association
merupakan wujud kongkret dari institusi. Ia bukan sistem nilai tetapi merupakan bangunan dari sistem nilai. Ia
adalah kelompok kemasyarakatan. Sebagai contoh, institut atau uniiversitas
merupakan institusi kemasyarakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri
Syarif Hidayatullah , Universitas Airlangga adalah association.
2.
Characteristic
Institution adalah system nilai atau norma tertentu yang dipergunakan oleh
suatu association. Ia dijadikan sebagai landasan dan tolak ukur berprilaku oleh
masyarakat asosiasi yang bersngkutan. Tata prilaku dalam Characteristic
Institution mempunyai daya ikat yang kuat dan sanksi yang jelas bagi setiap
jenis pelanggaran.
3.
Special interest adalah kebutuhan
atau tujuan tertentu, baik kebutuhan yang bersifat pribadi maupun asosiasi
Unsur-unsur
suatu lembaga sosial adalah ia memiliki nilai dan norma yang dijadikan pedoman
untuk hidup sesuai dengan kesepakatan bersama, kemudian pola perilaku dan
sistem hubungan, yakni suatu jaringan peran dan status yang menjadi wahana
untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku. Sedangkan
fungsi dari lembaga sosial adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan
untuk menjaga keutuhan masyarakat, serta sebagai pedoman untuk bertingkah
laku.
Terbentuknya
lembaga sosial bermula dari kebutuhan masyarakat akan keteraturan kehidupan
bersama. Sebagaimana diungkapkan oleh Soerjono Soekanto lembaga sosial tumbuh
karena manusia dalam hidupnya memerlukan keteraturan. Untuk mendapatkan
keteraturan hidup bersama dirumuskan norma-norma dalam masyarakat sebagai
paduan bertingkah laku.[9][9]
2.5 Institusi
Islam
Sistem norma dalam agama islam
bersumber dari firman Allah SWT dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan
pedoman bertingkah laku masyarakat muslim agar mereka memperoleh kemaslahatan
hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam islam
tercermin dalam lima bentuk yaitu :
1) Mubah adalah tidak mempunyai daya
ikat sehingga tidak mendapatkan sangsi
bagi pelakunya
2) Mandub adalah sesorang yang
mengerjakannya akan memperoleh pahala.
3) Wujud adalah perilaku yang harus dilakukan
sehingga seseorang yang mengerjakan perilaku wujud akan mendapat pahala
sedangkan yang melanggar akaan mendapat sanksi.
4) Makruh adalah tingkat norma yang
memberikan saksi kepada yang melanggarnya; dan yang tidak melanggarnya tidak
diberi pahala.
Institusi adalah sistem nilai dan
norma. Adapun norma islam terdapat dalam 4 aspek :
1) Norma akidah tercermin dalam rukun
iman dan rukun islam.
2) Norma ibadah dalam shalat, zakat,
puasa haji dan umrah.
3) Norma muammalah dalam kehartaan dan
pemanfaatannya, jual beli, sewa-menyewa dan upah, utang piutang, agunan,
pemberian waqaf, wasiat serta sistem kerja sama dalam islam.
Norma-norma
tersebut kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasi tertentu yang merupakan
wujud konkret dari norma. Hal itu dilakukan dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka agar bisa hidup tenteram dan bahagia dunia akhirat,
karena institusi islam adalah sistem norma yang berdasarkan ajaran islam dan
diadakan untuk kebutuhan imat islam.
Contoh
institusi islam yang ada di Indonesia :
1) Institusi perkawinan diasosiasikan
melalui KUA dan peradilan agama.
2) Institusi pendidikan diasosiakan
dalam bentuk pesantren dan madrasah .
3) Institusi ekonomi diasosiasikan
menjadi bank muammalah di Indonesia dan BMT.
4) Institusi zakat diasosiasikan
menjadi BAZIS.
5) Institusi dakwah diasosiasikan
menjadi LDK.
6) Institusi islam utama lainnya yang
memiliki peran ekonomi dan social yang penting adalah waqf, yang berarti proses
penyerahan sejumlah uang atau aset.Al-waqf tetap menjadi institusi religius
penting bagi kelangsungan tujuan-tujuan religius dan amal kemanusiaan dalam
kemasyarakatan islam.[12][12]
7) Institusi politik utamanya islam
tidak pernah memisahkan agama dari politik seperti injil yang menyebutkan
pembagian antara kerajaan Tuhan dan Kaisar. Nabi saw. Sendiri adalah berperan,
baik sebagai pemimpin religius maupun politis bagi komunitas islam pertama.[13][13]
Selain itu di era modern juga
terdapat institusi politik yang diasosiasikan menjadi parpol yang berasas islam
seperti PBB, PPP, dan PUI.
Semua itu bertujuan memenuhi segala
kebutuhan masyarakat muslim baik fisik maupun non fisik.[14][14]
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas mengenai
ritual dan institusi islam dapat
disimpulkan bahwa :
1)
Ritual
merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan
memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.
2)
Dari
segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang
tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan
rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan.
Dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua; individual dan kolektif.
3)
Secara
umum, ritual dalam islam dapat dibedakan menjadi dua ritual yang mempunyai
dalil yang tegas dan eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak
memiliki dalil, baik dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah.
4)
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia institusi adalah asal sesuatu; kedua, acuan :
sesuatu ytang memberi bentuk kepada yang lain; ketiga, badan atau organisasi
yang bertujuan melakukan sesuatu pnelitian keilmuan atau melakukan suatu usaha.
5)
Fungsi
institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut :
a. Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan
pengendalian social berdasarkan sistem tertentu, yaitu system pengawasan
tingkah laku.
b. Menjaga stabilitas dan keamanan
masyarakat.
c. Memberikan dorongan pedoman kepada
masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi
kebutuhan mereka
6) Institusi islam adalah sistem norma
yang berdasarkan ajaran islam dan diadakan untuk kebutuhan imat islam.
3.1 Kritik dan
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun, untuk penulisan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad
Daud. 1995. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
Hakim, Atang Abdul.,Jaih Mubarok. 2009. Metodologi
Studi Islam. PT Remaja Rosdakarya : Bandung.
http://irineriskyana.blog.fisip.uns.ac.id/2011/06/09/lembaga-sosial/(
dikutip pada Paul B. Horton n Chester L. Hunt. Sosiologi.1999. Erlangga :
Jakarta). Di akses tanggal 11 Maret 2014
http://indexilmu.blogspot.com/2009/05/dienul-islam-dalam-perspektif-sosiologi.html,
diakses pada 11 maret 2014
Nasr, Sayyed Hossein. 2003. Islam: Agama, Sejarah
dan peradaban. Risalah Gusti: Surabaya.
Syarifuddin,
Amir. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Kencana Pranada Media Group : Jakarta.
[1][1] Atang ABD. Hakim- Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009, h. 125-127
[3][3]Dienul islam
dalam perspektif sosiologi http://indexilmu.blogspot.com/2009/05/dienul-islam-dalam-perspektif-sosiologi.html, diakses pada 11 maret 2014
[4][4] Ibnu Hajar al-‘Asqalani,bulugh al-maram min adillah al-ahkam,
(Jedah : al-Haramain,t.th.)h.75
[5][5] Atang ABD. Hakim- Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009, h. 129-130
[6][6]Muhammad Daud Ali, Lemga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.1
[7][7] Atang ABD. Hakim- Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009,
h.130-132.
[8][8] Selo Soemardjan, Soelaemon Soemardi di dalam buku (Atang
ABD. Hakim- Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam ) 1964, h.78
[9][9]
http://irineriskyana.blog.fisip.uns.ac.id/2011/06/09/lembaga-sosial/( dikutip
pada Paul B. Horton n Chester L. Hunt. Sosiologi.1999. Erlangga : Jakarta)
diakses pada 11 Maret 2014.
[10][10] Atang ABD. Hakim- Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009, h. 135.
[12][12] Atang ABD. Hakim- Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009, h. 135.
[13][13] Seyyed Hossein Nasr, Islam: agama, sejarah dan peradaban, Surabaya
: Risalah Gusti,2003,h.125-128
[14][14] Atang ABD. Hakim- Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009, h. 136.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...