Menu Bar 1

Friday, 11 August 2017

Haruskah Aku Mengaku Dosa?

Seseorang berkata dengan penuh kesedihan, “Aku ingin bertaubat, namun apakah aku harus pergi dan mengakui dosa-dosa yang telah aku lakukan? Apakah ini syarat untuk bertaubat bahwa aku harus memberitahu hakim (qadhi) di pengadilan mengenai segala hal yang telah aku lakukan, dan memintanya untuk melaksanakan hukuman yang pantas kepadaku? Apa makna dari kisah yang baru saja aku baca mengenai taubat Ma’iz dan wanita Ghamidi dan tentang laki-laki yang mencium seorang wanita di sebuah taman?” 
Jawabanku terhadapmu adalah bahwa seorang hamba berhubungan langsung dengan Allah, tanpa perantara, merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam iman terhadap Tauhid yang dengannya Allah ridhai. Allah berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku,” (QS Al-Baqarah [2] : 186) 

Jika kita meyakini bahwa taubat hanya kepada Allah, maka pengakuan pun hanya kepada Allah. Bahkan Nabi mengucapkan dalam doanya memohon ampunan:
“…aku mengakui kepada-Mu nikmat-Mu kepadaku, dan aku mengakui dosaku kepada-Mu…” (HR Bukhari). Ini adalah pengakuan kepada Allah.
Demi kemuliaan Allah, kita tidak seperti orang-orang Kristen, dengan pendeta, tempat pengakuan dosa, dokumen pengampunan, dan lain-lain. 
Sungguh, Allah telah berfirman:
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hambahamba-Nya…” (QS At-Taubah [9] : 104) 
Dia menerima taubat hamba-Nya tanpa mediator atau perantara. 
Adapun menerima hukuman, jika amalan (dosa) itu tidak mendapat perhatian resmi dari Imam, penguasa, atau qadhi, seseorang tidak perlu datang kepada mereka dan mengakuinya. Jika Allah telah menutupi dosa seseorang, tidak mengapa baginya menutupi dosanya sendiri. Cukup baginya bertaubat kepada Allah, dan perkaranya antara dia dengan Tuhannya. Salah satu nama Allah adalah As-Sittir, berarti Dia yang Maha Menutupi atau menyembunyikan (kesalahan hamba-Nya), dan Dia menyukai hamba-Nya untuk menyembunyikannya. Mengenai sahabat Ma’iz, wanita Ghamidi dan laki-laki yang mencium gadis di taman, mereka semua melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan atas mereka untuk dilakukan, semoga Allah meridhai mereka semuanya, karena mereka sangat ingin mensucikan diri mereka. Dalil untuk hal ini adalah kenyataan bahwa Nabi berpaling, dari Ma’iz dan dari wanita Ghamidi pada awalnya. Ketika Umar berkata kepada laki-laki yang telah mencium gadis di taman, “Allah telah menutupi dosanya. Seharusnya dia sendiri menutupi dosanya,” Nabi tetap diam, menunjukkan bahwa beliau setuju dengan perkataan itu. 
Maka tidak perlu pergi ke pengadilan dan mendaftarkan pengakuan resmi, jika Allah telah menutupi dosa seseorang. Juga tidak perlu datang kepada imam sebuah masjid untuk meminta kepadanya melaksanakan hukuman yang sesuai, atau meminta seorang kawan untuk melaksanakan hukuman cambuk di dalam rumah, sebagaimana yang dibayangkan sebagian orang. 
Kisah berikut ini akan mengajarkan kepadamu bagaimana pentingnya bersikap hati-hati terhadap sikap sebagian orang yang jahil terhadap orang-orang yang bertaubat; seorang laki-laki yang ingin bertaubat datang kepada seorang imam masjid yang jahil, mengakui dosa kepadanya dan bertanya apa yang harus dia lakukan. Imam itu berkata, “Pergilah ke pengadilan dan akuilah dosamu secara resmi. Mereka akan melaksanakan hukuman yang sesuai kepadamu. Kemudian kita akan lihat apa yang akan kita lakukan setelahnya.” Laki-laki yang malang ini menyadari bahwa dia tidak dapat melakukan hal ini, sehingga ia melupakan niatnya untuk bertaubat dan kembali kepada jalan yang dulu ditempuhnya.
Saya akan menggunakan kesempatan ini untuk menambahkan sebuah komentar yang penting; mengetahui hukum-hukum Islam, dan mencarinya melalui sumber-sumber yang benar adalah yang terpercaya. Allah berfirman:
“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidakl mengetahui,” (QS An-Nah [16] : 43)
“(Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (QS Al-Furqan [25] : 59) 
Tidak semua khatib (imam) memiliki kemampuan untuk mengeluarkan fatwa. Tidak semua imam, muadzin, penceramah atau penutur kisah, memiliki kemampuan untuk menjalankan hukum kepada manusia. Tetapi seorang Muslim bertanggung jawab untuk mengetahui darimana dia dapat mengambil hukum. Ini adalah perkara penting dalam agama. Nabi  takut terhadap apa yang akan menimpa umatnya di tangan imam yang sesat. Salah seorang salaf berkata: “Ilmu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu.” Berhati-hatilah terhadap perangkap ini, dan hanya berkonsultasi kepada ulama yang terpercaya jika engkau berada dalam keraguan mengenai sebuah perkara. Wallahu musta’an
[Aku Ingin Bertaubat, Tetapi… Syaikh Muhammad Saleh Al-Munajjid]            

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...