Seseorang berkata dengan penuh
kesedihan, “Aku ingin bertaubat, namun apakah aku harus pergi dan mengakui
dosa-dosa yang telah aku lakukan? Apakah ini syarat untuk bertaubat bahwa aku
harus memberitahu hakim (qadhi) di pengadilan mengenai segala hal yang telah
aku lakukan, dan memintanya untuk melaksanakan hukuman yang pantas kepadaku?
Apa makna dari kisah yang baru saja aku baca mengenai taubat Ma’iz dan wanita
Ghamidi dan tentang laki-laki yang mencium seorang wanita di sebuah
taman?”
Jawabanku terhadapmu adalah bahwa
seorang hamba berhubungan langsung dengan Allah, tanpa perantara, merupakan
salah satu aspek yang paling penting dalam iman terhadap Tauhid yang dengannya
Allah ridhai. Allah berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku,” (QS
Al-Baqarah [2] : 186)
Jika kita meyakini bahwa taubat hanya
kepada Allah, maka pengakuan pun hanya kepada Allah. Bahkan Nabi mengucapkan
dalam doanya memohon ampunan:
“…aku mengakui kepada-Mu nikmat-Mu
kepadaku, dan aku mengakui dosaku kepada-Mu…” (HR Bukhari). Ini adalah
pengakuan kepada Allah.
Demi kemuliaan Allah, kita tidak
seperti orang-orang Kristen, dengan pendeta, tempat pengakuan dosa, dokumen
pengampunan, dan lain-lain.
Sungguh, Allah telah berfirman:
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya
Allah menerima taubat dari hambahamba-Nya…” (QS At-Taubah [9] : 104)
Dia menerima taubat hamba-Nya tanpa
mediator atau perantara.
Adapun menerima hukuman, jika amalan
(dosa) itu tidak mendapat perhatian resmi dari Imam, penguasa, atau qadhi,
seseorang tidak perlu datang kepada mereka dan mengakuinya. Jika Allah telah
menutupi dosa seseorang, tidak mengapa baginya menutupi dosanya sendiri. Cukup
baginya bertaubat kepada Allah, dan perkaranya antara dia dengan Tuhannya.
Salah satu nama Allah adalah As-Sittir, berarti Dia yang Maha Menutupi atau
menyembunyikan (kesalahan hamba-Nya), dan Dia menyukai hamba-Nya untuk
menyembunyikannya. Mengenai sahabat Ma’iz, wanita Ghamidi dan laki-laki yang
mencium gadis di taman, mereka semua melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan
atas mereka untuk dilakukan, semoga Allah meridhai mereka semuanya, karena mereka
sangat ingin mensucikan diri mereka. Dalil untuk hal ini adalah kenyataan bahwa
Nabi berpaling, dari Ma’iz dan dari wanita Ghamidi pada awalnya. Ketika Umar
berkata kepada laki-laki yang telah mencium gadis di taman, “Allah telah
menutupi dosanya. Seharusnya dia sendiri menutupi dosanya,” Nabi tetap diam,
menunjukkan bahwa beliau setuju dengan perkataan itu.
Maka tidak perlu pergi ke pengadilan
dan mendaftarkan pengakuan resmi, jika Allah telah menutupi dosa seseorang.
Juga tidak perlu datang kepada imam sebuah masjid untuk meminta kepadanya
melaksanakan hukuman yang sesuai, atau meminta seorang kawan untuk melaksanakan
hukuman cambuk di dalam rumah, sebagaimana yang dibayangkan sebagian
orang.
Kisah berikut ini akan mengajarkan
kepadamu bagaimana pentingnya bersikap hati-hati terhadap sikap sebagian orang
yang jahil terhadap orang-orang yang bertaubat; seorang laki-laki yang ingin
bertaubat datang kepada seorang imam masjid yang jahil, mengakui dosa kepadanya
dan bertanya apa yang harus dia lakukan. Imam itu berkata, “Pergilah ke
pengadilan dan akuilah dosamu secara resmi. Mereka akan melaksanakan hukuman
yang sesuai kepadamu. Kemudian kita akan lihat apa yang akan kita lakukan
setelahnya.” Laki-laki yang malang ini menyadari bahwa dia tidak dapat melakukan
hal ini, sehingga ia melupakan niatnya untuk bertaubat dan kembali kepada jalan
yang dulu ditempuhnya.
Saya akan menggunakan kesempatan ini
untuk menambahkan sebuah komentar yang penting; mengetahui hukum-hukum Islam,
dan mencarinya melalui sumber-sumber yang benar adalah yang terpercaya. Allah
berfirman:
“…maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidakl mengetahui,” (QS An-Nah [16] : 43)
“(Dialah) Yang Maha Pemurah, maka
tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang
Dia.” (QS Al-Furqan [25] : 59)
Tidak semua khatib (imam) memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan fatwa. Tidak semua imam, muadzin, penceramah atau
penutur kisah, memiliki kemampuan untuk menjalankan hukum kepada manusia.
Tetapi seorang Muslim bertanggung jawab untuk mengetahui darimana dia dapat
mengambil hukum. Ini adalah perkara penting dalam agama. Nabi takut terhadap apa yang akan menimpa umatnya
di tangan imam yang sesat. Salah seorang salaf berkata: “Ilmu adalah agama,
maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu.” Berhati-hatilah
terhadap perangkap ini, dan hanya berkonsultasi kepada ulama yang terpercaya
jika engkau berada dalam keraguan mengenai sebuah perkara. Wallahu musta’an
[Aku Ingin Bertaubat,
Tetapi… Syaikh Muhammad Saleh Al-Munajjid]
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...