Pendahuluan :Makalah ini diambil dari rubrik tanya jawab Syeikh Muhammad Nasiruddin AlAlbani –rahimahullah- dari Majalah As-Asholah, edisi ke-12, tgl, 15 –Shofar- 1415H, hal : 54. Rubrik ini diawali dengan bahasan seorang penuntut ilmu tentang hukum botak, kemudian Syeikh Al-Albani menanggapi bahasan tersebut, dan menerangkan hukum memanjangkan rambut, adapun judul bukan dari judul asli tapi judul dari penerjemah - pent.
Isi dari Makalah : Seorang dari
kalangan penuntut ilmu bertanya : "Kebanyakan dari para pelajar sekolah
bertanya-tanya, tentang hukum meninggalkan (memanjangkan) rambut kepala dan
hukum membotakannya. Permasalahan ini menjadi kabur bagi mereka ; antara apa
yang diperintahkan dan ditekankan oleh (peraturan) sekolah kepada mereka,
berupa kewajiban membotak rambut kepala atau mencukur terlalu pendek (cepak),
dan antara apa yang mereka lihat dari sebagian guru-guru yang konsisten dalam
beragama, - kita tidak mensucikan diri seseorang melebihi tazkiah Allah –
membiarkan rambut kepala mereka (hingga panjang), tanpa dipotong. Guru-guru
tersebut selalu membersihkan dan menyisirnya. Mereka sudah terbiasa
membiarkannya (panjang)".
Maka saya mengatakan (penulis
makalah), - dengan memohon pertolongan kepada Allah - : Sesungguhnya
memanjangkan rambut adalah sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad –
rahimahullah taala - : " memanjangkan rambut itu adalah sunnah, seandainya
kita mampu pasti kita sudah memanjangkannya. Akan tetapi hal ini butuh beban
dan perhatian." Ibnu Qayim dalam kitabnya (Zadul Maad) berkata:
"Rasulullah tidak diketahui membotak kepala , kecuali dalam ibadah (haji
dan umrah)."
Sesungguhnya sudah datang
hadits-hadits shohih yang menerangkan akan sifat (model) rambut Rasulullah –
Alaihi as-sholatu was-sallam - . Di dalam kitab (AlMughni), dikatakan;
"Dan rambut manusia itu disukai seperti model rambut Nabi –Sholallahu
alaihi wa sallam - , apabila panjang sampai ke bahu, dan apabila pendek sampai
ke cuping telinganya. Kalau dipanjangkan tidak apa-apa. Imam Ahmad telah
menyatakan seperti itu." Saya mengatakan (penulis makalah) : sesungguhnya
memanjangkan rambut itu mesti mempunyai beberapa hal yang harus diperhatikan,
di antaranya :
1. Ikhlas karena Allah Taala, dan
mengikuti petunjuk Rasul, supaya mendapatkan balasan dan pahala. 2. Dalam
memanjangkan rambut tersebut, hendaknya tidak menyerupai wanita, sehingga dia
melakukan apa yang dilakukan wanita terhadap rambutnya, dari jenis dandanan
yang khusus bagi wanita. 3. Dia tidak bermaksud untuk menyerupai ahli kitab (
kristen dan yahudi ), atau penyembah berhala, atau orang-orang yang bermaksiat dari
kalangan muslimin seperti seniman-seniman dan artis (panyanyi dan pemain film),
atau orang-orang yang mengikuti langkah mereka, seperti bintang olah raga,
dalam model potongan rambut mereka serta dandanannya. 4. Membersihkan
rambut,dan menyisirnya sekali dua hari. Dianjurkan memakai minyak dan
wangi-wangian serta membelahnya dari pertengahan kepala. Apabila rambutnya
panjang dia menjadikannya berkepang-kepang.
Adapun botak, Syeikh Ibnu
Taimiyah telah membahas secara terperinci. Dia membagi pembahasannya menjadi
empat bagian. Ringkasan pembahasannya (secara bebas ) :
Apabila botak itu karena
melaksanakan haji, umrah, atau untuk kebutuhan seperti berobat, maka hal ini
sudah konsisten dan disyariatkan, berdasarkan AlKitab (Al-Quran) dan Sunnah,
bahkan tidak ada keraguan dalam pembolehannya.
Adapun selain itu, maka hal
tersebut tidak akan keluar dari salah satu, dari dua permasalahan :
Pertama : Dia membotaknya
berdasarkan (beranggapan botak itu) adalah ibadah, (cermin) keagamaan, atau
kezuhudan, bukan karena haji atau umrah. Seperti orang menjadikannya botak itu
sebagai simbol dari ahli ibadah (orang yang banyak ibadahnya) dan ahli agama.
Atau dia menjadikannya sebagai simbol kesempurnaan zuhud dan ibadah. Maka dalam
hal ini, Syeikh Islam telah berkata : " Membotak kepala adalah bidah yang
tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan bukan pula hal yang
wajib atau disukai oleh seorang pun dari pemimpin-pemimpin agama. Tidak pernah
diperbuat oleh salah seorang dari shohabat-shohabat dan pengikut mereka dengan
baik. Juga tidak pernah dilakukan oleh syeikh-syeikh kaum muslimin yang
terkenal dengan kezuhudan dan ibadah; baik (mereka) itu dari kalangan shohabat,
tabiin, dan tabi tabiin serta orang-orang sesudah mereka." Kedua : Dia
membotakkan kepala bukan pada saat ibadah haji atau umrah, dan bukan karena
kebutuhan ( berobat ), serta bukan juga atas dasar mendekatkan (diri kepada
Allah) dan ritual, dalam masalah ini ulama mempunyai dua pendapat :
Pendapat yang pertama : Karahiyah
( dibenci ). Pendapat ini adalah mazhab Malik, dan lainnya. Juga salah satu
riwayat dari Ahmad. Beliau berkata : "Mereka ( ulama ) membenci hal itu (
botak tanpa sebab )". Hujjah orang yang berpendapat dengan pendapat ini
adalah bahwa membotakkan kepala adalah syiar (simbol ) Ahli bidah ( khawarij ).
Karena khawarij membotakkan kepala mereka. Sungguh Nabi – shollallahu alaihi wa
sallam – telah bersabda tentang mereka : "Ciri-ciri mereka adalah botak
". Sebagaimana sebagian orang khawarij menganggab botak kepala itu
merupakan bagian dari kesempurnaan taubat dan ibadah. Di dalam kitab shohih
Bukhori dan Muslim disebutkan : "sesungguhnya tatkala Nabi - shollallahu
alaihi wa sallam – membagi (harta rampasan perang ) pada tahun fath (
pembebasan Mekah ), dia didatangi seorang laki-laki yang jenggotnya lebat lagi
( kapalanya ) botak. Di dalam musnad Imam Ahmad diriwayatkan dari Nabi –
Shollallahu alaihi wa sallam – " Bukan dari golongan kami orang yang
membotak kepala ". Ibnu Abbas berkata : " Orang membotakkan kepalanya
di seluruh negeri adalah syaitan ".
Pendapat yang kedua : Mubah (
dibolehkan membotakkan kepala ). Pendapat ini terkenal di kalangan pengikut Abu
Hanifah dan Syafii. Juga merupakan riwayat dari Ahmad. Dalil mereka adalah, apa
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasai, dengan sanad yang shohih –
sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang kitab "Al- Muntaqo" – dari
Ibnu Umar, " sesungguhnya Nabi – shollallahu alaihi wa sallam – melihat
seorang anak ( bayi ) sebagian kapalanya sudah dibotak dan sebagian yang lain
ditanggalkan ( tidak dibotak ), maka dia melarang dari perbuatan tersebut,
lantas bersabda " Cukurlah keseluruhannya ( botak merata ) atau biarkan
keseluruhannya ( tidak dicukur sama sekali )". Dan ( juga ) dihadapkan
kepada baliau – shollallahu alaihi wa sallam – anak-anak yang kecil setelah
tiga ( hari dari kelahirannya – pent ) lalu membotakkan kepala mereka. Dan
karena dia – shollallahu alaihi wa sallam – melarang dari Qaza. Qaza itu adalah
membotak sebagian ( kepala ). Maka hal ini menunjukkan bolehnya membotak secara
keseluruhan. Syaukani – rahimahullah – berkata di dalam kitab "Nail
Authoor " di waktu dia berbicara tentang hadits yang dicantumkan oleh
pengarang "Al-Muntaqo" tadi : " Di dalam hadits tadi terdapat
dalil bolehnya membotakkan kepala secara keseluruhannya. Ghazali berkata,
" Tidak apa-apa ( membotakkan kepala ) bagi siapa menginginkan kebersihan.
Dan di dalam hadits itu ( juga ) terdapat bantahan kepada orang yang
membencinya ( botak )". Di dalam kitab "Al-mughni " disebutkan :
"Hanbal berkata : "Aku dan bapakku membotak kepala kami, semasa hidup
Abu Abdillah ( Imam Ahmad ), lantas dia melihat kami dan tidak melarang kami".
Ibnu Abdul Barri berkata :" sungguh ulama telah sepakat (ijma) atas
bolehnya botak" dan ini cukup dijadikan sebagai hujjah".
Saya mengatakan ( penulis makalah
) – wabillahi at-taufiq - : pendapat yang kedua ini yang kuat bagiku, karena
keshohihan dan terang ( jelas ) riwayatriwayatnya, wallahu alam.
Adapun peraturan sekolah untuk
melarang semua pelajar memanjangkan rambut kepala, maka peraturan ini hanya
merupakan tindakkan menutup celah ( perantara kejelekan ) dan menolak
kerusakkan. Hal itu disebabkan apa yang dilihat sekolah dari sekolompok pelajar
-yang tidak sedikit- mereka memanjangkan rambut bukan karena sunnah, tetapi
karena meniru dan mencotoh orang - orang tenar dari kalangan seniman yang tak
tahu malu, serta bintang olahraga, baik dari kaum muslimin atau lainnya, dengan
membentuk rambut kepala seperti model rambut orang-orang tenar tersebut,
sebagai ungkapan cinta dan kagum terhadap corak kehidupan mereka.
Bahaya-bahaya pelajar yang mencontoh
ini, tidak hanya sebatas diri mereka sendiri, malahan akan menjalar ke
teman-teman mereka di sekolah. Karena mereka terpengaruh oleh tingkah laku yang
arogan ini, sehingga menyebabkan hanyutnya jiwa-jiwa yang lemah dari para
pelajar, terutama dari pantaran mereka. Apalagi pada umur ini, mereka
dikalahkan oleh kelabilan mereka dalam pergaulan, serta keinginan yang banyak.
Juga karena terlalu cepat terpengaruh, serta tergesa-gesa mengambil keputusan.
Maka anda akan menemukan seorang pelajar pada umur ini (masa ini ) lebih banyak
terpengaruh oleh temannya di sekolah ketimbang dari guru-gurunya atau orang
tuanya sekalipun. Wallahu alam.
Jawaban (komentar Syeikh
Al-Albani terhadap makalah diatas).
Segala puji bagi Allah dan
sholawat dan salam atas Rasulullah, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya, serta
orang yang mengikuti petunjuknya. Amma badu : Sesungguhnya saya menyokong
dengan sokongan yang kuat, akan nas (penyataan) yang disebutkan di penghujung
fatwa ini (makalah di atas). Karena pernyataan tersebut bersandarkan kepada
kaidah syariyah yang penting, yaitu : "menolak kerusakkan (kerugian )
sebelum ( lebih didahulukan dari pada ) mengambil kemashlahatan ( keuntungan
)". Apalagi jika di sana tidak ada suatu mashlahat pun, kecuali mencontoh
orang-orang kafir atau orang-orang fasiq ?. Sungguh Nabi – shollallahu alaihi
wa sallam – telah bersabda dalam hadits yang shohih : Artinya :"barang
siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka "
Dan terdapat hadits-hadits yang
banyak yang semakna dengan hadits ini, di bermacam-macam bab ( sub bahasan ) di
dalam syariat Islam. Saya telah sebutkan di antaranya kira-kira 40 hadits di
dalam kitab saya " Hijabul- Mar-ah Muslimah ( Hijab Wanita Muslimah ) yang
belakangan saya cetak dengan judul " Jilbaabul – Mar-ah Muslimah "
(Jilbab Wanita Muslimah). Oleh karena itu saya selalu berfatwa bahwasanya tidak
boleh bagi pemuda-pemuda dan para pelajar untuk membiarkan (memanjangkan)
rambut kepala mereka. Tetapi mereka harus membotak atau memendekkannya. Sebagaimana
yang diperbuat kebanyakan muslimin. Wa billahit – taufiq.
Tidak ada lagi bagi seseorang
pun, untuk mengatakan pada zaman sekarang, bahwa membotak itu hukumnya makruh.
Karena tidak ada dalilnya kecuali hal tersebut merupakan simbol kaum khawarij.
Sedangkan mereka sekarang pun – di antaranya Ibadhiyah – tidak berpegang teguh
lagi ( tidak mewajibkan ), sebatas yang saya ketahui. Apabila mereka ditemukan
pada suatu negeri berpegang teguh dengan simbol ini (botak), maka penduduk
negeri itu wajib untuk menyelisihi mereka – berdasarkan dalil di atas (larangan
menyerupai suatu kaum)- . Apabila tidak ada, maka pada dasarnya (hukum botak
itu) boleh. Sesuai dengan hadits Ibnu Umar yang dishohihkan di kitab "
Al-Muntaqa ". Sebenarnya pengarang lupa bahwa hadits tersebut diriwayatkan
juga oleh Muslim . Sebagaimana yang telah saya takhrij di kitab
"Al-Ahaadits AsShohihah (1123)".
Adapun hadits : (laisa minna man
halaq ), maka hadits ini potongan dari hadits Abu Musa Al-Asyary dengan lafal:
(laisa minna man halaqa wa kaharaqa wa salaqa ), artinya: "Bukanlah dari
golongan kami orang yang membotak, merobek dan mengangkat suara".
Demikianlah yang diriwayatkan
oleh sekolompok imam-imam, di antaranya; Imam Ahmad di Musnadnya ( 4 / 411 ),
dan demikian juga di Shohihain (Bukhari Muslim). Imam Bukhari manyantumkan satu
judul bab di kitabnya "As-Shohih" dengan judul : "Bab Larangan
Membotak Karena Ditimpa Musibah ". Oleh karena itu, maka hadits ini khusus
terhadap orang membotak untuk menyatakan kesedihannya, sehubungan dengan
kematian karib kerabatnya. Perbuatan ini mengandung protes (tidak ridho )
terhadap keputusan Allah Taala dengan dalil perkataan beliau : ( wa Kharaqa )
merobek kain, dan juga perkataannya : (wa salaqa ) yakni ; mengangkat suara
dalam meratapi mayat.
Makna ini diperkuat lagi,
sehubungan Abu Musa meriwayatkan hadits ini di waktu sakit ( yang menyebabkan )
kematiannya, seperti yang terdapat di Shohihain (Bukhari-Muslim). Hadits ini
juga ditakhrij di kitab "Al-Irwa "( no : 771 ) dan di kitab "Ahkamul
– Janaaiz". Adapun perkataan Ibnu Abbas yang disebutkan di fatwa tadi,
saya tidak menemukan sanadnya. Saya tidak mengiranya shohih. Apabila shohih,
perkataan itu diarahkan kepada ( perbuatan ) menyerupai Khawarij, sebagaimana
yang telah berlalu ( hukum menyerupai khawarij, pent ).
Adapun pendapat yang mengatakan
memanjangkan rambut kepala itu (hukumnya) sunnah, maka tidak ada dalil yang
bisa dijadikan hujjah. Hadits yang shohih dari Rasulullah – shollallahu alaihi
wa sallam – dalam hal itu (bahwa beliau memanjangkan rambut ), tidak cukup
dijadikan sebagai dalil ( bahwa rambut panjang itu sunnah ). Sebab memanjangkan
rambut itu merupakan adat kebiasaan. Sungguh sudah shohih juga hadits yang
mengatakan, bahwa beliau – shollallahu alaihi wa sallam – masuk ke Makkah,
sedangkan (di waktu itu ) dia mempunyai empat ghadair,seperti yang terdapat di
dalam kitab saya "
Mukhtashor Syamail Muhammadiyah
" (35/23). Ghadair itu artinya : rambut panjang dijalin atau
berkepang-kepang.
Menjalin rambut panjang itu,
semata-mata adat kebiasaan orang Arab. Sebagian mereka masih melakukannya di
sebagian padang pasir ( sebagian orang Badui ). Maka apakah dikatakan juga,
mengepang rambut panjang itu sunnah ?! Sungguh sama sekali tidak… Oleh karena
itu, pada adat-adat kebiasaan seperti ini harus ada dalil yang khusus
memperkuat bahwasanya adat-adat kebiasaan itu adalah sunnah ibadah. Bagaimana,
sedangkan Nabi – shollallahu alaihi wa sallam – sungguh telah menyamakan
(hukumnya), antara membotak dan membiarkannya di dalam sabda beliau :
"Uhluquuhu kullahu au dzaruuhu kullahu". Artinya : " Botakkanlah
seluruhnya atau biarkan seluruhnya". Bahkan beliau membotak kepala tiga
anak kecil setelah tiga ( hari ), seperti yang disebutkan di fatwa tadi (
makalah di atas ). Pernyataan tersebut merupakan hadits shohih juga, saya telah
mentakhrijnya di kitab saya " Ahkamul Janaaiz Wa bidauha" hal :
166.
Oleh karena itu tidak ada bagi
seorang pun dari kalangan pemuda yang ditimpa penyakit suka menyerupai (
mencontoh ) orang-orang kafir dan fasiq, pada rambut mereka, untuk bertamengkan
sunnah. Sesungguhnya hal tersebut adalah sunnah adat kebiasaan, bukan sunnah
ibadah. Apalagi kebanyakan dari mereka tidak mencontoh Nabi – shollallahu
alaihi wa sallam – pada apa yang diwajibkan kepada mereka, seperti menggunting
kumis dan memelihara jenggot. Artinya : "Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau
yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya " (Surat : 50,
ayat : 37 ). {di sadur dari http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari }
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan mohon komentar yang membangun namun santun...